TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Waspadai Superhero Syndrome dalam Hubungan

Lebih baik move on jika tak ingin tersakiti

instagram.com/thepopinsider

Samarinda, IDN Times-Pasangan sering berbohong, suka menunda, marah meledak-ledak bahkan kasar secara fisik dan verbal, tetapi kamu masih bertahan? Alasannya sederhana, sebab yakin sang kekasih bisa berubah saat menikah nanti.

Jika demikian, segera sadarkan diri karena semua itu hanya harapan kosong dan membuang waktu. Sebab, bila seseorang tidak akan bisa mengubah sifat dan kebiasaan buruknya. Hal itu membuat hubunganmu semakin suram sebab konsep menyayangi kabur.

"Perlu dipahami bahwa menjalani hidup berpasangan yang sehat itu dasarnya, adalah hubungan yang saling menyenangkan satu sama lain,” kata Wahyu Nhira Utami, psikolog klinis RSUD AW Sjahranie Samarinda. 

Jika yakin pasangan bisa berubah karena usahamu, boleh jadi kamu terkena superhero syndrom (SS) biasa disebut juga savior complex. Sederhananya, sindrom tersebut merupakan suatu kepercayaan atau kemampuan diri menyelamatkan seseorang atau sekelompok orang dari suatu masalah atau memperbaiki kondisi orang tersebut. Hal ini bisa terjadi dalam konteks kehidupan apapun, termasuk pekerjaan, lingkup sosial, dan terutama hubungan romantis. 

1. Superhero Syndrome bentuk kasih sayang yang berlebihan

pexels.com/Anastasiya Lobanovskaya

Bicara tentang SS, lanjut dia, umumnya dialami oleh perempuan. Tetapi pria juga bisa mengalaminya, tergantung dorongan dalam diri untuk mengubah kondisi orang lain.

Seorang psikolog Amerika Serikat bernama Henry Murray menyatakan bahwa manusia memiliki 20 kebutuhan, salah satunya adalah need of nurturance atau kebutuhan untuk mengasuh. Hal ini yang mendasari pendapat Nhira, bahwa awal mula dari SS ialah keinginan untuk memberikan perhatian, bantuan, pertolongan, serta kasih sayang pada orang lain yang berlebihan. Mengapa hal ini bisa muncul?

Bisa jadi karena banyak hal, seperti kebutuhannya untuk menyayangi yang tidak terfasilitasi dengan baik, atau mungkin sejak kecil mereka melihat pola hubungan orangtua seperti itu.

"Boleh juga karena dia mengharapkan apresiasi dari lingkungan atas apa yang dia kerjakan, atau bahkan motif ekonomi," papar Nhira.

Menyayangi dan membantu pasangan menghadapi permasalahan adalah hal yang baik untuk dilakukan. "Tetapi, ketika dia merasa bahwa semua masalah pasangan harus diselesaikan dan terlibat penuh dalam setiap upaya pasangan untuk memperbaiki diri, maka itu adalah hal yang jauh berbeda," terangnya.

2. Tidak membantu pasangan, justru semakin menyakiti diri

pexels.com/Vera Arsic

Jika pasanganmu memiliki perilaku atau sikap yang secara norma sosial tidak baik, maka harus dipahami bahwa tanggung jawab untuk membuat dirinya lebih baik ada pada kemauannya.

"Peran pasangan sebagai pihak yang memberi dukungan dan bantuan yang dibutuhkan, bukan sebagai orang yang bertanggung jawab untuk membuatnya berubah. Karena bagaimana mungkin kita bisa mengajak pasangan untuk berubah, jika dirinya sendiri tidak merasa ada hal yang perlu dia ubah," sebutnya.

Seseorang yang hendak berubah biasanya memerlukan kemauan dan kesiapan. Hal ini, hanya bisa dimunculkan dan dipertahankan keberadaannya oleh orang tersebut. Sebab itu, jika kamu selama ini merasa memiliki SS, maka ada baiknya meluruskan pemahaman bahwa apa yang selama ini dilakukan sama sekali tidak membantu pasangan, tetapi justru semakin menyakiti diri kamu.

Jika kondisi seperti ini berlangsung terus, maka kamu memiliki kerentanan yang lebih tinggi untuk cemas, gelisah, merasa bersalah pada diri sendiri maupun orang lain, dan akhirnya berdampak pada kondisi tubuh yang makin lemah.

"Pasangan kamu juga tidak merasa nyaman karena adanya tuntutan untuk mengubah dirinya, sekalipun hal itu sebenarnya demi kebaikan dia," terangnya.

Berita Terkini Lainnya