Jenazah ABK Disebutkan Boleh Dilarung di Laut, Ini Syaratnya
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia kembali menjadi perhatian publik. Dalam video yang ditayangkan oleh media Korea Selatan MBC baru-baru ini, diperlihatkan cuplikan gambar ketika jenazah pelaut Indonesia yang bekerja di atas kapal ikan berbendera Tiongkok, Long Xin, dilarung ke laut.
Terkait hal ini, pengamat maritim Siswanto Rusdi mengatakan, hal itu merupakan prosedur standar ketika ada ABK yang meninggal saat menjalankan tugas, maka jenazahnya akan dilarung ke laut.
“Tetap saja publik yang awam dengan tradisi dalam dunia pelayaran menangkap kesan tidak manusiawi tatkala jenazah dilepas ke laut. Emosi massa pun teraduk-aduk,” kata Siswanto saat dihubungi IDN Times, Selasa (12/5).
Baca Juga: Menlu Retno Temukan Dugaan Pelanggaran HAM pada WNI ABK Kapal Tiongkok
1. Jenazah boleh dilarung ke laut jika kapal tidak memiliki fasilitas pendingin penyimpanan jenazah
Siswanto menjelaskan, dalam khazanah pelayaran internasional, ketika ada kru yang meninggal dunia di atas kapal, namun kapal tersebut tidak memiliki fasilitas pendingin untuk menyimpan jenazah hingga sampai ke pelabuhan terdekat, maka pemakaman di laut atau burial at sea menjadi pilihan satu-satunya yang harus dijalankan oleh kapten kapal.
“Karena kapal ikan kan gak gede, virus atau penyakit menular bisa dengan mudah nempel ke ABK lainnya (jika jenazah tidak dilarung ke laut)” ujar dia.
2. Isu perbudakan juga terjadi di atas kapal Tiongkok tersebut
Editor’s picks
Selain soal pelarungan jenazah yang dinilai tidak manusiawi, pelaut Indonesia yang bekerja di atas kapal ikan tersebut juga mengalami perlakuan yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Diduga mereka menjadi korban perbudakan di laut (sea slavery).
“Isu inilah yang kini menggelinding kencang di tengah masyarakat menyusul hebohnya video pelarungan jenazah. Ini kali kedua isu perbudakan di laut menjadi topik hangat di tengah khalayak dalam negeri,” tuturnya.
3. Perbudakan di laut juga pernah terjadi di kapal lokal
Sebelumnya, lanjut Siswanto, pada 2015, sea slavery menjadi perbincangan media dan analis setelah tertangkapnya kapal ikan Benjina milik PT Benjina Pusaka Resources di Kepulauan Aru, Maluku.
Sayang, kehebohan yang dipantik oleh penangkapan kapal ikan Benjina tidak cukup kuat menggerakan sistem hukum dalam negeri untuk mengakhiri, paling tidak mengurangi, perbudakan di laut yang melibatkan anak bangsa.
“Apa yang berlaku di atas kapal ikan Long Xin yang melarung jenazah pelaut Indonesia adalah bukti kuatnya. Betul bahwa Menteri Perikanan periode 2014-2019 (Susi Pudjiastuti) berhasil membuka praktik busuk di atas Kapal Benjina tetapi hal itu tidak cukup,” katanya.
“Sampai periodenya berakhir, sang menteri tidak terdengar, paling tidak oleh saya, memiliki road map terkait penghapusan atau pengurangan sea slavery yang melibatkan pelaut Indonesia,” katanya menambahkan.
Baca Juga: Sempat Viral, Ini 5 Fakta Eksploitasi ABK Indonesia di Kapal Tiongkok