Sedih! Kekerasan Terhadap Anak Marak Terjadi di Kabupaten PPU Kaltim
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Penajam, IDN Times – Kasus kekerasan terhadap anak masih kerap terjadi di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) mencatat, setidaknya ada 22 kasus yang dilaporkan dari Januari - Juli 2020.
"Menjadi tantangan pemerintah daerah untuk menekan agar kasus tidak meningkat tahun 2020 ini,” ujar Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak DP3AP2KB PPU, Nurkaidah kepada IDN Times, Kamis (23/7/2020) di Penajam.
1. Kekerasan terhadap anak usia 5 hingga 17 tahun
Nurkaidah menjelaskan, dari 22 kasus kekerasan terhadap anak di PPU, korban rata-rata berusia 5 hingga 17 tahun. Mereka merupakan pelajar dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK) hingga SMA. Mayoritas korban adalah anak perempuan.
Fakta tersebut, kata Nurkaidah, menjadi gambaran umum masih seringnya anak menjadi korban kekerasan. Pemerintah Kabupaten PPU, menurut dia, berkomitmen untuk terus melakukan pencegahan dan penanganan kasus serupa.
“Seperti kasus terakhir yang baru–baru saja terjadi di Kelurahan Pantai Lango, Kecamatan Penajam, yakni kekerasan fisik terhadap anak usia 9 tahun laki-laki kelas 4 SD dilakukan oleh bapaknya sendiri. Dan kasusnya juga sedang kami tangani,” ungkap Nurkaidah.
2. Peran orangtua dalam mencegah kasus kekerasan terhadap anak
Berbagai bentuk kekerasan yang dialami anak, seperti kekerasan fisik hingga seksual, jelas Nurkaidah, harusnya menyadarkan peran orangtua dalam melakukan pencegahan. Peran-peran yang harus dilakukan orangtua, di antaranya dengan memberikan jaminan pengasuhan yang baik dan layak, menjamin keamanan anak saat berangkat dan pulang sekolah, hingga di semua tempat aktivitas anak.
“Pengawasan dan memberikan keamanan anak merupakan peran orangtua atau walinya ketika berada di luar lingkungan sekolah. Pasalnya kekerasan kerap terjadi saat di rumah atau sekitar rumahnya ketika orangtua tidak mengawasi anaknya,” tuturnya.
Sementara itu terkait peran pengawasan guru di sekolah, menurutnya, terbatas dilakukan hanya saat di sekolah saja, Berbeda dengan orangtua atau wali anak yang lebih banyak bersama anaknya usai bersekolah atau tidak lagi berada di lingkungan tempatnya menimba ilmu.
Baca Juga: Hari Anak Nasional, Menteri PPPA Minta Orangtua Bersabar Dampingi Anak
3. Guru di sekolah juga memiliki peran penting dalam melakukan pengawasan
Nurkaidah menilai, selama ini peran guru di sekolah sudah cukup maksimal, bahkan pihaknya juga telah melakukan sosialisasi pencegahan kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah. Sebab tak jarang ditemui kasus kekerasan terhadap anak justru terjadi di lingkungan sekolah.
Di tengah situasi pandemik yang mengharuskan anak belajar dari rumah, menurut Nurkaidah, mempunyai sisi positif. Di mana anak-anak bisa lebih dekat dengan orangtua, dan orangtua dapat mengawasi dan membantu pembentukan karakter diri anak-anaknya.
“Namun juga ada sisi negatifnya, seperti rasa bosan anak belajar di rumah dan ingin belajar bersama teman-temannya. Teknik pembelajaran yang diberikan orangtua juga berbeda dengan gurunya sehingga tekanan beban psikologi anak terjadi,” tegasnya.
4. Metode belajar dari rumah yang ideal untuk anak
Diakui Nurkaidah, memang saat ini upaya untuk mencegah terpaparnya anak dari COVID-19 dengan cara belajar di rumah sudah cukup baik. Akan tetapi perlu upaya lain agar kondisi kejiwaan anak tidak tertekan, apalagi kalau orangtuanya tidak memiliki kemampuan mendampingi anaknya belajar.
“Beda kalau anak langsung mendapatkan pelajaran dari gurunya secara langsung tentu anak bisa lebih paham. Sementara jika orangtua yang memberikan pelajaran dan tidak memiliki SDM sebagai pengajar pasti akan menimbulkan masalah dalam keluarga akhirnya,” pungkasnya.
Baca Juga: Hari Anak Nasional, Ribuan Anak Indonesia Alami Kekerasan