Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Seorang wanita sedang memarahi temannya.
Ilustrasi Tanda Kamu Mulai Kehilangan Empati, dan Cara Mengembalikannya. (pexels.com/Liza Summer)

Empati adalah kemampuan memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang lain — jembatan emosional yang membuat hubungan manusia terasa hangat dan bermakna. Namun, di tengah kehidupan modern yang serba cepat dan penuh tekanan, banyak orang tanpa sadar mulai kehilangan empati.

Bukan karena mereka berubah menjadi “jahat,” tapi karena hati terlalu lelah, sibuk, atau sering terluka hingga akhirnya menutup diri. Dalam psikologi sosial, kondisi ini disebut empathy fatigue atau kelelahan empatik — keadaan di mana seseorang kehilangan kemampuan merespons secara emosional terhadap perasaan orang lain.

Kehilangan empati bukan hanya memengaruhi hubungan sosial, tapi juga berdampak pada kesehatan mental dan keseimbangan batin. Tanpa empati, kita lebih mudah menghakimi, cepat marah, dan sulit memahami perbedaan. Kabar baiknya, empati bukanlah sifat yang hilang selamanya. Ia bisa dilatih dan dipulihkan.

Berikut lima tanda kamu mulai kehilangan empati, serta cara psikologis untuk menumbuhkannya kembali agar hati kembali lembut dan sadar.

1. Kamu tidak lagi tersentuh oleh cerita atau perasaan orang lain

Ilustrasi teknik penyelesaian masalah yang tidak menimbulkan dendam. (pexels.com/Timur Weber)

Tanda pertama kehilangan empati adalah ketika kamu mulai tidak tergerak oleh emosi orang lain. Cerita sedih teman, kesulitan orang tua, atau kabar duka tak lagi menyentuh hati seperti dulu. Dalam psikologi, ini dikenal sebagai emotional numbing — mekanisme pertahanan diri yang membuat seseorang menekan emosi agar tak merasa terlalu sakit.

Untuk memulihkannya, latih emotional awareness atau kesadaran terhadap perasaan diri sendiri. Tanyakan, “Apa yang aku rasakan hari ini?” — lelah, kecewa, sedih, atau datar? Dengan mengenali emosimu sendiri, kamu akan lebih mudah memahami emosi orang lain. Empati selalu berawal dari keberanian untuk kembali merasakan.

2. Kamu cepat menghakimi dan sulit menempatkan diri di posisi orang lain

Ilustrasi Tanda Kamu Mulai Kehilangan Empati, dan Cara Mengembalikannya. (pexels.com/Liza Summer)

Kehilangan empati juga terlihat saat kamu cepat menilai tanpa memahami konteks seseorang. Dalam psikologi sosial, hal ini disebut fundamental attribution error — kecenderungan menilai perilaku orang lain sebagai kesalahan pribadi tanpa mempertimbangkan situasinya. Misalnya, kamu berpikir “Dia malas,” padahal mungkin dia sedang depresi.

Untuk mengembalikan empati, biasakan diri untuk pause before judging. Tanyakan dalam hati, “Apa yang sedang dia alami?” atau “Bagaimana jika aku ada di posisinya?” Dengan menunda penilaian, kamu melatih otak berpindah dari mode menghakimi ke mode memahami. Semakin sering dilakukan, semakin luas pula ruang hatimu untuk berempati.

3. Kamu merasa jengkel dengan orang yang terlihat lemah atau sedih

Ilustrasi ciri orang toxic yang perlu kamu ketahui. (pexels.com/Budgeron Bach)

Jika kamu mulai merasa jengkel saat melihat orang lain menangis atau mengeluh, bisa jadi empati dalam dirimu sedang menurun. Ini sering dikaitkan dengan compassion fatigue, yaitu kelelahan emosional akibat terlalu sering terpapar penderitaan tanpa sempat memulihkan diri. Akibatnya, kamu merasa “kosong” dan kehilangan energi untuk peduli.

Cara mengatasinya: rawat dirimu lebih dulu. Empati yang sehat hanya bisa tumbuh dari hati yang utuh, bukan yang lelah. Ambil jeda dari interaksi sosial jika perlu, lakukan hal yang menenangkan, atau bicarakan perasaanmu dengan orang yang kamu percaya. Saat energimu pulih, kemampuan berbelas kasih pun akan kembali.

4. Kamu lebih fokus pada diri sendiri dan kehilangan rasa ingin tahu terhadap orang lain

Ilustrasi Tanda Kamu Lebih Cemas daripada yang Kamu Pikirkan. (pexels.com/cottonbro studio)

Empati tumbuh dari rasa ingin tahu dan keinginan untuk memahami tanpa agenda. Saat kamu kehilangan minat mendengarkan orang lain atau hanya mendengar setengah hati, itu tanda kamu sedang terputus dari hubungan sosial yang bermakna. Dalam psikologi interpersonal, kondisi ini disebut self-preoccupation — terlalu fokus pada diri sendiri hingga lupa melihat orang lain sebagai manusia utuh.

Untuk memulihkannya, latih active listening. Dengarkan tanpa memotong, tanpa menilai, dan tanpa menyiapkan balasan saat orang lain berbicara. Dengarkan dengan niat untuk memahami, bukan untuk membalas. Dengan menghadirkan dirimu sepenuhnya, kamu akan kembali merasakan kehangatan koneksi manusia yang sesungguhnya.

5. Kamu tidak lagi merasa bersalah ketika menyakiti orang lain

Ilustrasi Tanda Kamu Dikucilkan Orang di Sekitarmu. (pexels.com/Liza Summer)

Tanda paling serius dari kehilangan empati adalah ketika kamu tak lagi merasa bersalah atau menyesal saat menyakiti orang lain, baik lewat kata, sikap, maupun keacuhan. Dalam psikologi moral, ini disebut berkurangnya empathic concern — kemampuan untuk menyadari dampak emosional dari tindakan kita terhadap orang lain.

Untuk menumbuhkannya kembali, biasakan refleksi diri setelah setiap interaksi. Tanyakan, “Bagaimana perasaannya jika aku diperlakukan seperti itu?” atau “Apakah ucapanku tadi bisa melukai tanpa kusadari?” Latihan sederhana ini membantu mengaktifkan kembali empati moral yang mungkin mulai tumpul. Empati bukan tentang kasihan, tapi tentang sadar bahwa setiap tindakan punya dampak emosional pada orang lain.

Empati adalah fondasi dari hubungan yang sehat dan batin yang tenang. Jika kamu merasa mulai kehilangan kepekaan terhadap perasaan orang lain, itu bukan akhir — hanya tanda bahwa hatimu butuh istirahat dan perhatian. Dengan kesadaran, refleksi, dan keberanian untuk kembali merasakan, empati bisa tumbuh lagi.

Karena sejatinya, empati bukan sekadar memahami orang lain, tapi juga cara paling manusiawi untuk kembali menemukan diri sendiri.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team