(OPINI) Momentum Lebaran di Mata Profesi Jurnalis
Melaksanakan puasa di tengah aktivitas media
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Seorang sahabat lama saya dari aktivis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Balikpapan Novi Abdi setengah bercanda sempat berujar, "Ironi kita ini ya, setengah mati membela orang lain, tapi terkadang lupa untuk membela diri sendiri," katanya dalam banyak kesempatan mengomentari profesi yang sudah digelutinya bertahun-tahun.
Entah pernyataan tersebut bercanda ataukah sekadar candaan gabut di antara para jurnalis lain, tetapi itu menjadi bahan renunganku selama bertahun-tahun. Pertanyaan pentingnya adalah, apakah sudah benar yang kulakukan selama ini? Membela kebebasan pers, demokrasi, kebebasan berbicara, hak-hak sipil, kaum marjinal, dan masih banyak lainnya. Tapi di satu sisi, kami para jurnalis ini terkadang malah melupakan hak-hak kami sendiri, hak-hak keluarga kami sendiri, yakni penghidupan layak, kesejahteraan, dan pendidikan.
Suatu prinsip jurnalis di lapangan yang tentunya substansinya beda bila dibandingkan teori para ahli jurnalisme dalam dan luar negeri, seperti Adinegoro, Gunawan Mohamad, Roland E. Wolesely dan Laurence R. Campbell, Walter Lippmann, hingga Bill Kovach.
Pernyataan tersebut bisa jadi sekadar bercanda semata, tetapi bisa juga sebagai bentuk curhatan profesi jurnalis idealnya hanya bisa dikerjakan orang-orang sempurna atau istilahnya "Superman". Kalimat sarkasme untuk mentertawai dirinya sendiri tanpa bermaksud menyinggung orang lain dan bukan pula dikarenakan sudah tidak lagi cinta pada profesi ini.
1. Jurnalis sebagai profesi yang mulia
Pada faktanya memang tidak semua orang mampu menjalani profesi jurnalis, di mana kalian harus siap bertugas apa pun kondisi dan risikonya. Kata "apa pun" sepertinya sedikit berlebihan, tetapi realitas di lapangan adalah demikian.
Sebagai catatan, seorang jurnalis terkadang harus melewatkan waktu intim bersama keluarga, hanya untuk sekadar meliput suatu peristiwa kejadian. Bahkan jam-jam waktunya tidak normal, bisa di tengah malam bahkan pagi-pagi buta. Karena prinsip jurnalisme menyebutkan suatu peristiwa tidak mungkin terulang kembali. Seperti bila kalian terlambat meliput suasana peristiwa kebakaran, tidak mungkin pula rumah yang berhasil dipadamkan apinya, untuk dibakar kembali.
Seperti pula dalam momentum lebaran di mata jurnalis pun menyimpan banyak cerita tentang suka duka kami menyambut perayaan Idul Fitri. Seperti contohnya dialami saya sendiri seperti halnya jurnalis lainnya, terkadang pula harus melaksanakan tugas-tugas lapangan. Kala melaporkan situasi arus transportasi jelang lebaran Idul Fitri dari wilayah pelosok dan pedalaman perbatasan Malaysia-Indonesia di Kalimantan Utara (Kaltara).
Sepekan sebelum lebaran, tanpa sanak dan saudara membuat laporan liputan sembari tetap menjalankan ibadah puasa. Menyesakkan memang, tetapi itu sudah menjadi konsekuensi profesi jurnalis yang dipilih.
Puncaknya ketika momentum lebaran segera tiba, dan saya pun sudah bersiap mengakhiri tugas dan menemui keluarga. Tetapi patut disadari, situasi di lapangan biasanya tidak sesuai dengan perencanaan kita dari awal. Salah satu yang terjadi adalah, tiket penerbangan pesawat dari perbatasan ternyata sudah diborong pemudik jauh-jauh hari. Hanya ada jalur transportasi laut kelas ekonomi rute Tarakan - Nunukan, dan Balikpapan selama tiga hari pelayaran.
Saya tidak punya pilihan lain, menggunakan layanan transportasi laut atau menunggu dibukanya kembali jalur penerbangan menuju Balikpapan. Akhirnya toh saya memutuskan menggunakan jasa jalur laut dengan konsekuensi merayakan lebaran di tengah laut.
Tidak ada teman dan jauh dari keluarga. Sudah begitu, situasi kelas ekonomi transportasi laut sungguh tidak mengenakkan. "Karena hampir seluruh bagian kapal sudah dipenuhi tubuh-tubuh penumpang kelas ekonomi lainnya." Entah karena tempat tidur kelas ekonomi tidak mampu menumpang jumlah penumpang atau jumlah penumpangnya sendiri yang overload.
Sebagai catatan, situasi seperti ini sudah lazim dialami para jurnalis dalam menjalankan tugas.
Baca Juga: Pemprov Kaltim Distribusi Logistik Korban Kebakaran di Balikpapan