Pandemik COVID-19 Telanjangi Kesenjangan Digital di Bidang Pendidikan

Banyak siswa tak punya akses internet memadai untuk belajar

Surabaya, IDN Times - Pandemik COVID-19 memaksa banyak orang beralih ke dunia digital untuk melakukan aktivitas bekerja, berbelanja dan bersekolah. Misalnya, data Sensor Tower membuktikan adanya lonjakan jumlah unduhan aplikasi kategori bisnis dan pendidikan masing-masing sebesar 128 dan 125 persen pada kuartal pertama 2020.

Dari data yang sama menunjukkan jumlah unduhan aplikasi penunjang work from home (kerja dari rumah) di Tiongkok, seperti DingTalk dan Tencent Meeting, meroket pada akhir Januari. Sayangnya, tidak semua merasakan transisi yang mulus. Salah satu yang tertinggal dari gegap gempita teknologi adalah para pelajar dan guru di sekolah-sekolah menengah ke bawah.

1. Pendidikan adalah hak dasar, tak terkecuali ketika pandemik COVID-19

Pandemik COVID-19 Telanjangi Kesenjangan Digital di Bidang PendidikanIlustrasi sekolah dari rumah. IDN Times/Arief Rahmat

Sama seperti bekerja yang merupakan kebutuhan hidup mendasar, dan oleh karena itu banyak yang berusaha memberlakukan kerja dari rumah, begitu juga dengan pendidikan. Oleh sebab itu, sebenarnya tidak ada alasan yang cukup bisa diterima untuk tidak melanjutkan kegiatan belajar dan mengajar.

Namun, tidak seperti banyak pekerjaan yang bisa cukup mudah beralih ke online, sebagian besar aktivitas pendidikan justru terhambat karena prasyarat utama, yaitu internet, justru tidak bisa diakses dengan mudah oleh mayoritas murid. Ketimpangan digital yang selama ini jadi bahan diskusi kalangan terpelajar, kini benar-benar terasa saat pandemik.

Baca Juga: Curhat Ibu soal Belajar Online, Tak Efektif hingga Harus Ekstra Sabar

2. Internet menjadi barang mewah bagi siswa dari keluarga miskin di Amerika Serikat

Pandemik COVID-19 Telanjangi Kesenjangan Digital di Bidang PendidikanIlustrasi sekolah dari rumah. IDN Times/Arief Rahmat

Berdasarkan data Pew Research Center pada 2018, yang merupakan data terakhir yang tersedia, satu dari lima remaja berusia 13 hingga 17 tahun (17 persen) di Amerika Serikat mengaku sering atau kadang tidak bisa menyelesaikan pekerjaan rumah sebab tidak memiliki akses terhadap internet atau komputer. Mayoritas dari keluarga miskin dan berkulit hitam.

Kemudian, sebanyak satu dari 10 remaja (12 persen) juga mengaku sering atau kadang harus memakai Wi-Fi publik untuk mengerjakan pekerjaan rumah karena tak punya koneksi internet di rumah. Bagi yang berkulit hitam, angkanya lebih tinggi yaitu satu dari lima remaja (21 persen).

Stephanie Paz, seorang guru Bahasa Inggris di sebuah sekolah dasar di Bronx, New York City, merisaukan dampak ketimpangan digital tersebut. Lebih dari separuh muridnya tak punya komputer atau internet di rumah saat belajar online diumumkan pada pertengahan Maret lalu. Sekolah membagikan laptop kepada murid-murid, tapi jumlahnya tidak mencukupi.

"Saya khawatir bahwa, di tahun 2020, semua murid kami tak punya akses terhadap teknologi atau internet di rumah," kata Paz kepada Time. "Saya khawatir bahwa, sebagai sebuah distrik, kita belum memprioritaskan itu. Dan sebagai bangsa, kita belum memprioritaskan itu."

3. Korea Selatan, negara dengan sistem pendidikan ketat, juga menghadapi masalah ketimpangan digital

Pandemik COVID-19 Telanjangi Kesenjangan Digital di Bidang PendidikanIlustrasi sekolah dari rumah. IDN Times/Rosa Folia

Apa yang dirasakan oleh banyak murid dan guru di Amerika Serikat turut dialami oleh mereka yang berada di Korea Selatan. Padahal, negara tersebut tidak hanya punya sistem pendidikan ketat, tapi juga dianggap sebagai salah satu yang paling maju secara teknologi.

Data resmi pemerintah yang dikutip The Straits Times menunjukkan sebanyak 3.600 dari 8.999 pelajar SD dan SMP belum memiliki jaringan internet nirkabel di ruang kelas. Ini membuat pengajar kebingungan bagaimana caranya mengajar secara virtual. Selain itu, terdapat kekurangan webcam dan tablet untuk menunjang aktivitas pendidikan.

Kementerian Pendidikan mengungkap bahwa sekitar 85.000 pelajar tidak memiliki tablet maupun laptop untuk mengikuti pelajaran online. Namun, pemerintah hanya mampu menyediakan kurang lebih 38.000 saja. Persoalan berikutnya tentu saja tentang akses internet yang memadai.

Mengutip The Diplomat, pemerintah pun menggelontorkan Rp18,6 miliar untuk memperbaiki infrastruktur internet nirkabel di sejumlah sekolah di pedesaan. Pemerintah juga berjanji akan membantu meringankan tagihan internet bagi keluarga tidak mampu agar anak-anak mereka bisa mengejar ketinggalan.

4. Pemerintah Singapura menggunakan beberapa cara untuk menutupi ketimpangan digital di negaranya

Pandemik COVID-19 Telanjangi Kesenjangan Digital di Bidang PendidikanIlustrasi sekolah dari rumah. IDN Times/Arief Rahmat

Sementara itu, pada 27 Maret lalu, Kementerian Pendidikan Singapura mengumumkan per 1 April bahwa murid harus belajar di rumah, kecuali dalam kondisi tertentu. Singapura sendiri diuntungkan dengan jumlah populasi yang sedikit, tapi dengan kemampuan ekonomi yang di atas rata-rata negara Asia Tenggara lainnya.

Menurut survei Infocomm Media Development Authority (IMDA)--sebuah lembaga di bawah Kementerian Komunikasi yang fokus mengurus pengembangan sektor informasi, komunikasi, dan media--sebanyak 98 persen rumah tangga dengan anak usia sekolah telah memiliki akses komputer.

Mengutip Channel News Asia, Menteri Pendidikan Ong Ye Kung juga mengatakan kepada parlemen pada awal April lalu bahwa hampir 100 persen warga Singapura punya akses internet dan broadband di rumah masing-masing. Pemerintah pun berupaya untuk menutupi ketimpangan digital dengan beberapa cara.

Misalnya, dengan meminjamkan sekitar 12.500 laptop dan tablet kepada murid yang membutuhkan. Kemudian, sebanyak 1.200 modem juga dipinjamkan bagi yang tak memiliki akses internet di rumah. Cara lain adalah dengan tetap membuka sekolah khusus untuk siswa yang kesulitan internet, tak punya komputer, atau ditinggal orangtua bekerja.

Baca Juga: Pengalaman Mahasiswa yang Lakukan Kelas Online

5. Di Indonesia, internet dan barang elektronik adalah kemewahan sekaligus kebutuhan di tengah pandemik COVID-19

Pandemik COVID-19 Telanjangi Kesenjangan Digital di Bidang PendidikanIlustrasi sekolah dari rumah. IDN Times/Arief Rahmat

Di Indonesia situasinya lebih menyedihkan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018, sebanyak 66,22 persen rumah tangga di dalam negeri memiliki akses internet. Sebesar 62,41 persen mempunyai telepon seluler, sedangkan hanya 20,05 persen yang memiliki komputer. Mayoritas tinggal di perkotaan di Pulau Jawa dan Kalimantan.

Angka ini kerap dirayakan sebagai sebuah kemajuan. Akan tetapi, pada waktu pandemik inilah warga miskin merasakan betapa teknologi adalah barang mewah, dan di saat bersamaan penting, untuk menghindar dari virus tanpa sepenuhnya merelakan pemenuhan kebutuhan dasar seperti bekerja dan mendapatkan pendidikan.

Baca Juga: Menkominfo: Selama Pandemik, Ada Kuota Internet Gratis untuk Belajar

6. Dari tak mampu membeli kuota internet pribadi hingga handphone yang harus dipakai bergantian, murid dari keluarga miskin paling terdampak ketimpangan digital

Pandemik COVID-19 Telanjangi Kesenjangan Digital di Bidang PendidikanIlustrasi sekolah dari rumah. IDN Times/Arief Rahmat

Linda, guru Matematika di SMPN 42 Surabaya, mengatakan banyak orangtua mengeluh sebab harus membeli kuota internet sendiri. Akibatnya, sekolah hanya bisa melangsungkan aktivitas belajar lewat tatap muka virtual menggunakan Zoom selama minggu pertama.

"Orangtua banyak yang kerjanya [driver] ojol, pedagang. Penghasilan menurun [saat pandemik COVID-19], kalau hanya dibuat untuk beli kuota gitu kan rasanya miris," kata Linda saat dihubungi IDN Times. "Jadi kita beralih pakai video pembelajaran dari dinas. [Ini] lebih ringan dan durasinya gak seberapa lama." 

Murid juga bukannya tak merasakan kesulitan. Putri, seorang pelajar SMP, mengaku harus ke Balai RW untuk mendapatkan internet gratis. Siswa lain bernama Safira juga keberatan dengan situasi ini. Ia mengatakan ayah dan neneknya bergantian membelikannya paket internet untuk belajar.

Sedangkan tiga murid Linda berada dalam kondisi lebih memprihatinkan. "Satu anak gantian HP dengan kakaknya. Dua anak, HP-nya gak bisa dibuat internet. Terus orangtua mereka kan bilang 'Bu, ini gimana?'" tutur Linda. "Ya, kita kasih solusi. Kan gak mungkin kita suruh beli HP?" Alternatif terakhir adalah dengan meminjam handphone tetangga.

Sementara itu, SDN 1 Airlangga di Surabaya tidak sepenuhnya bisa melakukan kelas online karena terbentur kondisi yang sama. "Kurang lebih 20 persen orangtua murid keberatan kalau harus membeli kuota internet sendiri," kata Kepala Sekolah SDN 1 Airlangga, Matrai Faridhin, kepada IDN Times.

Febri, salah satu guru di sekolah itu, menjelaskan bahwa pihaknya harus memutar otak untuk mengatasi masalah ini. Akhirnya sekolah menyediakan materi belajar dalam bentuk lembaran khusus untuk murid yang tak punya handphone atau orangtuanya tak mampu membeli paket internet. 

7. Pascapandemik COVID-19, pemerintah diharapkan sudah melihat ketimpangan digital dengan kacamata baru

Pandemik COVID-19 Telanjangi Kesenjangan Digital di Bidang PendidikanIlustrasi sekolah dari rumah. IDN Times/Arief Rahmat

Tidak ada yang tahu kapan pandemik ini akan berakhir kemudian aman bagi setiap murid serta guru untuk kembali ke sekolah. Situasi saat ini pun diharapkan melahirkan perspektif baru di berbagai kalangan tentang hubungan manusia dengan teknologi.

Internet semestinya bukan lagi sesuatu yang mewah, melainkan barang publik yang berhak dimiliki oleh setiap orang tidak peduli berapa pendapatannya dalam sebulan atau di mana ia tinggal. Pemerintah juga seharusnya melihat ketimpangan digital dengan kacamata baru.

"Kesenjangan dalam kesiapan digital menghambat kemampuan sebagian besar dunia untuk mengambil keuntungan dari keberadaan teknologi yang membantu kita bertahan melawan pandemik virus corona dengan tinggal di rumah," kata Direktur Teknologi dan Logistik dari Konferensi PBB untuk  Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD), Shamika Sirimanne.

"Situasi ini memiliki dampak pembangunan yang signifikan yang tak bisa diabaikan. Kita perlu memastikan bahwa kita tak semakin meninggalkan mereka yang kurang siap secara digital di dunia pascavirus corona."

Baca Juga: Curhat Guru SLB Asal Malang Terapkan Belajar dari Rumah

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya