Sejarah Kota Samarinda dan Kisah tentang Daeng Mangkona 

Perjalanannya menjadi kota terbesar di Kaltim

Samarinda, IDN Times - Provinsi Kalimantan Timur memiliki salah satu kota bernama Samarinda. Kota ini memiliki penduduk terbesar di Pulau Kalimantan dengan jumlah penduduk sebanyak 812.597 jiwa. Kota ini memiliki kondisi geografis berbukitan dengan ketinggian yang bervariasi.

Samarinda dibatasi oleh Sungai Mahakam, kota ini menjadi gerbang menuju pedalaman Kaltim. Nah, untuk mengenal lebih jauh tentang kota Samarinda, mari simak sejarah Samarinda berikut dengan kisah Daeng Mangkona di bawah ini.

1. Sejarah Kota Samarinda

Sejarah Kota Samarinda dan Kisah tentang Daeng Mangkona Kompleks Makam Kesultanan Kutai Ing Martadipura. (Sumber: situsbudaya.id)

Samarinda dikenal sebagai wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Sebelum dikenal sebagai Kota Samarinda, pada abad ke-13 Masehi sudah ada perkampungan penduduk di 6 lokasi yang tercantum dalam manuskrip surat pada silsilah Raja Kutai Kartanegara yaitu:

  • Karang Asam
  • Karang Mumus
  • Loa Bakung
  • Sembuyutan
  • Mangkupalaas

Migrasi Suku Banjar dari Batang Banyu menuju daratan Kalimantan bagian timur terjadi pada tahun 1565. Saat itu rombongan suku Banjar di bawah pimpinan Aria Manau yang berasal dari Kerajaan Kuripan. Kemudian merintis Kerajaan Sadurangas di daerah Paser.

Selanjutnya Suku Banjar menyebar di wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara. Di dalamnya meliputi berbagai kawasan yang saat ini disebut sebagai kota Samarinda.

2. Awal menetapnya Suku Banjar di Samarinda

Sejarah Kota Samarinda dan Kisah tentang Daeng Mangkona ilustrasi Suku Banjar (hatma.net)

Awal menetapnya Suku Banjar di Kalimantan bagian timur yaitu pada masa Kerajaan Kutai berada di bawah pimpinan Kerajaan Banjar. Hal inilah yang melatarbelakangi terbentuknya bahasa Banjar sebagai bahasa yang mendominasi masyarakat di kota Samarinda. Setelah itu, muncullah berbagai suku mulai dari Bugis dan Jawa.

Asal mula nama Samarinda terbentuk dari tradisi lisan masyarakat kota Samarinda itu sendiri. Asal mula nama Samarinda dilatarbelakangi oleh posisi permukaan Sungai Mahakam yang sama rendahnya dengan pesisir di daratan kota yang membentanginya. 

Dulunya, setiap air sungai mengalami pasang, maka kawasan tepian kota tersebut selalu tenggelam. Kemudian tepian sungai Mahakam dilakukan penimbunan secara terus menerus hingga sampai saat ini bertambah 2 meter dari ketinggian semula.

Asal-usul nama Samarinda berasal dari kata sama randah dari bahasa Banjar yang artinya permukaan yang rendah.

3. Hijrahnya pasukan Kerajaan Gowa

Sejarah Kota Samarinda dan Kisah tentang Daeng Mangkona Keluarga Kerajaan Bajeng memakai baju adat memimpin upacara memperingati Kemerdekaan RI di Kawasan Balla Lompoa Kecamatan Bajeng, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Jumat (14/8/2020). (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe)

Dibalik nama Samarinda, ada kisah dibaliknya. Perlu diketahui bahwa Samarinda dulunya merupakan wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. 

Namun, ketika terjadi pecah perang Gowa, Pasukan Belanda yang saat itu dipimpin Laksamana Speelman menyerang Makassar dari laut. Sementara Arung Palakka mendapat bantuan dari Belanda karena ingin melepaskan Bone dari penjajahan Raja Gowa yang ingin menyerang melalui daratan.

Kerajaan Gowa akhirnya dapat dikalahkan dan Raja Gowa terpaksa harus menandatangani perjanjian yang dikenal sebagai Bungawa pada tanggal 18 November 1667.

Namun, sebagian orang dari Kerajaan Gowa masih tidak mau tunduk terhadap isi perjanjian tersebut. Mereka terus melakukan perlawanan secara gerilya melawan Belanda. Selanjutnya mereka hijrah ke pulau-pulau lain. Mereka adalah rombongan di bawah pimpinan La Mohang Daeng Mangkona.

4. Kisah Daeng Mangkona

Sejarah Kota Samarinda dan Kisah tentang Daeng Mangkona instagram.com/bayuwirahadik

Rombongan ini diterima baik oleh Kesultanan Kutai. Atas perjanjian yang disepakati bersama, rombongan tersebut diberi lokasi di sekitar kampung melantai. Di mana lokasi tersebut baik untuk melakukan usaha pertanian, perikanan dan perdagangan. Namun, mereka harus membantu apa pun yang menyangkut kepentingan Kesultanan Kutai, termasuk untuk menghadapi musuh.

Tahun 1668- an, Kesultanan Kutai memerintahkan La Mohang Daeng Mangkona untuk membuka perkampungan di tanah rendah. Dibukanya perkampungan tersebut sebagai upaya tempat pertahanan dari serangan bajak laut asal Filipina yang sering kali melakukan perampokan di pantai di wilayah Kerajaan Kutai.

Kampung tersebut diberi nama sama rendah, yang artinya agar semua penduduk asli maupun pendatang memiliki derajat yang sama tanpa mengenal perbedaan suku.

Baca Juga: Sejarah Berdirinya Berau sebagai Penguasa Pulau-Pulau di Kaltim

Topik:

  • Sri Wibisono

Berita Terkini Lainnya