Seorang petugas sedang mengecek saluran biogas di Pondok Pesantren Baiturrahman, Kabupaten Bandung. IDN Times/Debbie Sutrisno
Dalam prosesnya, Elis mengakui, pengembangan biogas di Samboja dan Muara Jawa tidak mudah. Banyak tantangan dan rintangan dalam pengembangan energi terbarukan ini.
Seperti contohnya yang sekarang ini terjadi di Samboja, di mana karakteristik warga setempat belum terbiasa dalam budi daya ternak sapi modern.
Selama enam tahun terakhir, perusahaan hanya mampu memasang 4 unit biogas di Teluk Pemedas, Senipah, dan Muara Kembang. Hasilnya, hanya 16 keluarga penerima manfaat sejak program digulirkan.
Jumlahnya merupakan kalkulasi program di masa TEPI dan PHM. Angkanya sudah disebutkan ini, bisa jadi lebih rendah dari perkiraan awal disampaikan pihak PHM.
Elis berdalih bermacam kendala harus dihadapi dalam menjalankan program energi ini.
Salah satunya, ia mencontohkan, kesulitan warga yang mengeluhkan dalam memperoleh kotoran sapi sebagai bahan baku utama produksi biogas.
PHM memang sudah menghibahkan hewan ternak sapi pada masyarakat. Harapannya, selain jumlah hewan ternak bertambah, juga menghasilkan kotoran bisa menjadi bahan baku biogas.
Permasalahannya, warga di sini belum terbiasa dalam beternak hewan secara modern. Di mana hewan ternak dikumpulkan bersamaan dalam satu lokasi peternakan.
Sebaliknya, mayoritas warga beternak secara tradisional dengan membiarkan ternak berkeliaran, di lapangan, kebun, dan ladang.
"Bahan baku kotoran sapi sulit terkumpul," ungkap Elis.
Permasalahan kian runyam dengan minimnya kekompakan internal di antara para kelompok tani. Dalam berbagai kasus, mereka terganggu pelbagai faktor non teknis seperti perbedaan politik di antara anggota.
Seperti contohnya saat terjadi perbedaan pandangan politik, mereka pun lantas enggan melanjutkan kerja sama dalam pengembangan biogas.
"Kalau di Kukar masih ada pemilihan kepala desa (pilkades). Masing–masing punya pendukung. Kalau pilihannya beda, mereka tidak mau lagi kerja sama," keluh tutur Elis.