Ancaman Kebebasan Pers dari Pejabat hingga Aparat Penegak Hukum 

UU ITE jadi alasan untuk batasi keterbukaan informasi

Balikpapan, IDN Times - Kasus kekerasan terhadap jurnalis hingga kini masih menjadi ancaman serius kebebasan pers di Tanah Air. Meski dalam menggali dan mengumpulkan informasi insan pers dilindungi oleh Undang-Undang, namun kenyataannya tekanan di lapangan masih cukup banyak. Implementasi kalimat kebebasan pers pun seakan isapan jempol belaka.

Padahal jelas tercantum dalam Pasal 8 Undang-Undang No 40 Tahun 1999 mengatur secara tegas bahwa dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapatkan perlindungan hukum.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, sepanjang tahun 2021 ada sekitar 43 kasus kekerasan jurnalis yang masuk dalam laporan mereka. Jumlah ini menurun dari tahun sebelumnya yang merupakan puncak tertinggi selama 10 tahun terakhir.

Meski begitu Ketua AJI Indonesia Sasmito Madrim menegaskan, kekerasan terhadap insan pers harus tetap diselesaikan sesuai dengan hukum dan penegakannya.

“Memang kalau dilihat ada penurunan dari tahun sebelumnya dari angka 84 kasus menjadi 43 kasus, tetapi kita tidak melihat angka, ya. Ini harus menjadi perhatian penegak hukum untuk penuntasannya,” jelasnya kepada IDN Times, Sabtu (5/2/2022) saat dihubungi melalui sambungan telepon.

Sementara itu ada beberapa poin yang kini difokuskan, yang diduga menjadi sumber ancaman bagi pers dalam menyebarkan informasi kepada masyarakat. Yakni kekerasan fisik dan intimidasi, jerat melalui UU ITE, hingga persoalan kekerasan seksual.

Untuk itu, IDN Times pun merangkum persoalan insan pers yang terjadi di sejumlah daerah.  

1. Data rinci kasus kekerasan terhadap jurnalis

Ancaman Kebebasan Pers dari Pejabat hingga Aparat Penegak Hukum Jurnalis di Kediri gelar aksi keprihatinan terkait kekerasan yang dialami jurnalis di Surabaya. IDN Times/ istimewa

Merujuk pada data AJI Indonesia, kekerasan terhadap jurnalis yang masuk dalam laporan mereka yakni, ada 9 kasus teror dan intimidasi, 7 kekerasan fisik, 7 pelanggaran liputan, 7 ancaman, 5 serangan digital, 4 penuntutan hukum, 3 penghapusan hasil liputan, dan 1 penahanan.

Untuk pelaku, polisi berada diurutan pertama dengan 12 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Menyusul 10 kasus orang tak dikenal dan 8 kasus oleh aparat pemerintah.

Secara rinci, data AJI Bandar Lampung, terhitung 7 kasus kekerasan terhadap jurnalis terjadi sepanjang 2021. Rinciannya, 6 jurnalis mengalami intimidasi, seorang jurnalis menerima ancaman pembunuhan, dan seorang lainnya dilarang meliput.

Bukan hanya itu, teranyar pengekangan kebebasan pers berupa aksi intimidasi kembali mewarnai Provinsi Lampung di awal 2022. Itu saat tiga orang satpam BPN Kota Bandar Lampung mengintimidasi dua jurnalis hendak meliput di lingkungan perkantoran setempat, Senin (24/1/2022).

Sementara itu untuk wilayah Sumatera Utara (Sumut), dari catatan AJI Medan, ada sembilan kasus kekerasan terhadap jurnalis di Sumut sepanjang tahun 2021. Sedangkan KontraS Sumut mencatat ada 13 kasus pelanggaran terhadap jurnalis.

Beralih ke Nusa Tenggara Barat (NTB), indeks kebebasan pers (IKP) mereka mengalami kenaikan dengan menempati posisi ke 12 secara nasional. Meski begitu, Ketua AJI Mataram Sirtupilaili, menuturkan kekerasan terhadap jurnalis dalam bentuk kekerasan fisik, meminta media menghapus berita dan mengganti judul berita masih terjadi di NTB masih saja terjadi. 

Wilayah Bandung turut menyumbang tujuh kasus kekerasan kepada jurnalis selama periode tahun 2018-2020. Sedangkan pada 2021 belum ada laporan terbaru yang masuk ke AJI.

Jawa Tengah ada berbagai macam kasus kekerasan pers hingga kebebasan dalam mendapatkan informasi. Walau secara IKP mereka naik hingga menyentuh angka 80 persen tetapi kekerasan pada jurnalis juga tetap terjadi. Tercatat ada dua jurnalis yang menerima intimidasi saat peliputan demo penolakan UU Omnibus Law 2020 lalu dan 5 perusahaan media yang ingin dibungkam. 

Kasus serupa juga terjadi di Kalimantan Timur, tepatnya Samarinda. Dilaporkan ada 5 jurnalis yang menerima kekerasan fisik maupun verbal yang bersifat intimidatif pada saat demo penolakan Omnibus Law. Ini pun sudah dilaporkan ke pihak kepolisian, tetapi hingga di tahun 2022 ini, kasus itu seakan lenyap dan terlupakan. 

2. Aparat penegak hukum hingga pejabat daerah jadi pelaku kekerasan jurnalis

Ancaman Kebebasan Pers dari Pejabat hingga Aparat Penegak Hukum Sidang perkara kekerasan terhadap jurnalis Tempo, Nurhadi di Pengadilan Negeri Surabaya, Rabu (29/9/2021). IDN Times/Ardiansyah Fajar

Jika ditelaah kembali, pelaku dari kasus-kasus kekerasan jurnalis di daerah justru berada pada tingkat tertinggi hingga menengah di masyarakat. Polisi tentu menjadi pelaku terbanyak atas aksi kekerasan terhadap jurnalis.

Terbukti, pada kasus Nurhadi ada dua oknum polisi yang melakukan penganiayaan terhadap dirinya, saat akan mengonfirmasi kasus korupsi yang melibatkan eks Direktur Pemeriksaan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Angin Prayitno Aji. 

Masuk pada kasus di Samarinda dan Jawa Tengah, 5 jurnalis Samarinda dan 2 jurnalis Jateng juga menerima kekerasan oleh oknum polisi. 

Salah satu jurnalis di Bandung yang juga sempat mendapat kekerasan adalah PM, seorang kontributor media massa. Dia menceritakan, kekerasan aparat terjadi ketika PM melakukan peliputan demo buruh Mayday 2019.

Kala itu, itu bersama dua temannya melakukan pemotretan aksi kekerasan polisi kepada para pedemo yang diduga mahasiswa dan pelajar. Setelah mengambil foto, PM dan rekannya diamankan polisi yang ingin menghapus foto tersebut.

"Jadi saya ditangkap, dipiting, didesak ke pagar. Muka didorong ke atas. Polisi langsung minta lihat hasil foto yang ada kekerasan pada pendemo dan minta dihapus," ujar PM kepada IDN Times, Minggu (6/2/2022).

Kemudian kasus pengusiran oleh petugas Satpol PP, polisi dan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) pengawal Wali Kota Medan Muhammad Bobby Afif Nasution di Balai Kota Medan, April 2021. Mereka diusir dan diintimidasi saat menunggu wawancara cegat (doorstop) kepada Bobby. Kasus itu menuai beberapa kali unjuk rasa dari jurnalis di Medan. Hingga akhirnya Bobby meminta maaf.

Lalu, penembakan terhadap Marsal Harahap diduga buntut dari pemberitaan terkait dugaan peredaran narkoba di salah satu kafe di Kota Pematang Siantar. Oknum wartawan ini diduga turut terlibat dalam praktik pemerasan pelaku narkoba. 

Catatan Marsal semasa hidup memang tidak sedap-sedap amat. Pernah tiga kali berurusan dengan hukum, dua di antaranya sampai meja persidangan, berkaitan kasus pemerasan dan pencemaran nama baik. 

Dalam kasus penembakan ini ada dua terdakwa yakni Sudjito alias Gito, yang juga merupakan pemilik usaha KTV Ferrari dan anggotanya Yudi Fernando Pangaribuan alias Yudi (31). Sementara juga ada keterlibatan oknum prajurit TNI.

Eksekutor penembak oknum wartawan ini juga dinyatakan meninggal dunia saat dalam tahanan Polisi Militer pada Senin (13/9/2021).  Selain Praka AS, ada tiga prajurit TNI yang terlibat, yakni DE, PMP, dan LS, hingga kini masih dalam proses hukum.

Beberapa pelaku lainnya dari kalangan pejabat hingga orang tak dikenal turut mewarnai catatan kelam dalam tindak kekerasan terhadap jurnalis. Hal itu dialami oleh jurnalis di wilayah NTB, Lampung, dan Denpasar serta wilayah lainnya yang kerap menerima intimidasi, ancaman pembunuhan dari aparat dan orang tak dikenal, hingga kediamannya pun didatangi.

3. Dihalangi Liputan hingga media dilabeli hoaks

Ancaman Kebebasan Pers dari Pejabat hingga Aparat Penegak Hukum google

Ancaman kebebasan pers pun sempat dialami jurnalis IDN Times Banten Khairul Anwar. Saat menjalankan tugasnya sebagai wartawan, ia malah menjadi korban intimidasi. Selain apa yang dirasakan Anwar, juga terjadi pada Eva Rianti Jurnalis Republika.co.id dan salah satu jurnalis Kabar6.com.

Kegigihannya membawanya mampu menyabet Anugerah Karya Jurnalistik Antikorupsi (AKJA) Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2021 kategori Karya Liputan Mendalam Investigasi Terbaik.

Penghargaan AKJA 2021 kategori Karya Liputan Mendalam Investigasi Terbaik yang diraih Khaerul Anwar dari berita berjudul "Sengkarut Penyaluran Bantuan Operasional Madrasah di Banten". Penulisan artikel tentang permasalahan korupsi yang memperoleh kendala dari banyak pihak. 

"Yang kedua, yang paling terasa adalah tekanan agar naskah tak ditayangkan, bahkan sampai ada yang teleponin keluarga saya," kata Anwar.

Permasalahan kebebasan pers memang menjadi isu pelik di Banten. Seperti dialami dua media massa yang memperoleh labelisasi hoaks dari Polres Kota Tangerang, yakni Kabar6.com dan Republika.co.id.

Label hoaks itu berkaitan dengan pemberitaan tentang aksi yang dilakukan puluhan mahasiswa ke Polres Kota Tangerang pada Jumat (15/10/2021).

Itu buntut aksi "smackdown" dilakukan Brigadir NP kepada mahasiswa saat unjuk rasa di Pusat Pemerintahan Kabupaten (Puspemkab) Tangerang Rabu, (13/10/2021) lalu.

Mahasiswa menuntut pencopotan Kapolda Banten Irjen Rudy Heriyanto Adi Nugroho, Kapolres Kota Tangerang Kombes Wahyu Sri Bintoro, dan sanksi tegas Brigadir NP.

Kapolres Kota Tangerang Kombes Wahyu Sri Bintoro langsung bertemu dengan mahasiswa untuk berdiskusi terkait tuntunan tersebut.

Saat itu, Kapolres menyatakan siap mundur jika anggotanya mengulangi perbuatannya ini. Dia juga berjanji akan menindak tegas Brigadir NP yangtelah diperiksa Tim Divisi Propam Mabes Polri dan Polda Banten.

Berikut sepenggal kalimat yang diutarakan Kapolres kepada awak media usai diskusi dengan mahasiswa.

"Kami sudah mengeluarkan pernyataan anggota kami menjadi tanggung jawab. Bila mengulangi perbuatannya lagi yang sifatnya represif saya siap mengundurkan diri. Saya sudah membuat pernyataan di atas materai.”

Pernyataan sikap Kapolres tersebut diberitakan di banyak media. Media mengutip pernyataannya yang siap mundur dari jabatan bila terjadi lagi hal serupa.

Setelah pernyataan tersebut mencuat di media, Polres Kota Tangerang malah melabeli dua berita sebagai hoaks. Keduanya yakni Kabar6.com saat itu berjudul "Kapolresta Tangerang Siap Mundur Jika Brigadir NP Tidak Dipecat" yang kemudian diubah menjadi "Kapolresta Tangerang Siap Dicopot Bila Anggota Lakukan Tindak Kekerasan."

Kemudian, Republika.co.id menurunkan berita dengan judul "Didemo Mahasiswa, Kapolresta Tangerang Siap Mundur".

Di akun Instagramnya @polreskotatangerang, Polres Kota Tangerang mengunggah tangkapan layar untuk berita Kabar6.com dan foto surat pernyataan atas tuntutan mahasiswa dengan sisipan tulisan:  Polres Kota Tangerang dengan ini menjelaskan kepada masyarakat bahwa portal Babe.news dan Kabar6.com tidak benar atau hoaks.

Namun, unggahan tersebut telah dihapus setelah Kabar6.com merevisi pemberitannya.

Kemudian, tindakan serupa juga dilakukan Polres Kota Tangerang ke Republika.co.id. Polresta Tangerang tak terima dengan lead berita media tersebut dikaitkan dengan tindakan brutal Brigadir NP kepada mahasiswa.

Dalam unggahannya, ada tangkapan layar berita Republika.co.id dan foto surat pernyataan atas tuntutan mahasiswa, dengan sisipan tulisan: Polres Kota Tangerang dengan ini menjelaskan kepada masyarakat bahwa isi berita di portal berita Republika.co.id terkait pemberitaan pernyataan Kapolresta Tangerang adalah tidak benar atau hoaks.

4. Jurnalis dan perusahaan media di bawah bayang-bayang UU ITE

Ancaman Kebebasan Pers dari Pejabat hingga Aparat Penegak Hukum ©2015 Merdeka.com

Tak dipungkiri, kebebasan pers saat ini berada di tengah bayang-bayang Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).  Peraturan hukum dalam UU ITE ini seakan menjadi alasan bagi pelapornya untuk melemahkan jurnalis.

Produk-produk jurnalis yang tidak sesuai dengan keinginan oleh suatu pihak dijadikan dalih agar pers tak membuka kedoknya.

Di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur (Kaltim) sempat ada tiga media siber yang dilaporkan ke Polda Kaltim, karena pelapor merasa keberatan dengan berita yang ditulis oleh media itu. IDN Times mendapat laporan ini dari seseorang yang enggan disebutkan namanya dan sempat berusaha menggali informasi tentang pimpinan di tiga media itu kepada IDN Times. Untungnya kasus ini tak berlanjut.

Diketahui sosok yang melaporkan tiga media itu, adalah mantan Plt Sekda PPU Mulyadi. Sosok yang cukup menghebohkan setelah terjaring kasus suap bersama Bupati PPU non aktif Abdu Gafur Mas'ud. 

Berdasarkan data laporan Dewan Pers terkait keberatan terhadap produk jurnalistik, ada 774 kasus yang mereka tangani. Kebanyakan kasus yang diadukan adalah media siber. Dengan pelanggaran yang dilakukan adalah Pasal 1 dan 3 KEJ, dengan tambahan melanggar PPMS pasal 2.

Soal ini, Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Arif Zulfikli menuturkan, jika pelaporan produk-produk jurnalistik yang dilaporkan kebanyakan justru diproses oleh penegak hukum di daerah.

Padahal keberatan terhadap peliputan itu seharusnya diserahkan kepada dewan pers terlebih dahulu. Sebab sudah kesepakatan penandatanganan antara Dewan Pers dan Polri terkait penanganan permasalahan sengketa jurnalistik. 

Polri sudah berjanji akan menyosialisasikan kepada personelnya di daerah, khususnya dalam penanganan kasus-kasus aduan tentang peliputan jurnalis. 

“Jadi dalam penandatanganan itu, mereka (Polri) bersedia untuk memberikan sosialisasi kepada anggotanya mengenai UU Pers dan penegakannya,” jelasnya.

Terkait pihak-pihak merasa keberatan hingga dirugikan oleh suatu produk jurnalistik, Direktur LBH Pers Lampung Chandra Bangkit pun mengingatkan publik, sesuai UU 40 Tahun 1999 tentang Pers, agar bisa melayangkan hak jawab atau hak koreksi kepada perusahaan media bersangkutan, sebelum akhirnya melaporkan sang jurnalis ke pihak berwajib.

Selain itu, jika laporan pemberitaan tersebut telah memasuki ranah hukum, maka pihak kepolisian harus berkoordinasi dengan Dewan Pers untuk menentukan unsur pidana menyangkut proses hukum.

"Polisi memang punya kewajiban menerima tiap laporan, tapi mereka juga harus menerima rekomendasi dari Dewan Pers. Saya rasa para jurnalis kita sudah sangat memahami profesionalitas akan keberadaan UU Pers," imbuh Chandra.

Baca Juga: Razia Angkutan Darat, Tim Terpadu Amankan Truk ODOL di Kaltim

5. Kasus kekerasan pers enggan dilaporkan hingga tenggelam tanpa kejelasan hukum

Ancaman Kebebasan Pers dari Pejabat hingga Aparat Penegak Hukum gambaraneka1.blogspot.com

Koordinator Bidang Advokasi dan Ketenagakerjaan AJI Bandar Lampung Derri Nugraha mengatakan dalam tiga tahun terakhir, kasus kekerasan terhadap jurnalis cenderung mengalami peningkatan.

Rinciannya, 2019 tercatat lima kasus, 2020 sebanyak enam kasus, dan 2021 ada tujuh kasus.

"Dari keseluruhan kasus tersebut, tak satu pun dilaporkan secara hukum. Bahkan, perusahaan pers di mana wartawannya menjadi korban kekerasan, sering tak bersikap," imbuhnya.

Selain itu, dalam banyak kasus, jurnalis menjadi korban kekerasan juga sering memilih mundur ketika diadvokasi. Banyak faktor penyebab, mulai dari proses yang panjang jika dilaporkan, hingga tak ingin ribut. Alhasil, tak satu pun kasus kekerasan terhadap jurnalis diusut tuntas.

Meskipun pada kasus menimpa jurnalis PM di Bandung, pimpinan redaksi berinisiatif melaporkan langsung ke Kapolri tentang kekerasan jurnalis. Mabes Polri pun sigap mengeluarkan instruksi agar tidak ada lagi kekerasan pada jurnalis yang sedang meliput, termasuk di Kota Bandung.

Selain itu, melalui AJI Bandung, PM pun melaporkan kejadian itu ke Propam Polrestabes Bandung. Namun, seiring waktu tidak ada kejelasan dari pelaporan tersebut.

"Sampai sekarang tetap saja laporan ini gak beres. Dan saya memang sudah yakin kejadian kayak gini tidak akan selesai. Kekerasan kaya gitu pernah saya alami juga dan laporannya ya tidak ada hasil. Sudah saja hilang," ungkap PM.

Namun secara garis besar, kasus-kasus yang telah dirincikan di atas semuanya memang tak ada tindak lanjutnya. Kecuali kasus Nurhadi yang berhasil berakhir ke meja hijau meski dengan hukuman yang tak sepadan. Juga kasus pembunuhan yang melibatkan oknum TNI yang sudah berproses.

“Ya, setidaknya kasus Nurhadi ini pastinya akan menjadi langkah awal agar kasus-kasus kekerasan jurnalis lainnya dapat diselesaikan secara hukum. Meski dari vonis sidang Nurhadi ini sebenarnya hasilnya tidak sesuai. Tetapi informasinya kasusnya diajukan banding dan telah diterima oleh jaksa,” kata Sasmito.

6. Fokus AJI dalam melindungi pers di seluruh Indonesia

Ancaman Kebebasan Pers dari Pejabat hingga Aparat Penegak Hukum Ilustrasi Jurnalis (IDN TImes/Arief Rahmat)

Yang menarik soal jurnalis, rupanya kesetaraan gender juga menjadi hal yang patut evaluasi. Ketua AJI Denpasar Eviera Paramita mengaku lebih menitikberatkan perhatian pada jurnalis perempuan khususnya yang berada di Bali. 

Viera membeberkan beberapa keluhan jurnalis perempuan di Bali. Menurutnya tidak banyak jurnalis perempuan yang diberikan kepercayaan dan akses untuk peliputan investigatif.

Selain itu, mereka juga mengeluhkan teman-teman jurnalis laki-laki yang tidak peka mengenai isu gender. Kerap terjadi pelecehan verbal dan kata-kata seksis terhadap jurnalis perempuan yang malah dianggap hanya bahan bercanda. Dan ini tentu juga masuk dalam kategori kekerasan.

Sebagai Ketua AJI Indonesia, Sasmito Madrim mengatakan, pihaknya akan terus melakukan upaya-upaya untuk mengantisipasi kasus kekerasan terhadap pers di Indonesia. Ada beberapa poin yang difokuskan.

Pertama, pada UU ITE dirinya menilai ada beberapa aturan di dalamnya yang tidak memiliki tolak ukur yang jelas atau disebut sebagai pasal karet. Pihaknya pun berupaya agar pasal-pasal tersebut bisa kembali dipertimbangkan.

Kemudian kekerasan jurnalis di Papua juga menjadi pemantauan mereka. Meski hanya ada tiga kasus, Sasmito menduga sebenarnya kasus kekerasan terhadap jurnalis Papua bisa lebih dari itu. Termasuk soal jurnalis luar negeri yang ingin melakukan peliputan ke daerah.

“Jadi ada banyak persoalan yang mesti difokuskan, untuk jurnalis luar negeri juga, kita tidak boleh menolak mereka jika ingin melakukan peliputan di daerah. Ini masih kami upayakan semua,” terangnya.

Lalu yang kini mulai bermunculan, ialah kasus kekerasan seksual. Sasmito bersama timnya bahkan sudah sampai langkah menyusun SOP penanganan kasus kekerasan seksual untuk mendampingi semua anggota internal AJI yang mendapat kejadian kurang mengenakkan tersebut.

“Tetapi kami juga mendorong agar pihak lainnya juga agar pedoman pemberitaan lebih ramah gender, termasuk pada pemilihan bahasa,” kata dia.

Karena menurutnya, ada beberapa media yang menulis persoalan sensitif tersebut yang justru bahasanya menyudutkan korban.

Selain pada isu kekerasannya, advokasi mengenai kesetaraan gender dalam peliputan juga mesti terus digaungkan.

7. Hal-hal menyangkut produk jurnalistik harus diselesaikan sesuai UU 40 Tahun 1999

Ancaman Kebebasan Pers dari Pejabat hingga Aparat Penegak Hukum Ditjen Aptika, Kominfo

Sekitar bulan Desember 2021 lalu, kasus lama yang menjerat Diananta Putra Sumedi eks-redaktur Banjarhits sampai ditahan 3 bulan 15 hari pada 2020 lalu, kembali dibuka oleh penyidik Polda Kalimantan Selatan (Kalsel). Dibukanya kembali kasus ini mengundang keheranan sejumlah pihak, termasuk Direktur Borneo Law Firm Muhammad Pazri. Menurutnya, perkara yang menyangkut produk jurnalistik seharusnya dilakukan terlebih dahulu dengan beberapa langkah preventif. Misalnya jika satu pihak dirugikan dapat menggunakan hak jawab, hak koreksi, hingga hak meralat dan permohonan maaf secara terbuka.

Di satu sisi, Banjarhits sendiri diketahui merupakan media yang terverifikasi Dewan Pers. Di mana kasus terkait pemberitaan oleh media yang benar-benar media pers adalah masuk ranah delik pers, bukan delik pidana. 

"Saya tegaskan dan perlu diingat itu adalah terkait produk jurnalistik sehingga harus dibedakan antara delik pers dengan delik pidana," terangnya.

Pazri mengatakan semestinya Polda Kalsel ataupun instansi lainnya menghormati MoU Dewan Pers, PWI, dan Polri terkait penanganan proses pengaduan dan pemberitaan media. Sehingga istilah dugaan adanya kriminalisasi terhadap insan pers tidak muncul kembali.

"Karena sejarahnya perlu diingat kembali, seluruh organisasi wartawan telah mendesak Polri agar menghentikan kriminalisasi terhadap pers," jelasnya Pazri.

Dirinya menerangkan, salah satu fungsi Dewan Pers yaitu memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Apabila hak jawab dan pengaduan ke dewan pers tidak juga membuahkan hasil, maka UU Pers juga mengatur ketentuan pidana dalam pasal 5 jo. Pasal 18 ayat (2) UU Pers.

"Sehingga untuk di Kalsel saya berharap kepolisian menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus tersebut," tegasnya.

8. Pemahaman soal penyelesaian masalah pers

Ancaman Kebebasan Pers dari Pejabat hingga Aparat Penegak Hukum Ilustrasi Pers (IDN Times/Mardya Shakti)

Sebagaimana tertulis, bahwa tegas pada Pasal 4 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers disebutkan untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Jika telah sesuai kode etik, tapi masih ada proses delik pidana, maka ada indikasi pelemahan kebebasan pers. 

Dalam Pasal 10 Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers (Kode Etik Jurnalistik) menyatakan bahwa Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

Bahwa di dalam dunia Pers dikenal 2 (dua) istilah yakni: hak jawab dan hak koreksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers). Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Hak jawab dan hak koreksi merupakan suatu langkah yang dapat diambil oleh pembaca karya pers nasional apabila terjadi kekeliruan pemberitaan, utamanya yang menimbulkan kerugian bagi pihak tertentu.
 
Upaya yang dapat ditempuh akibat pemberitaan pers yang merugikan adalah sebagai pihak yang dirugikan secara langsung atas pemberitaan wartawan.  Tentu yang bersangkutan memiliki hak jawab untuk memberikan klarifikasi atas pemberitaan tersebut. Langkah berikutnya adalah membuat pengaduan di Dewan Pers.

Tim penulis: Riani Rahayu (Kaltim), Rangga Erfizal (Sumsel), Ayu Afria Ulita Ermalia (Bali), Tama Wiguna (Lampung), dan Fitria Madia (Jatim), Muhammad Nasir (NTB), Debbie Sutrisno (Jawa Barat), Fariz Fardianto (Jawa Tengah), Anggun Puspitoningrum (Jawa Tengah), Tama Wiguna (Lampung), Prayugo Utomo (Sumut), dan Muhammad Iqbal (Banten)

Baca Juga: Pantai Tanah Merah Tanjung Harapan, Destinasi Wisata Eksotis di Kaltim

Topik:

  • Sri Wibisono

Berita Terkini Lainnya