Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Seorang pria berjalan pada malam hari.
Ilustrasi Nyctophobia, Takut pada Kegelapan dan Bayangan Tak Terlihat. (pexels.com/Yassir Abbas)

Ada sesuatu yang sunyi sekaligus misterius dari kegelapan. Saat lampu padam dan dunia kehilangan warnanya, sebagian orang mungkin merasa tenang untuk beristirahat. Namun bagi sebagian lainnya, gelap justru memunculkan rasa cemas, jantung berdebar, dan pikiran yang menakut-nakuti diri sendiri.

Ketakutan ini dikenal sebagai nyctophobia, atau fobia terhadap kegelapan. Ia bukan sekadar rasa tidak nyaman saat malam tiba, tapi ketakutan terhadap ketidaktahuan dan hal-hal yang tak bisa dikendalikan.

Dalam gelap, semua terasa samar. Pikiran mulai menciptakan bayangan bahaya yang sebenarnya tak ada. Jika ditelusuri lebih dalam, mungkin yang kita takuti bukanlah “gelap” itu sendiri, melainkan bagian dari diri kita yang belum berani dihadapi.

1. Jejak ketakutan dalam kegelapan

Ilustrasi Nyctophobia, Takut pada Kegelapan dan Bayangan Tak Terlihat. (pexels.com/Ricardo Martínez González)

Rasa takut terhadap gelap biasanya berawal sejak kecil. Kita diajari bahwa malam identik dengan bahaya—tempat monster bersembunyi dan hal buruk bisa terjadi. Ketika dewasa, sisa ketakutan itu tetap ada di alam bawah sadar. Setiap kali cahaya padam, tubuh refleks merasa siaga.

Padahal, rasa takut itu sebenarnya bentuk alami dari mekanisme pertahanan diri manusia terhadap ketidakpastian. Kegelapan membuat kita tak bisa melihat, dan otak pun menciptakan ancaman untuk mengisi ruang kosong tersebut.

Dengan kata lain, nyctophobia bukan hanya ketakutan terhadap gelap, tapi terhadap hal-hal yang tak terlihat—baik di luar maupun di dalam diri sendiri.

2. Saat bayangan menjadi cermin

Ilustrasi Nyctophobia, Takut pada Kegelapan dan Bayangan Tak Terlihat. (pexels.com/Yassir Abbas)

Kadang, yang menakutkan bukanlah gelap di luar, tapi kegelapan di dalam diri. Di tengah sunyi malam, ketika dunia berhenti bergerak, muncul suara hati yang biasanya tertutup oleh hiruk pikuk. Suara itu bisa membawa kenangan, penyesalan, atau luka lama yang belum terselesaikan.

Kita sering takut pada kegelapan karena di sanalah muncul sisi diri yang rapuh, kecewa, atau marah. Nyctophobia, dalam makna reflektif, bisa menjadi simbol bahwa kita belum berdamai dengan masa lalu atau sisi gelap diri sendiri.

Keberanian sejati bukan sekadar menyalakan lampu untuk mengusir gelap, tetapi berani duduk diam di dalamnya dan berkata, “Aku tidak akan lari lagi.”

3. Menerangi ketakutan dengan kesadaran

Ilustrasi Cara Meningkatkan Kesehatan Mental tanpa Harus ke Psikolog. (pexels.com/Elina Fairytale)

Kegelapan tak akan pernah benar-benar hilang dari hidup. Namun, kita bisa belajar melihatnya dari sudut pandang berbeda. Salah satu langkah penting menghadapi nyctophobia adalah menumbuhkan kesadaran dan penerimaan diri.

Alih-alih melawan rasa takut, coba pahami dari mana ia berasal. Apakah karena kehilangan kendali, atau karena bayangan pikiran yang belum terselesaikan?

Dengan kesadaran itu, kita bisa membangun hubungan baru dengan malam. Cobalah menyalakan lilin kecil—bukan untuk mengusir semua gelap, tapi memberi ruang agar cahaya dan kegelapan bisa berdampingan.

Karena hidup tak selalu terang. Ada bagian yang perlu tetap gelap agar keseimbangan terjaga. Di situlah keberanian tumbuh, bukan karena kita tak lagi takut, tapi karena kita memilih tetap hadir meski takut.

4. Belajar berdamai dengan malam

Ilustrasi tips mudah yang bisa kamu terapkan setiap hari ala Stoik. (pexels.com/Alina Matveycheva)

Malam adalah waktu yang jujur. Ia tidak menuntut senyum atau peran apa pun. Dalam kegelapan, kita bisa menjadi diri sendiri—tanpa topeng, tanpa pencitraan.

Ketika kita mulai melihat malam sebagai ruang untuk beristirahat, bukan ancaman, maka gelap perlahan kehilangan kekuatannya. Ia berubah menjadi pelukan lembut yang menenangkan, tempat jiwa beristirahat dari hiruk pikuk dunia.

Berdamai dengan malam berarti juga belajar mempercayai hal-hal yang tak terlihat. Tidak semua bayangan adalah ancaman. Kadang, di tengah gelap, justru muncul cahaya paling murni—cahaya dari dalam diri.

Karena pada akhirnya, kegelapan bukan musuh, melainkan guru yang mengajarkan kita tentang keberanian, ketenangan, dan cara menghadapi diri sendiri.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team