Kepala BNPB Akui Tidak Punya Pakar Epidemiologi Tangani Wabah COVID-19

Indonesia awalnya gagap hadapi pandemik COVID-19

Jakarta, IDN Times - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengakui, pihaknya tidak memiliki pakar epidemiologi dalam menangani pandemik COVID-19 sebagai bentuk bencana nonalam.

"Kami (BNPB) hanya punya satu dokter, itu pun dokter umum. Karena itu, kami mengumpulkan para pakar, termasuk pakar epidemiologi yang saat ini diketuai Prof Wiku Adisasmito," kata Doni dilansir Antara, Selasa (23/6).

Baca Juga: Ahli Epidemiologi: Istilah Daerah Bebas COVID-19 Tidak Tepat

1. Doni ungkap Indonesia gagap pada masa awal pandemik COVID-19

Doni menceritakan, setelah ditunjuk sebagai Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, dia segera mengumpulkan para pakar dan berkoordinasi dengan berbagai pihak, terutama Kementerian Kesehatan.

Doni mengakui, Indonesia cukup gagap pada masa awal pandemik COVID-19, misalnya dalam hal ketersediaan laboratorium yang bisa menguji spesimen COVID-19. Saat itu, hanya ada satu laboratorium yang tersedia.

"Hanya ada laboratorium Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Spesimen dari Papua pun harus diperiksa di sana. Akhirnya jumlah laboratorium bertambah empat, ditambah dari Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman," tuturnya.

2. Saat ini 20 ribu lebih spesimen diperiksa tiap hari

Kepala BNPB Akui Tidak Punya Pakar Epidemiologi Tangani Wabah COVID-19Pemeriksaan tes swab dari BNI di JSC Palembang (IDN Times/Dokumen BNI)

Kini sudah ada lebih dari 200 laboratorium yang bisa memeriksa spesimen COVID-19, meskipun sebarannya belum merata di seluruh Indonesia.

"Saat ini rata-rata spesimen yang diperiksa per hari mencapai lebih 20 ribu, yang diikuti dengan jumlah penambahan kasus yang menunjukkan masih ada penularan di masyarakat," katanya.

3. Kampanye pencegahan COVID-19 menggunakan bahasa lokal

Kepala BNPB Akui Tidak Punya Pakar Epidemiologi Tangani Wabah COVID-19Ilustrasi petugas lakukan rapid test acak ke pengunjung salah satu pusat perbelanjaan. IDN Times/ Bramanta Pamungkas

Doni menambahkan, kampanye pencegahan penularan COVID-19 dilakukan dengan bahasa lokal agar dimengerti masyarakat.

"Kami mengajak pemerintah daerah untuk menggunakan bahasa lokal, terutama bahasa daerah dalam berkampanye. Tidak semua masyarakat mengerti social distancing, physical distancing, apalagi new normal," katanya.

4. Kampanye penerapan protokol kesehatan harus diperluas

Kepala BNPB Akui Tidak Punya Pakar Epidemiologi Tangani Wabah COVID-19Dok.IDN Times/Istimewa

Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto sepakat bahwa kampanye penerapan protokol kesehatan harus diperluas, agar normal baru tidak menjadi awal bencana yang lebih besar.

"Masyarakat anggap new normal itu sudah normal, bebas ke mana saja, tidak menjaga jarak, dan berkerumun. Hal ini kalau tidak ditangani bisa menjadi awal bencana yang lebih besar," kata Yandri.

Baca Juga: Normal Baru, Mungkinkan Kehidupan Kembali Normal Usai Virus Corona? 

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya