RCTI Gugat UU Penyiaran ke MK, Minta Netflix dan YouTube Patuhi Aturan

Mereka tidak mendapatkan pengawasan oleh KPI

Jakarta, IDN Times - Dua perusahaan media di bawah naungan MNC Grup, yaitu PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dan PT Visi Citra Mitra Mulia (Inews TV), mengajukan permohonan uji materi (judicial review) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi.

Dalam gugatannya, mereka meminta semua layanan dan tayangan video berbasis spektrum frekuensi radio tanpa terkecuali tunduk kepada UU Penyiaran. Dalam hal ini termasuk siaran menggunakan internet.

1. YouTube dan Netflix mendapat sorotan dalam gugatan tersebut

RCTI Gugat UU Penyiaran ke MK, Minta Netflix dan YouTube Patuhi Aturanpixabay.com/Jade87

Bahwa perkembangan internet yang begitu pesat tersebut telah melahirkan berbagai macam platform digital yang dikenal dengan layanan Over the Top (selanjutnya disebut dengan OTT). Secara sederhana OTT dapat dipahami sebagai layanan dengan konten berupa data, informasi atau multimedia yang beroperasi di atas jaringan internet milik sebuah operator telekomunikasi.

Adapun layanan OTT sendiri dapat dibagi menjadi paling tidak 3 (tiga) kategori yaitu: (i) aplikasi seperti WhatsApp, Line, Telegram, Skype, Facebook, Twitter, Instagram dan lain sebagainya; (ii) konten/video on demand/streaming seperti Youtube, HOOQ, IfIix, Netflix, Viu dan lain sebagainya); atau (iii) jasa seperti Go-Jek, Grab, Uber dan lain sebagainya.

2. Pemohon menyebut ada perbedaan perlakuan antara siaran konvensional dengan siaran berbasis internet

RCTI Gugat UU Penyiaran ke MK, Minta Netflix dan YouTube Patuhi AturanTampilan beranda di aplikasi YouTube (IDN Times/Fitang Budhi Adhitia)

Dikutip dari laman resmi MK, permohonan tersebut diajukan pada Rabu 27 Mei 2020 lalu. Adapun pasal yang dikehendaki oleh mereka yakni berkaitan dengan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran yang telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi para pemohon, karena tidak adanya kepastian hukum apakah penyiaran yang menggunakan internet masuk ke dalam definisi penyiaran sebagaimana diatur dalam pasal tersebut.

“Bahwa oleh karena tidak terikatnya penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet pada UU Penyiaran, padahal UU a quo merupakan rule of the game penyelenggaraan penyiaran di indonesia tentu telah berimplikasi pada adanya berbagai macam pembedaan perlakuan (unequal treatment),” dikutip dari permohonan tersebut.

Sebagai rule of the game penyelenggaraan penyiaran, UU a quo mengatur setidaknya 6 (enam) hal sebagai berikut: (i) asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran di Indonesia; (ii) persyaratan penyelenggaraan penyiaran; (iii) perizinan penyelenggaraan penyiaran; (iv) pedoman mengenai isi dan bahasa siaran; (v) pedoman perilaku siaran; dan yang tidak kalah penting adalah (vi) pengawasan terhadap penyelenggaraan penyiaran.

3. Siaran berbasis internet tidak mendapatkan pengawasan oleh KPI

RCTI Gugat UU Penyiaran ke MK, Minta Netflix dan YouTube Patuhi AturanTwitter/@KPI_Pusat

Menurut pemohon, perbedaan perlakuan tersebut terjadi karena keenam hal di atas hanya berlaku bagi penyelenggara penyiaran konvensional dan tidak berlaku bagi penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet.

Sebagai contoh, Pemohon sebelum melakukan aktivitas penyiaran harus memenuhi sejumlah persyaratan misalnya berbadan hukum Indonesia, memperoleh izin siaran, dan seterusnya. Sementara penyelenggara siaran yang menggunakan internet tidak perlu memenuhi berbagai macam persyaratan dimaksud.

“Contoh lain yang tidak kalah penting dalam penyelenggaraan penyiaran, para pemohon wajib tunduk pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (selanjutnya disebut “P3SPS”) dalam membuat konten siaran, apabila melanggar maka akan dikenakan sanksi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (selanjutnya disebut “KPI”) sebagai bagian dari tugas pengawasan,” tulis permohonan itu.

Oleh karena itu para pemohon menyadari telah terjadi perlakukan yang berbeda (unequal treatment) dalam menyelenggarakan penyiaran sebagaimana diuraikan di atas, maka ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran a quo telah jelas-jelas melanggar hak konstitusional para pemohon.

.Apabila ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran a quo ditafsirkan mencakup pula penyiaran yang menggunakan internet, maka kerugian tersebut tidak akan terjadi pada para pemohon. Sehingga terbukti keberadaan Pasal a quo memiliki causal verband terhadap kerugian konstitutional yang dialami/diderita oleh para pemohon.

“Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan baik PEMOHON I dalam hal ini INEWS TV maupun PEMOHON II dalam hal ini RCTI telah memenuhi syarat sebagai Pemohon sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, sehingga dengan demikian Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan Permohonan pengujian UU a quo,” tulisnya lagi.

4. RCTI dan Inews TV meminta seluruh permohonannya dikabulkan

RCTI Gugat UU Penyiaran ke MK, Minta Netflix dan YouTube Patuhi Aturantwitter.com/officialrcti

Berdasarkan alasan-alasan hukum dan konstitusional yang telah diuraikan, pihak RCTI dan Inews TV memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk mengabulkan 3 permohonan pemohon.

Pertama, mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruh. Kedua menyatakan Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.

“Ketiga, memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya,” tutup permohonan itu.

Baca Juga: Sinetron-Sinetron di RCTI Tamat, Para Pemain Beramai-ramai Hijrah ke SCTV

Topik:

  • Dwi Agustiar

Berita Terkini Lainnya