Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Penghitung waktu.
Ilustrasi Alasan Psikologis Mengapa Kita Merasa Waktu Berlalu Begitu Cepat. (pexels.com/Jordan Benton)

Pernahkah kamu merasa baru saja memulai minggu, tapi tiba-tiba sudah hari Jumat lagi? Atau merasa masa kecil berlangsung lama, sementara masa dewasa berlalu begitu cepat tanpa terasa?
Fenomena ini bukan sekadar perasaan, tapi ada penjelasan ilmiah dan psikologis di baliknya.

Secara fisik, waktu memang berjalan dengan kecepatan yang sama. Namun, cara otak kita memproses dan memaknai waktu bisa berubah seiring usia, rutinitas, dan kondisi emosional. Dalam kehidupan modern yang serba cepat, persepsi terhadap waktu sering kali kabur. Kita larut dalam kesibukan dan multitasking hingga hari-hari terasa berlalu begitu saja.

Padahal, memahami mengapa waktu terasa cepat bukan hanya soal rasa penasaran, tapi juga tentang bagaimana kita bisa kembali hadir penuh dan menikmati hidup dengan lebih sadar.
Berikut lima alasan psikologis mengapa waktu terasa berjalan begitu cepat.

1. Otak kita terbiasa pada pola yang sama

Ilustrasi 10 Quote tentang Self-Reflection dan Maknanya dalam Kehidupan. (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Salah satu penyebab utama waktu terasa cepat adalah karena otak kita terlalu terbiasa dengan rutinitas.
Ketika setiap hari berjalan sama—bangun, bekerja, makan, tidur—otak tidak lagi mencatat hal-hal baru sebagai pengalaman yang unik. Akibatnya, memori harian menjadi samar, dan waktu terasa berlalu begitu saja tanpa jejak.

Dalam psikologi, hal ini dikenal sebagai routine compression effect. Sebaliknya, ketika kita melakukan hal baru—seperti bepergian, belajar sesuatu yang berbeda, atau bertemu orang baru—waktu terasa lebih lambat karena otak merekam banyak hal baru.
Semakin monoton hidup kita, semakin cepat waktu terasa berlalu.

2. Usia membentuk persepsi waktu

Ilustrasi Alasan Psikologis Mengapa Kita Merasa Waktu Berlalu Begitu Cepat. (pexels.com/Jordan Benton)

Semakin bertambah usia, cara kita memandang waktu ikut berubah. Saat kecil, satu tahun terasa sangat lama karena merupakan porsi besar dari usia kita.
Misalnya, bagi anak berusia 10 tahun, satu tahun adalah 10% dari hidupnya. Namun bagi orang berusia 40 tahun, satu tahun hanya 2,5%. Inilah yang disebut proportional theory of time perception.

Selain itu, orang dewasa memiliki lebih banyak tanggung jawab dan kegiatan yang padat. Otak pun jarang “berhenti” untuk merasakan waktu secara sadar karena sibuk memproses berbagai hal sekaligus. Kita jadi sering hidup dalam mode otomatis, tanpa benar-benar hadir dalam momen yang dijalani.

3. Kurangnya kehadiran mental atau mindfulness

Ilustrasi Api Kehidupan dari Chairil Anwar yang Menggambarkan Keberanian. (pexels.com/Julia Volk)

Banyak orang menjalani hari dengan tubuh yang hadir, tapi pikirannya melayang ke masa lalu atau masa depan. Kondisi ini disebut mind-wandering, di mana otak tidak fokus pada apa yang sedang dilakukan.

Ketika pikiran sering berpindah, otak gagal mencatat pengalaman secara utuh sehingga waktu terasa “hilang” begitu saja.
Sebaliknya, saat kita benar-benar hadir penuh—misalnya menikmati secangkir kopi tanpa gangguan ponsel—waktu terasa lebih lambat dan bermakna.

Praktik mindfulness membantu kita menyadari setiap detik yang berlalu. Waktu memang tak bisa diperlambat, tapi kesadaran penuh membuat hidup terasa lebih dalam dan kaya makna.

4. Otak menyaring informasi untuk menghemat energi

Ilustrasi Kata Hati Kahlil Gibran yang Menjadi Kebijaksanaan Abadi. (pexels.com/Zulfugar Karimov)

Otak manusia dirancang efisien. Ia akan mengabaikan hal-hal yang dianggap tidak penting agar tidak kelelahan memproses informasi.
Namun, kebiasaan ini membuat kita melewatkan banyak detail kecil seperti suara burung di pagi hari, pemandangan di perjalanan, atau percakapan ringan dengan orang sekitar.

Karena otak tidak merekam pengalaman-pengalaman kecil ini, memori kita tentang waktu menjadi lebih pendek.
Inilah sebabnya liburan yang penuh pengalaman terasa lama, sementara seminggu bekerja terasa berlalu begitu cepat.
Waktu terasa panjang bukan karena durasinya, tapi karena banyaknya memori yang tercipta di dalamnya.

5. Kehidupan serba cepat membuat kita kehilangan ritme alamiah

Ilustrasi Cherophobia, Takut untuk Bahagia dan Terluka Kembali. (pexels.com/RDNE Stock project)

Teknologi dan tuntutan hidup modern membuat kita terbiasa hidup dalam percepatan.
Kita berpindah dari satu tugas ke tugas lain tanpa jeda, hingga lupa memberi waktu bagi tubuh untuk beristirahat dan menikmati hidup.
Dalam kondisi ini, persepsi waktu terasa seperti “dipercepat”—seolah kita terus berlari tanpa sempat berhenti.

Menariknya, ketika seseorang mulai melambat dan mengikuti ritme tubuhnya, persepsi waktu pun berubah.
Berjalan tanpa tergesa, berbicara perlahan, atau memberi jeda antaraktivitas dapat membantu otak benar-benar mengalami setiap momen.
Hidup mungkin tidak menjadi lebih panjang, tetapi akan terasa lebih tenang dan utuh.

Waktu tidak benar-benar berjalan lebih cepat, tapi cara kita menjalani hidup membuatnya terasa demikian.
Dengan memperbanyak pengalaman baru, berlatih mindfulness, dan memberi ruang untuk menikmati momen kecil, kita bisa memperlambat persepsi waktu—dan hidup dengan lebih sadar setiap harinya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team