Perusahaan AMDK Terbesar di RI Masuk dalam 10 Besar Penyampah Plastik

Digugat organisasi lingkungan internasional

Balikpapan, IDN Times - Salah satu perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) terbesar di Indonesia memperoleh gugatan hukum dari penggiat lingkungan internasional. Tiga organisasi penggiat lingkungan internasional, yakni Surfrider, ClientEarth, dan Zero Waste France menggugat perusahaan AMDK ini ke pengadilan. 

Perusahaan ini dianggap gagal dalam penanganan sampah plastik sudah diproduksi selama bertahun-tahun dan kini tersebar di seluruh dunia. Hasil audit merek terbaru lembaga Break Free from Plastic sepanjang 2018-2022, perusahaan AMDK di Indonesia masuk dalam 10 besar pencemar sampah plastik terbesar di dunia bersama sejumlah merek terkenal lainnya. 

“Tanpa rencana serius untuk menangani masalah plastik. Meskipun ada kekhawatiran disampaikan para pakar iklim dan kesehatan dan konsumen. Perusahaan punya kewajiban menghadapi masalah ini,” kata salah seorang pengacara ClientEarth Rosa Pritchard  dalam keterangan tertulis, Jumat (13/1/2023). 

1. Perusahaan AMDK diminta meningkatkan komitmennya tentang plastik

Perusahaan AMDK Terbesar di RI Masuk dalam 10 Besar Penyampah PlastikIlustrasi sampah plastik (ANTARA FOTO/Irwansyah Putra)

Juru bicara Surfrider Foundation Europe Antidia Citores mengatakan, para penggiat lingkungan meminta perusahaan AMDK ini memperbaiki laporannya dan sekaligus bertanggungjawab terhadap penggunaan plastik. Tidak hanya di situ, mereka harus menerapkan strategi konkret untuk mengurangi dampak negatifnya. 

Perusahaan ini dianggap sudah menjadi multinasional company di mana jaringannya menjangkau hingga 120 negara. Paling terbesar adalah dominasinya di Indonesia dan Turki yang paling banyak menerima dampak limpahan sampah plastik dari negara Barat. 

Selama tiga tahun berturut-turut tercatat sebagai penyampah plastik terbesar di Indonesia. Tetapi sebaliknya, iklan-iklan perusahaan ini terkesan "cuci tangan" dengan membantah produk plastik mereka berkontribusi dominan dalam sampah plastik. 

Bahkan, ClientEarth mengatakan bahwa plastik yang digunakan perusahaan ini setiap tahun beratnya lebih dari 74 kali berat Menara Eiffel. Laporan keuangannya mengungkapkan, selama 2021 mereka mempergunakan 750 ribu ton plastik.

Jumlah ini jauh lebih besar dari penggunaan plastik pada 2020 yang mencapai 716 ribu ton, untuk kemasan botol air mineral, kemasan yogurt, dan kemasan kecil lainnya.

Baca Juga: Balikpapan Peringkat Pertama Panji Keberhasilan Pembangunan di Kaltim

2. Mempergunakan undang-undang yang diintroduksi Prancis

Perusahaan AMDK Terbesar di RI Masuk dalam 10 Besar Penyampah PlastikIlustrasi bahaya sampah plastik (ANTARA FOTO/Adeng Bustomi)

Tiga organisasi lingkungan ini menggunakan Undang-Undang tentang Tanggung Jawab Kerja Sama yang diintroduksi Prancis pada 2017. Aturan tersebut menyebutkan, perusahaan-perusahaan besar wajib bertindak efektif untuk mengidentifikasi, dan mencegah pelanggaran hak asasi manusia dan kerusakan lingkungan dalam seluruh rangkaian aktivitas produksi mereka.

Sejumlah perusahaan besar di Prancis memang telah merespons undang-undang ini dengan menyajikan tanggung jawab kerja sama. Itu pula sebabnya, organisasi-organisasi lingkungan menyebut perusahaan AMDK ini tidak memasukkan permasalahan plastik dalam rencana tanggung jawab kerja sama. 

Ada tuntutan untuk melakukan perbaikan serta merilis rencana baru yang mencakup fase penghapusan plastik dalam waktu enam bulan setelah dieksekusi di pengadilan. Apabila gagal melakukannya, ketiga organisasi lingkungan ini menuntut ganti rugi sebesar 100.000 Euro per hari keterlambatan.

3. Regulasi yang terkesan yang persyaratannya tidak jelas

Perusahaan AMDK Terbesar di RI Masuk dalam 10 Besar Penyampah PlastikSampah plastik yang dikumpulkan Rima untuk ditabung di bank sampah. (Dok. pribadi)

Adam Weiss, Direktur Program ClientEarth untuk Eropa mengatakan, regulasi ini memang terkesan tidak bisa menindak tegas mengingat persyaratannya yang tidak jelas, yakni kuncinya ada pada tuntutan hukum.

Weiss mengaku kesulitan untuk mengatasi hukum perusahaan yang dirancang untuk melindungi investor dan perusahaan.  Padahal, mereka berupaya keras menekan perusahaan agar lebih serius bertindak menangani masalah lingkungan.  

Tetapi sekarang situasinya sudah berubah dengan keluarnya undang-undang baru Prancis, yang mewajibkan perusahaan lebih bertanggung jawab di seluruh mata rantai produk mereka. Terutama yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan pelanggaran lingkungan.

"Sekarang, kami memiliki undang-undang yang dirancang untuk membuat perusahaan bertindak untuk lingkungan," katanya. "Ini adalah perubahan besar," kata Weiss.

Sejauh ini, pihak perusahaan mengklaim bahwa sepanjang 2018-2021 mereka telah mengurangi penggunaan plastik hingga sebesar 12 persen dan komitmen plastik daur ulang dan guna ulang pada 2025.

4. Program keikutsertaan melibatkan perusahaan untuk mengatasi sampah plastik

Perusahaan AMDK Terbesar di RI Masuk dalam 10 Besar Penyampah PlastikKomunitas peduli sampah plastik (ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah)

Tetapi, klaim ini dibantah oleh Lembaga Ellen MacArthur Foundation, yang bekerja sama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membangun program keikutsertaan yang melibatkan perusahaan-perusahaan besar untuk mengatasi sampah plastik.

“Tidak berada pada jalur yang benar untuk mencapai target tersebut,” demikian tulis laporan Ellen MacArthur Foundation.

Hal ini yang membuat pihak perusahaan sulit berkelit, karena tuntutan hukum ini menjadi bagian dari tren hukum iklim yang semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

Jumlah kasus hukum perubahan iklim di seluruh dunia telah meningkat berlipat ganda dari 2017 hingga 2022, dari sekitar 900 kasus menjadi lebih dari 2 ribu kasus. Baik yang sedang berlangsung maupun sudah selesai, demikian menurut data dari Grantham Research Institute dan Sabin Center for Climate Change Law.

Baca Juga: Normalisasi Sungai Karang Mumus dalam Pengendalian Banjir di Samarinda

Topik:

  • Sri Wibisono

Berita Terkini Lainnya