Isu Pelabelan BPA, Akademisi Jangan Ditunggangi Industri 

BPOM tinggal menunggu pengesahan label BPA Free

Balikpapan, IDN Times - Koordinator riset dan teknologi FMCG Insights Muhammad Hasan meminta para akademisi untuk lebih kritis dan tidak mengekor sikap industri air kemasan yang meremehkan potensi bahaya bisfenol A atau BPA. Bahan kimia yang bisa memicu kanker dan kemandulan pada galon air minum dalam kemasan (AMDK) jenis keras atau polikarbonat.

"Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) secara terbuka dan berulang kali menekankan perlunya mengantisipasi dampak peredaran luas galon polikarbonat yang mengandung BPA pada kesehatan masyarakat di masa datang. Tapi ironisnya sebagian akademisi masih menganggapnya sebagai hal biasa dan malah membawa-bawa analogi yang rancu," tegas Hasan, Selasa (5/4/2022). 

1. Produk AMDK malah dianalogikan dengan kursi plastik

Isu Pelabelan BPA, Akademisi Jangan Ditunggangi Industri akuratnews

Hasan menanggapi pernyataan sejumlah akademisi di media massa yang mengomentari soal peluruhan BPA bagi kesehatan. Beberapa di antara akademisi ini malah memangkas efek negatif paparan sinar matahari pada galon guna ulang.

"Ini sangat kita sayangkan,” kata Hasan. 

Apalagi beberapa akademisi menganalogikan efek paparan sinar matahari terhadap kursi plastik. Sesuatu yang bertolak belakang mengingat produk AMDK adalah air minum yang dikonsumsi manusia. 

Analogi tersebut adalah bentuk sofistikasi masalah yang justru menutup celah bagi publik untuk memahami risiko BPA secara utuh.

"Pengandaian itu mengecoh dan memberi angin pada industri yang sedari awal menentang inisiatif BPOM terkait pengendalian dampak BPA. Faktanya, efek paparan sinar matahari pada kursi plastik bisa jelas terlihat mata, sementara peluluhan BPA hanya bisa dikenali dari uji laboratorium," tegasnya. 

Belum lagi, ujarnya, kursi plastik bukanlah bahan kontak pangan sehingga produksinya tidak menuntut standar mutu dan keamanan yang tinggi, seperti dalam produksi galon polikarbonat untuk air kemasan.

2. Upaya oknum akademisi dalam mengaburkan pelabelan risiko BPA

Isu Pelabelan BPA, Akademisi Jangan Ditunggangi Industri Label bebas BPA (BPA Free) pada kemasan pangan. (IDN Times/Istimewa)

Selain itu, Hasan pun menduing sejumlah oknum akademisi yang seperti ingin menyudahi wacana pelabelan risiko BPA. Mereka mempergunakan dalih untuk meredam kegaduhan masyarakat.

“Akademisi menggelar riset membantu BPOM, itu lebih bijak,” katanya.

Hasan menyebutkan, masih minim riset terkait level peluruhan BPA pada galon guna ulang yang usianya sudah di atas lima tahun namun masih beredar di pasar. Juga soal sistem distribusi produk AMDK yang metode pengangkutan masih mempergunakan truk terbuka hingga pemanfaatan berulang kali pada galon. 

Pada masanya, plastik polikarbonat  yang mempergunakan bahan kimia BPA jadi andalan dunia industri. Namun seiring perkembangan riset dan sains mutakhir, otoritas keamanan pangan di berbagai negara mengkhawatirkan residu BPA pada kemasan polikarbonat.

Di Prancis dan Kanada, pemerintah di kedua negara melarang peredaran semua kemasan pangan yang mengandung BPA. Awalnya, pelarangan tersebut masih terbatas pada seluruh produk kemasan botol bayi. 

Di Indonesia, BPOM mengharuskan produsen pangan yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat menaati ambang batas migrasi BPA yang ditetapkan sebesar 0,6 mg/kg. BPOM mengecek kepatuhan industri atas aturan yang sifatnya self-regulatory tersebut dengan menggelar audit secara rutin.

Hasil pemantauan BPOM per Februari 2022 menyebut level migrasi BPA pada galon guna ulang yang beredar luas di masyarakat menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan.

Proses migrasi yang terjadi selama produksi maupun distribusi.

Ini peringatan pertama dari BPOM setelah dalam rentang enam tahun sebelumnya lembaga menyatakan level migrasi BPA pada galon guna ulang masih di bawah ambang batas berbahaya. 

3. Kebijakan BPOM dalam melindungi kesehatan masyarakat

Isu Pelabelan BPA, Akademisi Jangan Ditunggangi Industri IDN Times/Helmi Shemi

Sehubungan itu, BPOM merancang sebuah kebijakan pelabelan risiko BPA pada galon polikarbonat untuk mengantisipasi apa yang digambarkan oleh pejabat lembaga sebagai masalah-masalah kesehatan publik yang mungkin muncul di masa datang.

Dalam rancangan peraturan BPOM, saat ini memasuki fase pengesahan. Produsen galon air minum yang menggunakan galon polikarbonat wajib mulai mencantumkan label

"Berpotensi Mengandung BPA" kurun tiga tahun sejak peraturan disahkan. Sementara produsen yang menggunakan kemasan selain polikarbonat diperbolehkan mencantumkan label "Bebas BPA".

Dalam banyak kesempatan, Kepala BPOM Penny K. Lukito menyatakan, rencana pelabelan itu bertujuan melindungi industri air kemasan dari tanggung jawab (liability) di masa datang sekaligus memberikan perlindungan kesehatan ke khalayak luas.

Hasan meminta pemerintah segera mengesahkan rancangan peraturan pelabelan BPA agar konsumen terbantu dalam memilih produk yang aman. Pemerintah juga harus menerbitkan aturan tentang sistem pengangkutan dan penjualan air galon untuk memastikan produk tetap terjaga mutunya.

Aman dan layak dikonsumsi saat sampai ke tangan konsumen.

4. Hasil riset YLKI

Isu Pelabelan BPA, Akademisi Jangan Ditunggangi Industri IDN Times/ Helmi Shemi

Sebelumnya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mempublikasi hasil riset mereka pada Maret 2022 membeberkan keteledoran industri dalam distribusi dan penjualan air galon di Jakarta Raya.

YLKI mendapati mayoritas pengangkutan air galon menggunakan kendaraan terbuka. Observasi juga menunjukkan galon kerap dipajang serampangan, termasuk diletakkan di tempat yang kotor, terpapar sinar matahari dan benda tajam atau yang berbau menyebut.

Kesimpulannya, perlakuan galon yang tak semestinya itu bisa memperbesar risiko peluluhan BPA.

"Industri air kemasan sering sesumbar kalau mereka beroperasi di bawah pengaturan yang sangat ketat, tapi nyatanya, aturan yang ada sejauh ini, termasuk SNI Air Mineral dan Good Manufacturing Practices, tidak memuat pedoman pengangkutan, penyimpanan dan penyajian produk air kemasan," katanya.

Tak heran, Hasan bilang, bila industri leluasa mendistribusikan galon dengan truk terbuka, galon beredar tanpa kejelasan usia pakai dan masih banyak lagi persoalan yang terkait dengan ketiadaan acuan resmi.

"Penjualan kolang-kaling dan cendol di pasar tradisional, pemerintah sudah menerbitkan pedoman detilnya, sementara industri air kemasan yang perputaran bisnisnya triliun rupiah belum punya acuan terkait distribusi dan penjualan air kemasan," pungkasnya.

Baca Juga: Pengelolaan Area dengan Nilai Konservasi Tinggi Perkebunan di Kaltim

Topik:

  • Sri Wibisono

Berita Terkini Lainnya