TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Soal Label BPA, YLKI: Kementerian Perindustrian Jadi Corong Industri

Pemerintah harus mengedepankan kepentingan publik 

Ilustrasi galon guna ulang. Foto dok

Balikpapan, IDN Times - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkritik keras Kementerian Perindustrian terkait agenda pelabelan risiko bahan kimia Bisfenol-A (BPA) pada galon industri air minum dalam kemasan (AMDK). Kementerian ini dianggap paling terdepan mengganjal aturan BPA ini sedang dirumuskan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Alasannya melindungi pertumbuhan ekonomi sektor industri makanan dan minuman tanah air. 

Padahal aturan itu dibuat untuk memberikan perlindungan kepada konsumen dari luruhan kandungan zat BPA yang berdampak negatif pada kesehatan dalam kurun waktu tertentu. 

"Saya tidak heran dengan Kementerian Perindustrian, mereka selalu defensif soal aturan perlindungan konsumen. Mereka selalu menjadi corong kepentingan industri," kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi saat dihubungi, Selasa (25/1/2022). 

Baca Juga: Masyarakat Adat Kaltim Murka, Laporkan Edy Mulyadi ke Polisi

1. Catatan tentang Kementerian Perindustrian

Ketua Harian YLKI Tulus Abadi memberikan keterangan pers. (IDN Times/Indiana Malia)

Tulus mengatakan, Kementerian Perindustrian selalu terdepan mewakili kepentingan industri dalam penerapan berbagai aturan di Indonesia. Dalam banyak kasus, kementerian selalu menolak pemberlakuan kebijakan dengan tujuan melindungi kepentingan masyarakat. 

Contohnya aturan dalam pengendalian tembakau, gula, garam, minuman manis, dan lemak. Sekarang ini yang terbaru soal rencana penerapan pelabelan BPA galon AMDK. 

"Sebenarnya mereka ini mewakili kepentingan negara atau industri? Setiap ada aturan soal perlindungan masyarakat, mereka selalu menolak," ungkapnya. 

Di sisi lain, Tulus pun bisa memaklumi saat negara juga memberikan perlindungan bagi kepentingan industri untuk bisa terus hidup dan berkembang. Tetapi bukan lantas dengan mengorbankan kepentingan masyarakat secara luas dalam jangka pendek, sedang, maupun panjang. 

Menurutnya, kepentingan publik harus menjadi prioritas utama dengan menyingkirkan kepentingan privat maupun golongan. 

"Saya tidak tahu, apakah itu natural saja, atau ada sesuatu di balik semua itu," tukasnya. 

2. Penerapan pelabelan BPA diyakini tidak memberikan dampak negatif pada ekonomi

GettyImage

Lebih lanjut, Tulus sangat yakin pemberlakuan pelabelan risiko BPA galon industri AMDK tidak memberikan dampak signifikan pada perekonomian dalam negeri. Sebaliknya, konsumen semakin loyal di saat produsen menerapkan aturan yang memberikan perlindungan pada mereka. 

Dalam hal ini tentang kandungan zat risiko BPA pada galon. 

Apalagi dalam penerapannya akan masa transisi sehingga perusahaan pun bisa bersiap diri dalam menyiapkan infrastruktur. Baru setelah dirasakan siap, pemerintah pun akan sepenuhnya dalam menerapkan aturan ini. 

Meskipun memang, akan ada konsekuensi penambahan biaya produksi saat pelabelan BPA ini benar-benar diberlakukan. Tetapi itu tentunya sudah menjadi risiko dengan berjalannya waktu perubahan kebijakan di suatu negara. 

Tulus pun mencontohkan, salah satu industri AMDK berstatus perusahaan multinasional yang menerapkan standar ganda dalam masalah ini. Sebagai perusahaan internasional, menurutnya perusahaan ini semestinya menerapkan aturan sesuai standar internasional. 

Di mana ada perlindungan tegas soal kandungan zat BPA. 

Tetapi saat di Indonesia, mereka ingin mempertahankan status quo dengan mengabaikan aturan soal BPA ini. 

"Jangan berstandar ganda dong! Kalau di negara mereka sendiri patuh dengan aturan soal BPA, tetapi saat di Indonesia mereka menolak pemberlakuannya. Semestinya sebagai perusahaan MNC menerapkan standar tinggi dalam berbisnis," ujarnya. 

Baca Juga: Market Leader AMDK Diminta Jadi Contoh dalam Ketentuan Zero ODOL

Berita Terkini Lainnya