Pandangan Akademisi Samarinda Terkait Seruan JR UU Cipta Kerja

Anggap tak semestinya apa-apa diselesaikan di MK

Samarinda, IDN Times - Adanya penolakan dari berbagai elemen untuk Undang-Undang Cipta Kerja, membuat pemerintah bersuara. 

Anjuran untuk lakukan Judical Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) pun dipersilakan untuk dilakukan. 

JR dianggap sebagai langkah tepat dan sesuai dengan sistem tata negara di Indonesia. 

Untuk hal itu, kalangan akademisi di Samarinda pun bersuara. Salah satunya, Harry Setya Nugraha, Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman yang juga tergabung dalam  Anggota Aliansi Akademisi Menolak UU Cipta Kerja. 

Melalui rilis yang dikirimkan ke IDN Times pada Sabtu (10/10), disampaikan beberapa hal sebagai berikut: 

"Sungguh disesalkan memang aksi massa di banyak daerah berakhir dengan tindakan-tindakan represif aparat maupun pengerusakan fasilitas publik oleh pihak-pihak tak bertanggungjawab. Seperti mengulang cerita yang sudah-sudah, kini pemerintah dan berbagai pihak mulai memberikan narasi-narasi untuk menyampaikan penolakannya terhadap UU Cipta Kerja melalui kanal pengujian UU (Judicial Review) di MK," ujarnya. 

1. Kerja pembentukan UU dianggap dapat meminimalisir untuk apa-apa harus berakhir di MK

Pandangan Akademisi Samarinda Terkait Seruan JR UU Cipta KerjaSejumlah buruh perempuan melakukan aksi damai menolak Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) di Tugu Adipura, Bandar Lampung, Lampung, Kamis (8/10/2020) (ANTARA FOTO/ Ardiansyah)

Ia lanjutkan, berkenaan dengan hal tersebut, disampaikan bahwa selain demonstrasi,  langkah-langkah konstitusional yang memang dapat ditempuh setiap warga negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh karena berlakunya UU adalah dengan mengajukan Judicial Review baik secara formal maupun materil kepada MK.

"Tetapi begitu disayangkan ketika makin ke sini, proses pembentukan UU seakan membuat MK jauh dari kodratnya sebagai the guardian of constitution. Dengan gampangnya para pembentuk UU mengatakan bahwa "jika tidak setuju terhadap UU yang disahkan, silakan saja ajukan JR ke MK" yang pada akhirnya membuat apa-apa diselesaikan di MK dan apa-apa diselesaikan di MK," ucapnya. 

Ia sebut bahwa statement-statement yang demikian ini adalah statement-statement politis yang mencoba menjadikan dasar konstitusional sebagai basisnya (statement politis berkedok). Tak salah kemudian banyak pihak yang pada akhirnya beranggapan bahwa makin ke sini jalannya pemerintahan semakin terasa aroma orde barunya.

"Memang benar oleh konstitusi negara kita, MK diberikan kewenangan untuk menguji UU. Hanya yang perlu diingat bahwa tidak bijak sekiranya pembentuk UU terus menjadikan MK sebagai kanal pembuangan terhadap UU yang mendapat penolakan publik. Kerja-kerja pembentukan UU seharusnya dapat meminimalisir agar hadirnya UU tidak lantas kemudian berakhir di MK," katanya. 

 

Baca Juga: Demo Omnibus Law, Kepala Kapolresta Balikpapan Terkena Lemparan Batu

2. Tak jarang pengajuan formal dan materil kandas di MK

Pandangan Akademisi Samarinda Terkait Seruan JR UU Cipta KerjaPolisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan pengunjuk rasa yang menolah pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja di kawasan Harmoni, Jakarta, Kamis (8/10/2020). Demonstrasi tersebut berakhir ricuh (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)

Harry juga jelaskan bahwa tidak semua penolakan atas hadirnya suatu UU itu terjadi oleh karena UU a quo bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Jauh lebih daripada itu, penolakan justru tidak jarang hadir oleh karna UU a quo abai terhadap nilai-nilai dasar ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan bahkan nilai keadilan yang belum sepenuhnya terinternalisasi dalam UUD NRI Tahun 1945 sebagai nilai instrumental.

"Ini juga yang membuat tidak jarang proses-proses pengujian formal dan materil kandas atau gagal di MK," katanya. 

 

3. Diminta sadar dan membuka mata

Pandangan Akademisi Samarinda Terkait Seruan JR UU Cipta KerjaPengunjuk rasa melempar batu ke arah polisi saat unjuk rasa menolak Undang-undang Cipta Kerja di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (8/10/2020) (ANTARA FOTO/Zabur Karuru)

Dilanjutkan kemudian bahwa pembentuk UU seharusnya sadar dan membuka mata bahwa semakin banyak kerja MK dalam menguji UU merupakan bentuk kegagalan pembentuk UU untuk menghadirkan produk-produk UU yang partisipatif, responsif dan sejalan dengan apa yang dikehendaki rakyat.

"Dapat diketahui, terhitung sejak MK berdiri pada tahun 2003 hingga saat ini (2020), tercatat sebanyak 1403 perkara pengujian UU diregistrasi di MK dengan jumlah UU yang diuji sebanyak 708 UU," jelasnya. 

Baca Juga: Liputan Omnibus Law, 5 Pewarta Samarinda Jadi Korban Represif Aparat

Topik:

  • Anjas Pratama

Berita Terkini Lainnya