Supaya Bocah Memperoleh Perlindungan dalam Perceraian Keluarga

Peningkatan angka perceraian di masa pandemik COVID-19

Balikpapan, IDN Times - Pagebluk virus COVID-19 entah sampai kapan akan berakhir. Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Nasional masih terus melaporkan fluktuasi penyebaran virus di berbagai tempat yang tanpa disadari sudah memasuki tahun kedua ini. 

Sayangnya lagi, pandemik ini belum menunjukkan tanda-tanda akan terselesaikan.
Di sisi lain, wabah sudah berdampak langsung terhadap kehidupan perekonomian dan sosial di negara ini, di mana terjadi melambatnya ekonomi yang ujung-ujungnya mempengaruhi kondisi sosial masyarakat.

Kolaborasi hyperlokal IDN Times akan mengulas laporan tentang peningkatan angka perceraian di masa pandemik serta bagaimana dengan keberlangsungan masa depan anak-anak menjadi korban perceraian, Sabtu (20/11/2021).

Memasuki akhir tahun 2021 ini, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan adanya tiga provinsi di Pulau Jawa mendominasi angka perceraian nasional, yakni Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. 

Kabupaten Lamongan, kota di Jatim melaporkan peningkatan angka perceraian di tempatnya, apalagi selama masa pandemik COVID-19 berlangsung. Kali ini, Lamongan melaporkan dari bulan Januari hingga November 2021 ini, total sudah ada 2.600 perkara perceraian yang ditangani oleh Pengadilan Agama (PA) setempat. 

Bahkan jumlah tersebut diperkirakan akan terus mengalami peningkatan hingga akhir tahun nanti.

Panitera Muda Hukum PA Lamongan Nazir mengatakan, tingginya kasus perceraian di sini lebih disebabkan karena permasalahan impitan ekonomi. Berlarutnya pandemik kian memperparah permasalahan sosial di masyarakat. 

Sebagai gambaran saja, PA Lamongan rata-rata menangani pengajuan kasus perceraian sebanyak 25 hingga 30 berkas per harinya. 

"Yang pertama umumnya perceraian itu disebabkan faktor ekonomi mas, karena saat ini orang-orang pada susah cari kerja bahkan banyak perusahaan yang merumahkan karyawannya," kata Nazir, Jumat (19/11/2021).

Tetapi bukan hanya melulu faktor ekonomi, permasalahan perceraian di Lamongan pun disebabkan ketidakcocokan di antara pasangan suami istri. Dalam banyak kasus, mereka mengajukan gugatan perceraian karena sudah tidak sepaham lagi menemukan jalan damai. 

Perpisahan menjadi satu-satunya jalan akan dipilih. 

"Ada juga yang masalahnya cekcok dengan pasangannya dan alasannya dari pada diteruskan berumah tangga, mendingan lebih baik pisah saja," jelasnya.

Meskipun begitu, PA Lamongan sendiri pada dasarnya sudah berupaya melakukan mediasi agar pasangan ini bisa rujuk kembali. Setidaknya, mereka diberikan masukkan untuk memikirkan ulang tentang dampak negatif perceraian, dalam hal ini keberlangsungan mental dan masa depan anak-anaknya. 

Meskipun memang belum maksimal, setidaknya upaya ini membuat para pasangan akan mempertimbangkan mencabut pengajuan gugatan perceraian. 

Supaya Bocah Memperoleh Perlindungan dalam Perceraian KeluargaKasus perceraian di Pengadilan Agama Lamongan meningkat selama pandemik COVID-19. IDN Times/Imron

Melompat ke Pulau Sumatra, pandemik  COVID-19 sudah membuat angka perceraian di Provinsi Lampung, khususnya Kota Bandar Lampung cenderung meningkat.

Klasik memang, saat perselisihan dan faktor ekonomi antar pasangan di masa pandemik dituding jadi penyebab. 

Secara angka, persentase kasus perceraian di Lampung memang cukup mencengangkan. Meskipun belum genap setahun, angka perceraian di sini sudah menembus angka 14.862 kasus memasuk bulan November 2021. 

Artinya, terjadi peningkatan setidaknya 9,1 persen angka perceraian di Lampung dibanding catatantahun lalu sebanyak 13.615 kasus. 

"Perselisihan terus-menerus ini sampai 70 persen, sementara faktor lainnya seperti adanya pihak ketiga, KDRT itu sangat sedikit," kata Kepala Bagian Informasi Pengadilan Tinggi Agama Bandar Lampung Riduansyah.

Situasi ini makin diperparah dengan berlarutnya penanganan pandemik COVID-19. 

"Apalagi di awal-awal pandemik, sehari kami bisa menyidang 20-30 perkara," sambung pria juga menjabat sebagai Panitera Pengganti tersebut.

Meskipun begitu, tingginya akan perceraian tidak berdampak pada peningkatan kasus kekerasan dalam rumah tangga di Lampung. Seperti disampaikan, Kepala UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Provinsi Lampung Amsir menyatakan, keyakinannya mengingat lembaganya memang wajib melakukan pendampingan pada perempuan dalam perceraian yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.  

Khususnya yang terjadi di Lampung, Amsir sebaliknya meyakini permasalahan perceraian di provinsi ini mayoritas bukan disebabkan permasalahan KDRT. Hampir seluruhnya adalah faktor ekonomi, di masa-masa pandemik COVID-19 di mana banyak para suami yang kehilangan mata pencaharian mereka.

Lebih lanjut, Amsir menilai faktor pernikahan dini juga turut mempengaruhi terjadinya peningkatan pasangan suami istri. Maka dari itu, meski Undang-Undang (UU) No 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas usia minimal kawin perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun,  Amsir mengingat, keputusan menjalin pernikahan harus tetap diperhitungkan matang-matang.

"Walaupun secara fisik terlihat dewasa, tetap dari segi pengetahuan dan pengalaman belum cukup," sambung dia.

Supaya Bocah Memperoleh Perlindungan dalam Perceraian Keluargapixabay.com

Permasalahannya persis terjadi Kabupaten Jember Jatim. 

Bahkan, angka perceraian di kabupaten ini terbilang tinggi di Jatim di mana angkanya menembus 4.300 kasus. 

Sama halnya dengan di Lamongan, persoalan ekonomi kerap kali dituding menjadi faktor utama pemicu kasus-kasus perceraian. Akibatnya, perempuan dan anak menjadi kelompok paling rentan yang terdampak langsung perceraian keluarga. 

Sehingga, ini pula akhirnya yang melatari kebijakan Pemerintah Kabupaten Jember dalam menyusun kesepakatan antara Pengadilan Agama Kelas 1A Jember dengan 6 Organisasi Bantun Hukum (OBH) untuk memberikan perlindungan hukum kepada perempuan dan anak.

Bupati Jember Hendy Siswanto menilai, perempuan dan anak perlu mendapat pendampingan hukum untuk menjaga masa depannya dari dampak perceraian.

"Hasil kesepakatan, masyarakat akan mendapatkan pendampingan hukum, penyuluhan hukum terkait berbagai permasalahan perempuan dan anak, mulai dari kasus perceraian, efek dari perceraian, masa depan anak, kekerasan seksual, agar selanjutnya masyarakat Jember sadar hukum dan sadar terhadap hak-hak mereka," ujarnya pada Minggu 14 November 2021 lalu. 

Persoalan perceraian, menurut Hendy harus memperoleh porsi penanganan secara serius. Permasalahannya bila diabaikan bisa jadi akan menghasilkan generasi yang tidak diinginkan bersama. 

Dengan penyuluhan edukasi tersebut, diharapkan juga bisa mencegah perselisihan keluarga yang disebabkan kekuatan ekonomi.

"Untuk angka kasus perceraian tertinggi itu, berada di wilayah selatan Kabupaten Jember," terangnya.

Selain memberi perlindungan hukum, pihaknya melalui Kantor Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) juga mendorong pelaksanaan pelatihan kerja bagi perempuan yang mengalami perceraian agar kehidupannya bisa mandiri. 

"DP3AKB juga mengeluarkan program pelatihan kerja bagi perempuan setelah perceraian, perempuan kepala keluarga sehingga mereka setelah bercerai tidak kebingungan tapi diharapkan sudah mandiri dan kehidupan mereka tidak menjadi masalah lagi di Jember,” katanya.

Pengadilan Agama juga mempunyai program Yamuna yaitu ramah perempuan dan anak, wujud partisipatif membantu menekan Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Anak (AKI-AKB) dengan kerja sama dengan DP3AKB serta Dinkes Jember.

Supaya Bocah Memperoleh Perlindungan dalam Perceraian KeluargaIlustrasi Perceraian (IDN Times/Mardya Shakti)

Berlanjut ke Pulau Kalimantan, setali tiga uang permasalahan pun menimpa para keluarga di sini. Seperti terjadi di Kota Balikpapan Kalimantan Timur (Kaltim) persoalan pandemik yang berujung masalah sosial. 

Berdasarkan data milik Pengadilan Agama Kota Balikpapan, sepanjang tahun 2021 yakni periode Januari-Oktober 2021, angka perceraian naik mencapai 2.200 kasus. Angka perceraian ini kemungkinan besar menembus tahun sebelumnya, di mana tingkat perceraian mencapai 2.400 kasus dalam setahun. 

"Sehingga dalam waktu 2-3 bulan ke depan, angka perceraian diperkirakan bisa naik lagi mencapai 2.700 kasus," kata Kepala Pengadilan Agama Kota Balikpapan Darmuji.

Dari seluruh kasus yang saat ini sedang ditangani sebagian besar kasus adalah gugatan cerai yang diajukan oleh pihak perempuan. Jika bicara kasus memang dari yang ditangani oleh pengadilan agama paling banyak adalah gugatan dari perempuan dengan persentase 60 banding 40.

Dengan beberapa sebab yang melatarbelakangi kasus gugatan cerai di antaranya adanya pihak ketiga. Selain itu, tingkat pemahaman perempuan yang saat ini lebih memahami haknya sehingga banyak dari pihak perempuan melakukan gugatan.

Tidak hanya dari KDRT, tetapi juga tindakan penelantaran oleh pihak laki-laki.

"Misal ada suaminya yang terkena kasus pidana kemudian masuk penjara hingga 5 tahun dan pihak perempuan tidak mau menunggu dan akhirnya mengajukan gugatan cerai," terangnya.

Sementara itu, persoalan anak-anak korban perceraian sudah menjadi perhatian Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) setempat. Kendati instansi ini tak secara khusus memberikan pelayanan terhadap anak korban perceraian.

Pihak instansi baru akan menyediakan konseling setelah ada permintaan pendampingan dari korban. 

"Kalau memang membutuhkan layanan konseling maka psikolog PUSPAGA kami siap," terang Kepala DP3AKB Kota Balikpapan Sri Wahjuningsih akrab disapa Yuyun. 

Puspaga Harapan adalah Pusat Pembelajaran Keluarga, Sahabat Keluarga Balikpapan. Ini adalah upaya pemerintah Kota Balikpapan mencegah atau mendeteksi terjadinya kekerasan seksual, termasuk permasalahan remaja yang sulit diatasi orangtua. 

Sejauh ini, Yuyun melihat dampak pada anak, merujuk pada klien yang ditangani PUSPAGA, kerap terjadi perebutan anak. Ada pula kasus penelantaran, di mana hak anak tidak diperhatikan.

Ini berakibat anak trauma yg menyebabkan kecemasan dan ketakutan.

"Dari situ yang sering kali menjadi penyebab perubahan perilaku, menjadi minder atau tidak percaya diri pada anak. Ada juga ancaman kekerasan fisik," terangnya. 

Pada kondisi tersebut, dapat menyebabkan anak menjadi bandel dan sulit diatur karena tidak adanya figur yang mengayomi dan memberikan kasih sayang. Selain itu tidak ada kesempatan untuk menyampaikan pendapat, sehingga anak mencari pelampiasan untuk mendapatkan perhatian.

Dalam hal ini DP3AKB memang bukan suatu lembaga yang khusus untuk penanganan anak-anak korban perceraian.

"Tapi Puspaga adalah layanan yang disediakan Pemkot Balikpapan yang bertujuan memberikan konseling bagi keluarga anak dan remaja terkait pengasuhan," jelasnya. 

Selama ini upaya yang dilakukan DP3AKB dalam melindungi anak-anak akibat korban perceraian adalah dengan memberikan pendampingan, serta melakukan mediasi bersama keluarga. 

Keberadaan PUSPAGA sebenarnya adalah salah satu strategi DP3AKB Kota Balikpapan dalam mengawal agar angka kekerasan terhadap perempuan dan anak atau dalam rumah tangga bisa ditekan.

Saat ini baru ada lima Puspaga Harapan di kota Balikpapan. Ada dua di kecamatan Balikpapan Selatan.

Pertama di Kantor DP3AKB, kedua di kawasan Puskesmas Sepinggan. Kemudian satu di Balikpapan Utara, satu Balikpapan Tengah, dan satu di Balikpapan Barat. 

"Mekanisme pelaporan mereka tiap bulan melapor ke kami. Biasanya Puspaga juga jadi pintu rujukan penanganan kasus. Ini sifatnya sebagai pencegahan dan tidak secara langsung menangani kasus. Korban datang ke psikolog Puspaga jika, lalu ada deteksi kasus maka psikolog akan berkoordinasi dengan DP3AKB untuk membuat surat rujukan ke UPTD PPA kami," urainya.

DP3AKB pada dasarnya lebih fokus pada kekerasan dalam rumah tangga, dengan korban perempuan maupun anak, seta pemberdayaan perempuan. Beberapa waktu lalu DP3AKB membuat pelatihan bagi Sumber Daya Manusia (SDM) lembaga penyedia layanan perempuan dan anak korban kekerasan. 

Baca Juga: Para Tokoh di Kaltim Ramai-Ramai Kritisi soal Tambang Balikpapan

Supaya Bocah Memperoleh Perlindungan dalam Perceraian KeluargaIlustrasi Pernikahan (IDN Times/Mardya Shakti)

Sehubungan itu, terbaru ini daerah-daerah diminta untuk menggencarkan sosialisasi pencegahan pernikahan usia dini. Upaya yang kini menjadi prioritas Pemprov Nusa Tenggara Barat (NTB) mengingat provinsi ini tercatat dengan tingkat perceraian tertinggi di Indonesia.

Setidaknya terdapat 109,7 ribu penduduk NTB berstatus cerai hidup atau 2 persen dari total populasi yang mencapai 5,4 juta jiwa.

Kasus perceraian banyak terjadi akibat anak-anak belum matang secara psikologis untuk berumah tangga. Pernikahan dini dan perceraian ini sering kali mendatangkan persoalan baru, apalagi jika sudah memiliki anak.

Selama lima tahun ini, Pengadilan Agama Kota Mataram mencatat setidaknya ada 2.830 kasus perceraian sejak tahun 2016 hingga Oktober 2021. Persoalannya cukup beragam, tetapi korban sebenarnya adalah anak-anak. 

“Kasus terakhir yang terjadi pekan lalu, bapaknya perkosa anak kandungnya sendiri. Bayangkan dari anaknya masih kelas 4 SD lho itu. Sementara ibunya bekerja di luar negeri sebagai PMI. Ini kan bisa dibilang dampak dari perceraian,” ungkap Kepala DP3AP2KB Provinsi NTB Husnanidiaty Nurdin yang akrab disapa Eny. 

Sehubungan itu pula, Pemprov NTB melakukan pendataan terkait anak-anak korban perceraian. Selain itu, pihaknya juga sedang melakukan pendataan terhadap anak-anak yang orang tuanya meninggal dunia akibat terinfeksi virus corona.

Pihaknya juga melakukan pendataan terhadap anak-anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya menjadi pekerja migran.

“Selama ini data itu memang tidak ada. Makanya bulan lalu itu saya sudah minta datanya di tiap daerah. Sehingga kita bisa mengambil langkah-langkah apa yang akan kita lakukan terhadap mereka. Anak-anak ini juga menjadi perhatian khusus dari kementerian,” ujarnya.

Pemprov NTB saat ini berupaya untuk mewujudkan daerah yang berwawasan perlindungan anak dan perempuan. Beberapa program sudah dan sedang dilakukan. Pemda saat ini sedang menyasar ke desa-desa, terutama bagi perempuan-perempuan di desa agar mandiri dan bisa melindungi anak-anak mereka.

“Dalam waktu dekat kita akan melaksanakan program desa ramah perempuan dan peduli anak. Dari sini nanti kita bisa mengajarkan kemandirian terhadap perempuan. Jadi, meskipun mereka sudah bercerai, mereka bisa mandiri dan mereka tidak harus pergi ke luar negeri jadi PMI,” katanya.

Pihaknya akan fokus pada pemberdayaan perempuan, terutama perempuan yang sudah memiliki anak. Sehingga mereka bisa memberikan pendidikan dan asuhan terbaik bagi anak-anaknya. Salah satunya dengan program sekolah perempuan yang dicanangkan oleh DP3AP2KB Provinsi NTB.

“Melalui program ini, kita harapkan perempuan-perempuan NTB bisa memberikan asuhan terbaik bagi anak-anaknya. Jadi cerai bukan menjadi alasan untuk mereka tidak memerhatikan asuhan dan pendidikan anaknya,” katanya. 

Selain itu, Eny juga mendorong setiap daerah untuk lebih meningkatkan fasilitas-fasilitas penunjang bagi anak-anak. Misalnya taman bermain anak, sekolah yang lebih ramah terhadap anak-anak serta kegiatan-kegiatan anak-anak yang bisa mendatangkan dampak positif bagi mereka.

“Kita dorong semua kabupaten dan kota melakukan itu. Sehingga ada wadah bagi anak-anak menyalurkan hobinya. Misalnya ada taman bermain anak, ada lapangan basket di sana dan ada berbagai tempat mereka bisa menyalurkan bakat dan minatnya,” katanya.

Inisiatif perlindungan perempuan dan anak

Akibatnya tingginya angka perceraian dari tahun ke tahun, pemerintah daerah mulai berinisiatif dalam upaya perlindungan perempuan dan anak. Salah satunya, Kabupaten Jember di mana kasus perceraian di tempat ini pun mencapai 4.300 kasus setahunan ini. 

Jember telah menyusun kesepakatan antara Pengadilan Agama Kelas 1A Jember dengan 6 Organisasi Bantun Hukum (OBH) untuk memberikan perlindungan hukum kepada perempuan dan anak.

"Hasil kesepakatan, masyarakat akan mendapatkan pendampingan hukum, penyuluhan hukum terkait berbagai permasalahan perempuan dan anak, mulai dari kasus perceraian, efek dari perceraian, masa depan anak, kekerasan seksual, agar selanjutnya masyarakat Jember sadar hukum dan sadar terhadap hak-hak mereka," kata Bupati Jember Hendy Siswanto.

Perempuan dan anak perlu mendapat pendampingan hukum untuk menjaga masa depannya dari dampak perceraian.

Hendy menilai, dampak kasus perceraian apabila tidak ditangani secara serius dapat menimbulkan generasi yang tidak diinginkan bersama.

Dengan penyuluhan edukasi tersebut, diharapkan juga bisa mencegah perselisihan keluarga yang disebabkan kekuatan ekonomi.

"Untuk angka kasus perceraian tertinggi itu, berada di wilayah selatan Kabupaten Jember," terangnya.

Selain memberi perlindungan hukum, pihaknya melalui Kantor Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) mendorong pelatihan kerja bagi perempuan korban perceraian agar kehidupannya bisa mandiri. 

"DP3AKB juga mengeluarkan program pelatihan kerja bagi perempuan setelah perceraian, perempuan kepala keluarga sehingga mereka setelah bercerai tidak kebingungan tapi diharapkan sudah mandiri dan kehidupan mereka tidak menjadi masalah lagi di Jember,” katanya.

 

Bukan hanya berhenti di situ, Pemkab Jember pun terus menguatkan perlindungan bagi perempuan dan anak dengan menjalin kesepakatan dengan Pengadilan Agama dan Polres setempat. 

Mereka bersepakat mengumumkan bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tidak hanya dalam kekerasan fisik. Sengaja tidak memberi nafkah kepada istri yang sudah dicerai juga tergolong KDRT yang bisa dijerat pidana.

Kesepakatan ini secara resmi sudah ditandatangani melalui kesepakatan bersama pada Rabu 17 November 2021. 

"Kami juga bersepakat dengan Polres Jember untuk sosialisasi KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) untuk ranah pidananya, tidak memberi nafkah itu termasuk KDRT dan ancaman hukumannya 3 tahun, nah ini yang akan kami sosialisasikan," ujar Ketua Pengadilan Agama Klas 1 A Jember Achmad Nurul Huda, Kamis (18/11/2021).

Pengadilan Agama juga mempunyai program Yamuna, yakni ramah perempuan dan anak, wujud partisipatif membantu menekan Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Anak (AKI-AKB) dengan kerja sama dengan DP3AKB serta Dinkes Jember.

Huda mengatakan, ada tiga petunjuk teknis yang akan dikerjakan bersama yakni tata kelola, pengamanan persidangan dan eksekusi, serta perlindungan perempuan dan anak. Hal tersebut juga berlaku untuk perkara anggota Polri dan ASN Pemkab Jember.

"Ada koordinasi yang jelas apabila ada perceraian dalam keluarga ASN maupun anggota Polri, tapi mudah-mudahan itu tidak sampai terjadi perceraian," katanya.

Sementara itu, Psikolog Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Lampung Retno Riani membenarkan, perceraian bisa memberikan dampak besar terhadap pertumbuhan psikologi anak. Mengingat, ia adalah korban atas keputusan kedua orangtuanya.

"Apalagi kalau anak sangat dekat dengan salah satu orangtuanya, pasti dia akan sangat kehilangan sosok tersebut. Ini bisa membawa trauma tersendiri bagi dia," ucapnya.

Maka dari itu, ia pun sangat menyarankan sosok orangtua harus bisa menjadi panutan, dengan sekuat tenaga tetap mempertahankan keutuhan keluarga dan menghindari kata perceraian.

"Gak jarang banyak anak yang pas dewasa memilih takut menikah karena trauma," sambung Retno.

Selain rasa trauma, Retno mengingatkan, perceraian juga bisa memberikan dampak terhadap perkembangan emosional anak. Maka dari itu, ia pun menekankan sejatinya komunikasi antara kedua orang bisa tetap terjalin baik pasca keputusan perceraian.

"Lewat komunikasi yang baik, orang tua bisa tetap memberikan pengasuhan kepada anak. Ingat, hak asuh adalah kewajiban orang tua sekalipun telah berpisah," katanya.

Kendati demikian, ia pun mengakui hal tersebut sulit terealisasi, oleh karena kedua pihak harus bisa lebih mengedepankan kepentingan anak dibandingkan ego masing-masing. "Anak perlu perhatian jangan sampai jadi korban akibat perceraian," tandas Retno.

Supaya Bocah Memperoleh Perlindungan dalam Perceraian Keluargailustrasi konseling dengan psikolog atau psikiater (pexels.com/cottonbro)

Sementara itu, Psikolog Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Lampung Retno Riani membenarkan, perceraian bisa memberikan dampak besar terhadap pertumbuhan psikologi anak. Mengingat, ia adalah korban atas keputusan kedua orangtuanya.

"Apalagi kalau anak sangat dekat dengan salah satu orangtuanya, pasti dia akan sangat kehilangan sosok tersebut. Ini bisa membawa trauma tersendiri bagi dia," ucapnya.

Maka dari itu, ia pun sangat menyarankan sosok orangtua harus bisa menjadi panutan, dengan sekuat tenaga tetap mempertahankan keutuhan keluarga dan menghindari kata perceraian.

"Gak jarang banyak anak yang pas dewasa memilih takut menikah karena trauma," sambung Retno.

Selain rasa trauma, Retno mengingatkan, perceraian juga bisa memberikan dampak terhadap perkembangan emosional anak. Maka dari itu, ia pun menekankan sejatinya komunikasi antara kedua orang bisa tetap terjalin baik pasca keputusan perceraian.

"Lewat komunikasi yang baik, orang tua bisa tetap memberikan pengasuhan kepada anak. Ingat, hak asuh adalah kewajiban orang tua sekalipun telah berpisah," katanya.

Kendati demikian, ia pun mengakui hal tersebut sulit terealisasi, oleh karena kedua pihak harus bisa lebih mengedepankan kepentingan anak dibandingkan ego masing-masing. "Anak perlu perhatian jangan sampai jadi korban akibat perceraian," tandas Retno.

Psikolog di Balikpapan Dwita Salverry menambahkan, kasus perceraian, apa pun sebabnya pasti berdampak pada psikologi karena berhubungan dengan pikiran dan perasaan. Apalagi dalam kasus KDRT, suatu kekerasan yang bersifat verbal saja bisa menyakitkan dan menimbulkan trauma.

Dampaknya mulai dari stres, depresi, gangguan tidur, gangguan makan bahkan gangguan perilaku. Namun sudah jamak bila perselingkuhan terjadi maka akan berkaitan juga dengan terjadinya KDRT dalam rangka menutupi kesalahannya.

"Pada dasarnya perceraian itu berhubungan dengan hilangnya suatu hubungan yang awalnya semua pernikahan pasti ingin sekali untuk pertama dan selamanya," kata dia.

Lanjutnya, siapa pun yang terlibat baik lelaki maupun perempuan pasti akan merasa kehilangan dengan perpisahan. Dengan banyaknya gugatan dari pihak istri, sebetulnya menunjukkan jika perempuan sekarang lebih berani menentukan sikap dan menanggung risiko kehilangan perlindungan dan nafkah dari suaminya.

Dwita mengatakan, dampak utama dari setiap perceraian harus dilihat dari bagaimana proses perceraian itu terjadi. Jika prosesnya baik, maka meski lambat hubungan juga akan membaik, apalagi jika memiliki keturunan di tengah-tengahnya. Namun dampak dikarenakan perceraian disebabkan selingkuh, KDRT dan lainnya yang menimbulkan rusaknya hubungan dan sakit, baik fisik maupun perasaan pada kedua pihak.

Untuk dampak psikologinya ditentukan oleh beberapa faktor seperti, bagaimana kondisi mental perempuan saat perceraian itu terjadi, yakni kematangan emosi dan penyesuaian dirinya. Artinya jika perceraian itu terjadi pada mental yang siap maka dia akan bisa menerima dan cepat bangkit dari kondisi yang merasa jatuh karena perceraian ini.

"Walaupun tetap melewati fase pemulihan, namun akan lebih cepat dibandingkan yang mentalnya lemah, kurang percaya diri, pencemas dan merasa tidak berguna misalnya maka dampak psikologinya akan lebih berat," terangnya.

Lalu, tambah dia, bagaimana keyakinannya pada Tuhan, juga akan sangat mempengaruhi saat proses pemulihan di fase marah dan di fase bargaining. Di mana kondisi ini akan menentukan, apakah bisa menerima dengan pikiran, dengan hati atau kombinasi hati, dan pikiran terhadap perceraian yang dihadapinya.

Kemudian bagaimana dukungan keluarga terdekat juga akan sangat menentukan bagaimana perempuan akan bangkit kembali atau menjadi terpuruk oleh perceraian tersebut.

Secara psikologi semua yg mengalami trauma psikologis pasti akan akan bisa pulih dengan sendirinya jika tidak ada gangguan dalam kepribadiannya. Hanya saja, kata Dwita, proses pemulihan berjalan beda kecepatan pada setiap orang walaupun tahapan fasenya sama. Bila tekanan yang didapat melebihi kekuatan mentalnya, itulah yang membuat jadi gangguan.

Senada pula, Psikolog Rumah Sakit Siloam Sriwijaya Palembang Renny Permataria menyatakan, tak sedikit orangtua kurang memahami dampak perceraian bagi perkembangan mental anak-anak, atau justru tak menyadari jika perceraian membuat putra maupun putri mereka kehilangan sosok yang membahagiakan.

Kondisi psikologis anak-anak pun dipengaruhi karena hubungan terpecah tersebut.

"Dalam beberapa kasus, korban perceraian bisa kehilangan kepercayaan akan pernikahan. Beberapa negara bahkan, perpisahan orangtua memicu ketakutan bagi mereka untuk menikah," ujarnya. 

Dampak dari perceraian yang paling sering terjadi di Palembang adalah hubungan menjadi tidak harmonis dengan sang anak. Kemudian, pribadi anak tersebut menjadi mudah marah karena tak bisa menghadapi keputusan orangtua mereka.

"Ketika anak merasa kewalahan dan tidak tahu bagaimana menanggapi dampak yang mereka rasakan selama perceraian, mereka mungkin menjadi mudah marah," kata dia.

Kemarahan itu terkadang diarahkan pada berbagai hal. Misalnya pada orangtua mereka, diri sendiri, teman-teman, dan orang lain. Namun pada kasus di beberapa anak, kemarahan ini akan hilang setelah beberapa saat.

"Tapi banyak dari kasus ini di beberapa anak lainnya, mungkin perasaan marah lebih lama dan berpengaruh terhadap mental dan kejiwaan," timpalnya.

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa anak-anak yang menjadi korban perceraian, ikut berpotensi melakukan hal sama ketika menjalani pernikahan. Bahkan kemungkinan hal itu terjadi lebih tinggi dua hingga tiga kali lipat dari anak-anak yang bukan berasal dari keluarga bercerai.

"Tapi yang perlu dicatat adalah efek perceraian dapat direspons oleh setiap anak dengan cara berbeda. Baiknya, konsultasikan pada psikolog bila korban perceraian mengalami perubahan sifat dan kebiasaan yang tidak wajar," jelas dia.

Agar hubungan anak tetap harmonis meski berpisah, orangtua harus peka atas perasaan dan kesakitan yang dihadapi anak. Seperti mengurangi drama perebutan hak asuh, dan biarkan mereka menentukan pilihan.

"Sebaiknya orangtua mengizinkan dan jangan lupa tersenyum ketika anak akan menginap atau pergi bermain dengan ayah atau sang ibu. Beri kebebasan anak sembari perhatian dan peduli keinginan serta kebutuhannya. Ini akan meningkatkan kepercayaan diri anak," tambahnya.

Upaya lain agar anak korban perceraian tidak takut untuk menikah, orangtua sepatutnya selalu meyakinkan bahwa perpisahan yang terjadi tidak ada kaitan atau disebabkan karena mereka. Ungkap permasalahan yang menyebabkan perceraian.

"Dalam studi kasus psikolog dari California State University, Edward Teyber, banyak anak yang tidak percaya pernikahan," kata dia.

Menurut Renny, orangtua mesti memahami emosi apa yang sedang dirasakan anak; sedih, marah, atau hilang kepercayaan pada dirinya. Sebab bagaimana pun kondisi anak, mereka masih membutuhkan kasih sayang dari kedua orangtua.

"Aturlah waktu agar anak tetap bisa bertemu ayah atau ibunya. Alangkah baiknya jika bisa berkumpul bersama walau status telah bercerai. Orangtua harus meredam ego. Misal, jika anak sehari-hari tinggal dengan ibu, berikan kesempatan anak mengunjungi ayah tanpa hambatan," terang dia.

Psikolog anak dan remaja di Unit layanan Psikologi Terpadu (ULPT) Unisba Stephani Reihana Hamdan menambahkan, perceraian sudah pasti akan berefek negatif kepada anak baik di masa pandemik atau tidak.

Meski perpisahan suami-istri ini baik-baik, tetap saja dampak kurang menyenangkan akan diterima sang anak.

"Perceraian pasti akan memberikan dampak baik jangka pendek atau panjang. Tergantung bagaimana orangtua membangun situasi si anak dan pengertian yang diberikan pada anak terkait konflik pasangan tersebut," ujarnya. 

Artinya, meski sepasang suami-istri ini berpisah mereka seharusnya bisa melakukan kondisi pada anaknya. Ini penting agar anak bisa lebih cepat menerima apa yang dilakukan orangtuanya.

Selama ini mayoritas orangtua yang berpisah gagal mengondisikan pada anak agar mereka tidak memperoleh dampak negatif saat menyaksikan perpisahan kedua orangtuanya. 

Padahal, pengkondisian itu penting baik pada massa persidangan perceraian hingga akhirnya bercerai dan berpisah. Sehingga anak bisa lebih memahami apa yang terjadi pada orangtuanya.

Meskipun, pasti ada perasaan di mana anak tersebut tertekan dengan kejadian ini. Namun, komunikasi antara ayah dan anak maupun ibu dan anak harus tetap berjalan baik layaknya orangtua pada anaknya selama ini.

Tak hanya kepada orangtua, sinyal positif dari sebuah perceraian harus dipancarkan keluarga pasangan tersebut. Misalnya, orangtua dari suami dan orang tua dari istri bisa memberikan pemahaman kepada cucu mereka yang harus menerima kenyataan orangtuanya berpisah.

Stephani mengatakan, kondisi ini amat penting karena tidak jarang suami-istri yang berpisah kemudian mengajak lingkaran di keluarganya menyalahkan salah satu pihak. Ketika itu terjadi, maka anak bakal lebih tertekan ketimbang mendapat pengkondisian yang baik.

Maka, nenek dan kakek dan anak ini harus ikut serta menjelaskan atau memberikan informasi baik meski orangtua anak tersebut bercerai.

"Jangan sampai mereka ikut serta membuat anak stres berkepanjangan. Karena kadang orangtua suami atau istri ini saling menyalahkan. Nah hal itu jangan diperlihatkan di depan anak yang menjadi korban perceraian," ujar Stephani.

Salah satu cara yang bisa dilakukan keluarga kepada anak yang menjadi korban perceraian orangtuanya dengan membawanya kepada ahli, termasuk psikolog. Selama ini banyak yang menganggap anak yang pendiam dan tidak memperlihatkan amarah ketika orantuanya bercerai, tidak memiliki masalah. Padahal itu salah besar.

Bisa saja sang anak memendam perasaan sendiri, yang justru bisa memberikan dampak negatif berkepanjangan. Dengan kasus itu, anak bisa saja jadi enggan melakukan hubungan dengan lawan jenis. Anak juga kemungkinan bisa jadi membenci lingkungannya setelah melihat perceraian orangtua.

"Dengan dampak yang bisa ditimbulkan, alangkah baiknya anak dibawa kepada para ahli. Jangan sampai komunikasi antara anak dengan orangtua tidak berjalan akibat perceraian. Maka anak harus ada pendamping atau teman berbicara," kata Stephani.

 

Tim penulis : Riani (Kaltim), Fatmawati (Kaltim), M Ulil Albab (Jatim), Imron Saputra (Jatim), Lingga (NTB), Tama Wiguna (Lampung), Anggun Puspitoningrum (Jateng), Fenny Maulina Agustin (Sumsel), dan Debbie Sutrisno (Jabar).

Baca Juga: Sah! Oknum TNI Balikpapan yang Bunuh Kekasihnya Dihukum Seumur Hidup

Topik:

  • Sri Wibisono

Berita Terkini Lainnya