Fakta-fakta dalam Seribu Halaman Omnibus Law Cipta Kerja 

Proses panjang penggodokan RUU Cipta Kerja sudah berakhir

Jakarta, IDN Times - Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja) akhirnya sah menjadi undang-undang, setelah disepakati dalam pengambilan keputusan tingkat II dalam rapat paripurna DPR RI, Senin (5/10/2020) petang.

Setelah melalui perdebatan panjang dan proses yang alot, RUU Ciptaker ini disepakati oleh 7 fraksi yaitu PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, PKB, PPP, NasDem, dan PAN. Sedangkan dua fraksi uang menolak yaitu Demokrat dan PKS. Demokrat juga menyatakan walk out dari rapat paripurna.

Apa saja fakta-fakta omnibus law Cipta Kerja yang baru saja disahkan petang ini?

1. Pertama kali disampaikan Presiden Jokowi pada 7 Februari 2020

Fakta-fakta dalam Seribu Halaman Omnibus Law Cipta Kerja Presiden Jokowi. (Youtube.com/Sekretariat Presiden)

Rancangan Omnibus Law Cipta Kerja pertama kali disampaikan Presiden Joko "Jokowi" Widodo kepada Ketua DPR-RI melalui Surat Presiden Nomor: R-06/Pres/02/2020 tanggal 7 Februari 2020. Ada 10 menteri bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang ditugaskan untuk mewakili presiden dalam pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR RI, yakni Menteri Hukum dan HAM, Menteri Keuangan, Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Dalam Negeri, Menteri LHK, Menteri ATR/ Kepala BPN, Menteri ESDM, Menteri KUKM, Menteri PUPR, dan Menteri Pertanian.

Proses pembahasan pun dilakukan bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR RI melalui Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja, sejak tanggal 20 Mei 2020. Dalam proses pembahasan tersebut, sangat banyak dinamika yang terjadi dalam pembahasan.

Tidak hanya berkaitan dengan substansi, tetapi juga situasi dan kondisi yang terjadi dalam rapat pembahasan. Tidak kurang dari 63 kali Rapat Panja RUU Cipta Kerja telah digelar, dalam rangkaian pembahasan yang cukup panjang, di tengah situasi pandemi COVID-19 yang banyak membatasi aktivitas.

“Telah dilakukan 63 kali rapat pembahasan (56 kali Rapat Panja, 6 kali Rapat Tim Mus/ Tim Sin dan 1 kali Rapat Kerja), yang dilakukan secara terbuka dan transparan, baik melalui pertemuan tatap muka maupun melalui video-conference (daring)," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam keterangnnya, Senin (5/10/2020).

Fakta-fakta dalam Seribu Halaman Omnibus Law Cipta Kerja Tujuh tahap pembahasan UU Cipta Kerja (IDN Times/Arief Rahmat)

Baca Juga: Fakta-fakta Perjalanan Omnibus Law Cipta Kerja yang Penuh Kontroversi

2. Ada 76 materi RUU Cipta Kerja yang dibahas

Fakta-fakta dalam Seribu Halaman Omnibus Law Cipta Kerja Ilustrasi Hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

Cakupan materi UU Cipta Kerja juga sangat luas. Semula mencakup 79 UU, namun dalam pembahasannya menjadi menjadi 76 UU. Total Ada 7 UU yang dikeluarkan dari pembahasan, yakni:

1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers;
2) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional;
3) UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen;
4) UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi;
5) UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran;
6) UU Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan; dan
7) UU Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian.

Adapun 4 UU yang ditambahkan dalam pembahasan yaitu:

1) UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Jo. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
2) UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan jo. UU Nomor 36 Tahun 2008;
3) UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambangan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Barang Mewah Jo. UU Nomor 42 Tahun 2009, dan;
4) UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

3. RUU Cipta Kerja terdiri 1000 halaman, 15 substansi, dan 174 pasal

Fakta-fakta dalam Seribu Halaman Omnibus Law Cipta Kerja Dok. DPR RI

UU Cipta Kerja terdiri dari seribu halaman yang berisi 15 Bab dan 174 pasal, di mana secara garis besar mencakup:

  • Peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan perizinan
  • Perlindungan dan pemberdayaan UMKM dan koperasi
  • Ketenagakerjaan
  • Riset dan inovasi
  • Kemudahan berusaha
  • Pengadaan lahan
  • Kawasan ekonomi
  • Investasi pemerintah pusat dan proyek strategis nasional,
  • Dukungan administrasi pemerintahan, dan sanksi.
  • Berikut beberapa substansi dalam omnibus law Cipta Kerja:

Ketenagakerjaan

1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang jenis dan sifat kegiatannya akan selesai dalam waktu tertentu. PKWT tak diadakan untuk pekerjaan bersifat tetap.
2. Tak ada pembatasan lingkup pekerjaan yang dapat dialihdayakan.
3. Upah minimum sektoral dihapuskan.
4. Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) hanya untuk ahli yang memang diperlukan untuk kondisi tertentu.
5. Besaran pesangon pekerja sebesar 32 kali gaji. Sebanyak 23 kali ditanggung pemberi kerja dan 9 kali ditanggung BPJS Ketenagakerjaan.
6. Penambahan waktu kerja yang lebih fleksibel untuk jenis pekerjaan paruh waktu dan ekonomi digital (paling lama 8 jam sehari atau 40 jam per minggu)
7. Waktu kerja untuk pekerjaan khusus dapat lebih banyak 8 jam per hari. Ini berlaku untuk sektor seperti migas, pertambangan, perkebunan, pertanian, dan perikanan.

UMKM dan Koperasi

1. Mengatur terkait kemudahan berusaha, insentif, dan perlindungan hukum bagi UMKM.
2. Pemerintah memprioritaskan produk dan jasa UMK dalam pengadaan barang dan jasa.

Kawasan Ekonomi Khusus

1. Perluasan kegiatan KEK untuk sector pendidikan dan Kesehatan.
2. Pembentukan Bank Tanah untuk reformasi agraria, minimal 30 persen dari tanah yang dikelola.

4. Sejumlah pasal yang jadi perdebatan hingga pembahasan tingkat akhir

Fakta-fakta dalam Seribu Halaman Omnibus Law Cipta Kerja IDN Times/M Faiz Syafar

1. Pasal 42 tentang TKA

Dalam Pasal 42 RUU Cipta Kerja, tenaga kerja asing (TKA) diperbolehkan bekerja di Indonesia, tanpa pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) dari pemerintah pusat. Kemudahan RPTKA ini bagi TKA ahli yang memang diperlukan untuk kondisi tertentu.

Pada Ayat (1) disebutkan, setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Pemerintah Pusat. Namun, pada Ayat (3) disebutkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi:
a. direksi atau komisaris dengan kepemilikan saham tertentu atau pemegang saham sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. pegawai diplomatik dan konsuler pada kantor perwakilan negara asing; atau
c. tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh pemberi kerja pada jenis kegiatan produksi yang terhenti karena keadaan darurat, vokasi, perusahaan rintisan (start-up) , kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu. 

 

2. Pasal 59 tentang pekerja kontrak (PKWT)

Salah satu pasal lain yang diperdebatkan adalah terkait sistem perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Poin yang sempat dipermasalahkan oleh buruh penghapusan Pasal 59 yang membahas batas waktu pemberlakuan perjanjian itu.

Jika aturan itu dihapus, dikhawatirkan status pekerja kontrak dapat terus diperpanjang tanpa batas. Penghapusan pasal ini dikritik keras karena pekerja berpotensi besar dikontrak seumur hidup alias minim mendapat jaminan sebagai karyawan tetap. Namun, akhirnya Pasal 59 tidak jadi dihapus dalam UU Cipta Kerja.

Dalam Pasal 59 disebutkan:

  • Ayat (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
    a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
    b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama;
    c. pekerjaan yang bersifat musiman;
    d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; atau
    e. pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.
  • Ayat (2) berbunyi: Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat
    diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
  • Ayat (3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
  • Ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur
    dengan Peraturan Pemerintah.

 

3. Pasal 77 dan 78 tentang waktu kerja

Sebelumnya pada pembahasan draf RUU Cipta Kerja, pihak buruh mengeluhkan Pasal 77A berkaitan dengan tambahan jam kerja tergantung pada kebijakan perusahaan. Hanya ada ketentuan waktu kerja paling lama 8 jam per hari dan 40 jam per minggu. Tidak ada aturan tentang jumlah hari kerja.

Namun pasal ini akhirnya dikembalikan seperti aturan pada UU Ketenagakerjaan. Pada Pasal 77 Ayat (2) disebutkan, waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

Namun Pasal 78 tentang pengaturan waktu lembur yang dikeluhkan buruh tidak diubah hingga RUU disahkan. Pada Pasal 78 Ayat (1) bagian b disebutkan, jam lembur paling banyak 4 jam dalam 1 hari dan 18 jam dalam satu minggu. Sebelumnya dalam UU Ketengakerjaan maksimal jam lembur adalah 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam satu minggu.

 

4. Pasal 88 tentang upah

Dalam RUU Cipta Kerja, upah minimum sektoral akan dihilangkan tapi DPR dan pemerintah sepakat tidak akan menghapus ketentuan terkait upah minimum provinsi maupun upah minimum kabupaten/kota. Bahkan, upah minimum tidak dapat ditangguhkan, tidak seperti dalam UU Ketenagakerjaan selama ini.

Pada Pasal 88E Ayat (1) disebutkan, upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun pada perusahaan yang bersangkutan. Sedangkan pada Pasal 88 E Ayat (2) ditegaskan, pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.

Dengan begitu, tidak ada lagi buruh yang boleh diberi gaji di bawah upah minimum. Kenaikan upah minimum menggunakan formulasi pertumbuhan ekonomi daerah dan produktivitas sebagaimana diatur dalam Pasal 88D Ayat (1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) dihitung dengan menggunakan formula perhitungan upah minimum.

 

5. Pasal 156 terkait pesangon

Pasal ini mengatur tentang pesangon yang diberikan oleh perusahaan kepada pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). "Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima," bunyi ayat (1) pasal tersebut.

Pasal ini dipermasalahkan lantaran aturan nilai maksimal pesangon yang diberikan mengalami penurunan dari sebelumnya sebanyak 32 kali upah dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No 13/2003, menjadi hanya 25 kali di UU Cipta Kerja.

Pembayarannya terdiri dari, pesangon setara 19 kali upah menjadi beban perusahaan dan 6 lainnya diberikan oleh BPJS Ketenagakerjaan dalam bentuk Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Pembayaran nilai maksimal 19 kali upah tersebut tercantum pada Pasal 156. Pada Ayat (2) disebutkan bahwa uang pesangon untuk masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih ialah 9 (sembilan) bulan upah. Sedangkan pada Ayat (3), disebutkan uang penghargaan untuk masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih ialah 10 (sepuluh) bulan upah.

Berikut link unduh untuk draf UU Cipta Kerja yang diterima IDN Times dari Baleg DPR RI.

Baca Juga: Pasal-Pasal Krusial dalam RUU Cipta Kerja, Apa Kata Pengusaha?

Topik:

  • Anata Siregar
  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya