Pelabelan Produk AMDK Mengandung BPA yang Dianggap Jadi Prioritas

Bentuk perlindungan bagi konsumen

Balikpapan, IDN Times - Konsumsi air minum dalam kemasan (AMDK) di Indonesia, untuk jenis air galon saja mencapai 21 miliar liter per tahun. Berdasarkan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) RI mengacu data Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (ASPADIN), per tahun 2020.

Jumlah konsumen air kemasan galon ini mencapai 50.204.403 orang. Dan untuk informasi, 96,4 persen dari produk AMDK galon menggunakan plastik Polikarbonat. Polikarbonat atau biasa dikenal dengan istilah PC ini kerap dihubungkan dengan kandungan Bisphenol-A (BPA) yang dapat berbahaya bagi kesehatan. 

Sehingga pembahasan isu ini menjadi prioritas, terutama jika kemasan yang digunakan berpotensi mengandung BPA. Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM Rita Endang mengungkapkan, air minum adalah kebutuhan semua kalangan.

"Data konsumsi air minum adalah 1.146 mililiter per orang per hari. Dan 18 persen konsumsi masyarakat Indonesia adalah air galon," ungkapnya dalam webinar Gatra Bicara dengan tema "Sudahkah Konsumen Terlindungi dalam Penggunaan AMDK?" Kamis (2/6/2022).

1. Alasan pentingnya melabeli produk AMDK yang mengandung BPA

Pelabelan Produk AMDK Mengandung BPA yang Dianggap Jadi Prioritasakuratnews

Dengan melihat data, diketahui bahwa penggunaan galon berbahan polikarbonat ini mencapai 96,4 persen. Sehingga bisa dikatakan jumlah tersebut adalah persentase AMDK yang mengandung BPA. Sementara AMDK yang kemasannya menggunakan Polietilena Tereftalat atau PET hanya 3,6 persen. 

"Jadi ini jadi prioritas penting, kajian risiko BPOM melihat prioritas terlebih dahulu. Jumlah ini sangat penting kami melakukan evaluasi terhadap produk BPA. Sementara produk dengan kemasan lain jumlahnya sangat kecil. Tentu nanti akan ada evaluasi juga," katanya. 

Inilah yang jadi alasan pentingnya melabeli kemasan mengandung BPA, yaitu ekspektasi stakeholder banyak pihak, termasuk Komisi IX DPR RI. Terkait larangan menggunakan BPA, tidak hanya pada produk untuk bayi, tapi juga seluruh kemasan plastik dan galon. 

"Kami terus lakukan komunikasi. Nah, ekspektasi masyarakat ini jadi modal setelah kami melihat kajian yang sudah ada. Kami pun tiap tahunnya melakukan sampling pengujian. Kami lakukan uji migrasi BPA pada galon AMDK di 2021 dan 2022," sebutnya.

Hasilnya, migrasi sangat mengkhawatirkan. Bahwa penting bagi BPOM menyusun regulasi mengatur pelabelan terkait AMDK ini. Inilah yang menjadi pemicu pembahasan revisi per BPOM No 31/2018 tentang Label Pangan Olahan.

Untuk diketahui, isi dari revisi per BPOM No 31/2018 tentang Label Pangan Olahan. Pertama, wajib mencantumkan tulisan "Simpan di tempat bersih dan sejuk, hindarkan dari matahari langsung, dan benda-benda berbau tajam". 

Kedua, AMDK yang menggunakan kemasan plastik PC wajib mencantumkan tulisan "Berpotensi Mengandung BPA", kecuali jika hasil analisis produk AMDK tidak terdeteksi BPA dengan nilai Limit of Detection (LOD) ≤ 0,01 bpj dan migrasi BPA dari kemasan plastik PC memenuhi ketentuan Undang-Undang. 

Dan ketiga, AMDK yang beredar wajib menyesuaikan paling lama 3 (tiga) tahun sejak Peraturan diundangkan.

Baca Juga: Korea Selatan akan Bantu Water Suply untuk Kota Balikpapan

2. Produsen mesti pertimbangkan kemasan yang aman digunakan berulang

Pelabelan Produk AMDK Mengandung BPA yang Dianggap Jadi PrioritasKasubdit Tata Kelola Produsen Direktorat Pengurangan Sampah, Direktorat Jenderal PSLB3, Ujang Solihin

Sebagai pembicara dalam webinar, Kasubdit Tata Kelola Produsen Direktorat Pengurangan Sampah, Direktorat Jenderal PSLB3 Ujang Solihin Sidik juga menyampaikan, terkait perlindungan konsumen pengguna AMDK. Yakni berkaitan dengan penggunaan Polikarbonat atau bahkan kemasan plastik ini. 

"Kami di sini malah ingin membahas dampak kemasan AMDK ini terhadap lingkungan. Karena kebijakan pemerintah berkaitan dengan pengelolaan sampah kemasan ini sepertinya secara global ada tatanan yang harus jadi perhatian kita semua berkaitan dengan kemasan," tuturnya.

Yakni masalah yang ditimbulkan sampah kemasan. Karena kemasan plastik ini sumbernya adalah minyak bumi, yang merupakan sumber daya sangat terbatas. Padahal kebutuhan kita terus meningkat, termasuk pengambilan sumber daya alam ini. 

Sebagaimana diketahui, kemasan plastik yang paling populer digunakan adalah Polyethylene Terephthalate (PET), High Density Polyethylene (HDPE), Low-Density Polyethylene (LDPE), dan Polycarbonate (PC) yang merupakan jenis plastik yang sangat umum digunakan pada kemasan makanan, khususnya pada AMDK.

Dari ekstraksi sumber daya alam yang digunakan menjadi kemasan plastik yang didaur ulang menjadi botol minuman kembali, jumlahnya masih sangat kecil. Sidik menekankan pentingnya circular economy, di mana daur ulang produk plastik menjadi bahan berdaya guna kembali adalah jawaban yang tepat dan menguntungkan secara ekonomi. 

"Dan sebagian besar kemasan plastik yang kembali dapat dilakukan daur ulang adalah jenis PET. Maka KLHK mendorong para produsen untuk merancang kemasan minumannya untuk bisa digunakan ulang," tuturnya. 

Menurutnya hal ini yang menjadi salah satu langkah konkret untuk mengurangi dampak terhadap lingkungan, mencegah sampah, dan melakukan penghematan sumber daya alam. 

"Ketika dirancang sekali pakai, kami memang tidak melarang hal tersebut. Namun produsen bisa bertanggung jawab untuk menarik kembali kemasan pascaproduksi untuk kembali dijadikan bahan baku untuk menjadi kemasan baru,” ujar Sidik.

3. Produsen bertanggung jawab terhadap seluruh aspek pada AMDK

Pelabelan Produk AMDK Mengandung BPA yang Dianggap Jadi PrioritasPakar Sumber Daya Air dan Founder Indonesian Institute, Firdaus Ali

Pakar Sumber Daya Air dan Founder Indonesian Institute Firdaus Ali yang juga hadir sebagai pembicara selanjutnya menyampaikan, sebenarnya Polikarbonat tidak masuk dalam pelarangan.

"Yang saya ingin menggarisbawahi bahwa kebijakan ini tidak melarang penggunaan PC sama sekali. Jadi jangan ada narasi yang dibangun bahwa regulasi ini untuk menarik dan melarang penggunaan Polikarbonat," tegasnya.

Ia keberatan jika dikatakan ada kerugian dari penggunaan Polikarbonat ini mencapai Rp16 triliun apabila mengganti galon berbahan ini. "BPOM kan sudah menyatakan tidak ada pelarangan dan penggantian galon PC. Cukup mencantumkan peringatan bahwa ini ada potensi dan risiko mengandung BPA," lanjutnya. 

Menurutnya, apabila semua galon diganti bahannya, beralih dari Polikarbonat ke bahan lain, maka yang akan menanggung adalah konsumen. "Yang memikul kan konsumen, semua beban akan menuju konsumen. Jangan sampai malah membangun narasi yang lain," katanya.

Ia menegaskan, tanggung jawab produsen tidak berhenti ketika produk itu keluar dari pabrik. Tapi hingga sampai ke mulut konsumen. "Jangan sampai kemasan lepas, lalu limbahnya ke mana-mana, itu tanggung jawab produsen bahwa itu produk bisa guna ulang atau daur ulang, itu harus dipastikan dan sangat mendasar," ujarnya.

Baca Juga: Petani Asal Kukar Diringkus Polisi saat Antar Sabu ke Balikpapan

Topik:

  • Sri Wibisono

Berita Terkini Lainnya