Gara-gara Rokok, Markas Pejuang di Samarinda Dihujani Peluru

Kisah empat pertempuran di Samarinda pertahankan kemerdekaan

Samarinda, IDN Times - Petang baru saja meninggalkan Kota Tepian pada Februari 1947. Lamat-lamat terdengar suara saling berbantah, dari balik rimbunnya pepohonan hutan di Kampung Pinang Air Putih.

Suara itu berasal dari rumah yang menjadi markas bagi pejuang perang Sangasanga dan pejuang Samarinda. Kelompok prajurit ini berusaha menyembunyikan diri dari kejaran pasukan penjajah yang tergabung dalam Koninklijke Nederlandsch Indische Leger (KNIL) alias tentara Kerajaan Hindia Belanda dan NICA (Netherland Indies Civil Administration).

“Waktu itu Herman Runturambi, salah satu pejuang, ingin membeli rokok. Tapi ditentang oleh rekan-rekannya yang lain karena bisa membongkar rahasia posisi markas,” ucap ahli sejarah Samarinda, Muhammad Sarip,  saat ditemui IDN Times beberapa waktu lalu di kantornya, RV Pustaka Horizon.

1. Tembakau jadi biang kerok lokasi markas diketahui penjajah

Gara-gara Rokok, Markas Pejuang di Samarinda Dihujani Pelurugeheugenvannederland.nl/Hugo Wilmar

Sarip melanjutkan kisahnya. Sayangnya permintaan itu kurang didengar Herman. Bekas polisi Belanda itu tetap meminta Kepala Kampung Pinang Air Putih, Hamid, yang juga dari kalangan pejuang mencari tembakau. Kekhawatiran itu menjadi kenyataan, tak lama setelah Hamid keluar, letak lokasi persembunyian pasukan ketahuan. Beragam spekulasi muncul.

“Entah (Hamid) tertangkap lalu dipaksa membocorkan rahasia markas, dibuntuti dari belakang atau terjadi pengkhianatan. Intinya saat itu jalur menuju persembunyian pejuang diketahui Belanda,” terangnya.

Mendekati tengah malam, sekitar 200 meter dari markas. Empat sekawan penjaga pos pengawas markas, Soekiman, Sastromiharjo, Kusbi, dan Tjorong dibunuh dalam senyap oleh pasukan Belanda. Prosesnya cepat, nyaris tanpa suara. Rekan-rekannya yang berada di dalam markas, tak tahu saat penjajah menyergap.

Sebagian sedang santai dan ada pula yang tertidur. Dalam kondisi itu, Belanda melancarkan tembakan membabi buta. Beberapa pejuang terbunuh, ada juga yang tertangkap.

“Syukurnya saat itu ada yang bisa menyelamatkan diri dengan berenang menyeberangi sungai lalu bertahan di dataran tinggi berbukit,” sebutnya. “Herman Runturambi ikut tertangkap, tangannya diikat namun tidak diikat ke pohon seperti pejuang lainnya.” 

Baca Juga: Kisah Tan Malaka, Lebih Memilih Jadi Pejuang ketimbang Bicara Asmara

2. Bersembunyi di antara padi yang sudah menguning

Gara-gara Rokok, Markas Pejuang di Samarinda Dihujani Pelurugeheugenvannederland.nl/Dienst voor Legercontacten

Meskipun demikian, sejumlah pejuang yang memegang senjata saat itu mencoba mempertahankan diri. Tatkala mentari perlahan menanjak, tembak-menembak berhenti.

Pasukan KNIL mengumpulkan jenazah para pejuang kemudian membakar rumah tersebut. Tiba-tiba saja, pasukan pejuang menembaki tentara Belanda yang kemudian tergopoh-gopoh mengatur posisi bertahan.

“Kondisi itu coba dimanfaatkan Herman dan rekan-rekan pejuang lainnya melarikan diri,” ucapnya.

Para pejuang itu berusaha menyembunyikan diri dengan cara melewati sawah yang padinya sudah menguning, kemudian menyeberangi sungai dan bergabung bersama pasukan pejuang lainnya.

Setelah itu, pasukan pejuang berpencar, ada yang ke Temindung, Mangkupalas, Handil, Ambalut, Separi, hingga ke pedalaman Kutai lalu ke Kalimantan bagian tengah. “Mereka berkonsolidasi dengan kekuatan yang sudah terpisah-pisah,”  ujar Sarip.

Dari sejumlah pejuang yang gugur dalam pertempuran itu, ada enam jenazah yang teridentifikasi dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan, Jalan Kusuma Bangsa, Samarinda. Para pejuang yang gugur itu Tjorong bin Abu Bakar, Sastrowardjojo, Aman bin Ijuh, Asan, Masdar bin Mansur, dan Gondo.

3. Empat tugu palagan sebagai pengingat pertempuran di Samarinda

Gara-gara Rokok, Markas Pejuang di Samarinda Dihujani Pelurugeheugenvannederland.nl/Dienst voor Legercontacten

Kisah yang diceritakan Sarip ini adalah salah satu pertempuran penting di Samarinda. Sementara Sarip pada bukunya  Samarinda Tempo Doloe (2017), juga mencatat mengenai perjuangan lain para prajurit mempertahankan kemerdekaan dari serbuan penjajah di Samarinda. Setidaknya ada empat pertempuran monumental terjadi di Kota Tepian.

Demi mengenang para pejuang dengan gagah berani mempertahankan kemerdekaan dari para penjajah, Pemkot Samarinda pada 10 November 1991 meresmikan empat tugu palagan di empat lokasi berbeda, yakni di Jalan Sultan Sulaiman, dekat Kantor Kecamatan Sambutan, Jalan Damanhuri II, Jalan RE Martadinata, dekat Taman Lampion Garden dan Jalan Pangeran Suryanata, di seberang Masjid Asy Syuhada. Tugu itu pula yang menjadi penanda ada pertempuran di wilayah tersebut.

Terkait tugu ini, “Sebagian besar keberadaan juga tak terawat, bahkan posisinya berada di tanah yang dikuasai perusahaan swasta,” bebernya.

Mengenai tiga pertempuran lainnya, Sarip menjelaskan, sebulan sebelum perang di Kampung Pinang, sejarah mencatat, ada adu senjata lain di Samarinda. Misal, pertempuran di Kampung Sambutan pada 6 Januari 1947.

Ketika itu pasukan Herman berusaha bersembunyi dari kejaran pasukan Belanda dan membangun markas di kawasan tersebut. Tapi usaha itu sia-sia, oleh mata-mata NICA lokasi berlindung diketahui. Inilah pertempuran pertama di Samarinda antara pejuang melawan penjajah.

“Konflik senjata itu makan korban, seorang patriot bernama Tarmidzi gugur dalam pertempuran,” cerita dia.

4. Mencoba menyerang saat penjajah sedang berpesta pada malam hari, tapi gagal karena kalah senjata

Gara-gara Rokok, Markas Pejuang di Samarinda Dihujani Pelurudigitalcollections.universiteitleiden.nl/KITLV

Melanjutkan perjuangan, pasukan pejuang menyingkir ke Kampung Solong. Pada 7 Januari 1947, M. Djunaid Sanusie, Ali Badrun Noor dan Imberan menemui Herman Runturambi di Solong untuk mendiskusikan langkah lanjutan usir penjajah.

Di tengah musyawarah, H. Djamharie, seorang pedagang ikan di Pasar Pagi membawa kabar, jika pasukan Belanda sedang bergerak menuju Solong. Pertempuran kedua tak bisa dihindari, kalah strategi dan senjata, para pimpinan pejuang memutuskan menarik diri kemudian melintasi sawah lalu menyeberangi Sungai Lempake (anak Sungai Karang Mumus) dengan perahu.

Seminggu kemudian, malam hari pada 15 Januari 1947, gerilyawan Badan Pembela Republik Indonesia (BPRI) menyerang kompleks perumahan para penjabat Kesyahbandaran (Havenmeester) di Teluk Lerong.

Saat itu orang-orang Belanda sedang pesta. "Terjadi tembak-menembak antara pejuang dengan polisi dan tentara Belanda yang berjaga di sekitar tempat berpesta," ujar Sarip.

Para pejuang kemudian mundur dan berpencar karena kekuatan yang tak berimbang dalam pertempuran ke-3 di Samarinda ini. Sembilan hari selanjutnya, pada 24 Januari 1947, Herman Runturambi dan sebagian kekuatan pasukan pejuang menuju Sangasanga.

Tiga hari kemudian meletus peristiwa Merah Putih di Sangasanga, sebuah kecamatan berjarak 30 kilometer dari Kota Samarinda. Kisah pertempuran kolosal itu tercatat dalam risalah eksponen Badan Pembela Republik Indonesia (BPRI) bersama Jarahdam IX/Mulawarman berjudul Palagan Perebutan Kota Minyak Sanga-Sanga (1982).

 

Baca Juga: Kisah Koesman, Kurir Pembawa Pesan Masa Perjuangan Kemerdekaan

Topik:

  • Mela Hapsari

Berita Terkini Lainnya