Ironis, Kaltim Daerah Penghasil SDA Justru Kurang Sejahtera

82% desa di Kaltim masuk kategori desa tertinggal

Balikpapan, IDN Times- Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menggelar Diskusi Hulu Migas hari Kamis (11/7) di Hotel Jatra, Balikpapan.

Acara Diskusi Hulu Migas ini menghadirkan 3 orang narasumber yang memberikan informasi terkini tentang kontribusi hulu migas, yakni Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Kaltim Wahyu Widhi Heranata, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Balikpapan Bimo Epyanto, dan Dr. Aji Sofyan Effendi, SE.M.Si. Dosen Universitas Mulawarman, dan juga Ketua Pusat Kajian Perencanaan Pembangunan dan Keuangan Daerah Universitas Mulawarman. 

Diskusi  bertema" Kontribusi Kegiatan Usaha Hulu Migas sebagai Penggerak Perekonomian dan Pengembangan Industri di Daerah", dibuka langsung oleh Kepala Perwakilan SKK Migas Wilayah Kalimantan dan Sulawesi, Syaifudin.

"Produksi hasil migas masih menjadi tulang punggung APBN dan APBD, kegiatan migas mendukung perkembangan pembangunan di Daerah," jelasnya Syaifudin.

Ia menjelaskan saat ini SKK migas terus berupaya menggandeng minat investor untuk meningkatkan aktivitas hulu migas melalui kegiatan eksplorasi demi menemukan cadangan migas baru.

1. Daerah penghasil kurang sentuhan Dana Bagi Hasil (DBH)

Ironis, Kaltim Daerah Penghasil SDA Justru Kurang SejahteraIDN Times/ M. Idris

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Mulawarman, Dr. Aji Sofyan Effendi mengatakan, jika berbicara soal kontribusi hulu migas pasti akan memancing pro dan kontra. Dana bagi hasil yang digelontorkan dari pusat tampaknya tidak berpihak banyak terhadap daerah penghasil.

Adji mencontohkan, pembangunan terhadap jalan tol, Balikpapan - Samarinda yang panjangnya sekitar 99 kilometer serta jembatan Pulau Balang yang tidak rampung- rampung dikerjakan hingga saat ini. Ini salah satu contoh saja bagaimana Dana Bagi Hasil dari dua sektor migas dan batu bara tidak berpihak banyak pada daerah penghasil.

"Berapa tahun itu jalan tol dikerjakan 'tidak tuntung jua'," jelasnya dengan bahasa Banjar yang artinya tidak selesai-selesai.

Adji menambahkan, secara mikro kontribusi SKK Migas badan perusahaan migas lainnya sudah dirasakan, menambahnya lapangan pekerjaan dan menekan angka pengangguran yang ada di Kaltim.

"Banyak kontraktor, pastinya banyak menyerap tenaga kerja lokal, dan itu yang sudah di rasakan di Kaltim," pungkasnya.

Baca Juga: 5 Perusahaan Migas Timur Tengah Ini Giat Investasi di Indonesia

2. Entitas bisnis SDA hanya sampai output tidak sampai outcome yakni kesejahteraan dan kemakmuran rakyat

Ironis, Kaltim Daerah Penghasil SDA Justru Kurang SejahteraIDN Times/Mela Hapsari

Aji Sofyan menjelaskan, pada entitas bisnis Sumber Daya Alam (SDA) terdiri dari beberapa hal yakni regulasi dan pelaku, proses industri, output atau produk SDA yang dihasilkan, terakhir adalah outcome berupa kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat.

"Pada bisnis SDA ini prosesnya sering terputus hanya sampai ke output atau hasil SDA itu sendiri tanpa menuju ke kesejahteraan dan kemakmuran. Padahal outcome ini yang penting, kesejahteraan dan kemakmuran ini terlihat dari perekonomian daerah. Jadi sesuai dengan amanat Undang-undang Migas No. 22 Tahun 2001, seluruh entitas bisnis SDA ini harus mengacu pada kesejahteraan dan kemakmuran," jelasnya.

Menurut Aji Sofyan, ekonomi Kalimantan juga sangat rentan karena didominasi oleh ekspor yang didorong oleh harga batu bara. Itulah yang mengakibatkan begitu banyak perusahaan batu bara kolaps. Pengolahan SDA juga sangat diperlukan agar tidak mandek di industri hulu namun juga sampai ke industri hilir yang dapat meningkatkan penerimaan negara secara signifikan.

"Padahal potensi sumber daya alam kita sangat kaya seperti bijih besi, bauksit, CPO dan karet. Sayangnya masih dalam bentuk hulu atau mentah.  Kita selalu bangga pada industri hulu. Padahal contoh bauksit jika dijual dalam bentuk aluminium ingot penerimaan negara bisa meningkat 242 kali," katanya. 

Meskipun mengandalkan migas, cadangan energi Indonesia sebenarnya sangat kecil dibandingkan dengan negara lain, sementara penduduk Indonesia terpadat nomor 4 di dunia.

"Kita bangga dengan yang sedikit ini. Harusnya kita beralih dari hulu atau comparative adventage menjadi industri hilir atau competitive advantage yang mengandalkan teknologi. Sehingga sinergi antara pemerintah pusat dengan Pemda, dan parlemen, serta BI sangat diperlukan untuk industrialisasi di Kaltim," kata Aji Sofyan.

3. Daerah penghasil SDA kalah sejahtera dibandingkan nonpenghasil SDA

Ironis, Kaltim Daerah Penghasil SDA Justru Kurang SejahteraIDN Times/Mela Hapsari

Aji Sofyan mengungkapkan hasil penelitiannya yang menunjukkan adanya ketimpangan daerah penghasil SDA seperti Kaltim, Papua, Aceh, Riau, Kepri, Sumsel dalam 10 tahun terakhir dibandingkan dengan nonpenghasil SDA. Pada penelitian ini terlihat, daerah penghasil sumber daya alam justru kalah sejahtera dibandingkan daerah yang bukan penghasil SDA.

Dari beberapa indikator seperti tingkat pengangguran, rumah tangga dengan listrik dan air bersih, tingkat kemiskinan, angka kematian bayi, angka harapan hidup, dll, ternyata angkanya lebih buruk dibandingkan daerah yang bukan penghasil sumber daya alam. 

Salah satu indikator yang diukur yaitu derajat penghisapan ekonomi, yang terlihat sangat tinggi di daerah penghasil SDA yakni sebanyak 80,14 persen, sementara di daerah nonpenghasil SDA hanya 37,89 persen.

Menurut Aji, tingginya indikator penghisapan ekonomi ini karena bisnis SDA dikuasai oleh banyak kontraktor asing sehingga mengakibatkan terjadi capital outflow. Contohnya pada perkebunan dan pertanian, semestinya BUMN pertanian dan perkebunan dapat menguasai ekspor minyak sawit di Indonesia, bukan negara asing.

Derajat penghisapan ekonomi yang tinggi ini juga menyebabkan hanya sedikit tetesan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) yang langsung menyentuh kepentingan masyarakat. Dari kekayaan Kaltim hanya dinikmati 19,8% saja, sementara sisanya dinikmati entitas bisnis atau investor asing.

"Pulau Jawa masih dapat menikmati tetesan PDRB sekitar 60 persen artinya bisa menikmati kue pembangunan lebih besar. Padahal Kaltim yang penghasil SDA malah hanya menikmati hanya 19 persen saja. Inilah biang keladi penyebab tidak sejahtera. Inilah anomalinya. Berbeda dengan negara-negara timur tengah yang linier antara hasil migas dengan kesejahteraan warganya. Sementara di kita kebalikannya, daerah penghasil SDA ekonominya tumbuh tapi tidak sejahtera," kata Aji Sofyan lebih lanjut.

Pada daerah penghasil SDA kemiskinan terjadi terutama berada di desa, Aji menunjukkan dari 836 desa di Kaltim, sebanyak 82,29% masuk desa dengan status tertinggal dan sangat tertinggal.

"Padahal desa dalam hierarki pembangunan adalah pondasi.  Lokasi SDA semua ada di desa tapi kontribusinya ke desa tidak ada," jelasnya.

Aji bahkan membuat sebuah Formula DBH (Dana Bagi Hasil) Migas Pedesaan yang disebutnya Formula Adji. Formula ini dapat digunakan oleh Kementerian Keuangan untuk merumuskan kembali format Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam di Indonesia agar lebih adil dan menyejahterakan rakyat terutama di daerah penghasil SDA.

Baca Juga: Pemprov Jabar Kebagian Deviden 2,59 Juta Dolar AS dari Sektor Migas

Topik:

  • Mela Hapsari

Berita Terkini Lainnya