Reza Indragiri Saran Restorative Justice dalam Kasus ABH Banjarmasin

Diversi gagal, orang tua korban minta bukti bulliying

Banjarmasin, IDN Times - Sidang anak berhadapan dengan hukum (ABH) kasus penganiayaan di SMAN 7 Banjarmasin Kalimantan Selatan (Kalsel) menemui babak baru. 

Sidang di Pengadilan Negeri (PN) Banjarmasin pada hari Selasa (19/3/2024) ini menjadi lebih menarik dengan kehadiran Dr Reza Indragiri Amriel, seorang ahli psikologi forensik yang terkemuka.

Sebelumnya, sidang telah mendengarkan kesaksian dari seorang ahli dokter yang menjelaskan kronologi tindakan medis terhadap luka serius yang diderita oleh korban. 

ABH dalam kasus ini dijerat dengan ketentuan Pasal 80 ayat 2 tentang Kekerasan Terhadap Anak dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara, Pasal 353 ayat 2 tentang penganiayaan berat dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara, dan Pasal 355 tentang penganiayaan berat dengan rencana ancaman hukuman 12 tahun penjara.

1. Mempidanakan anak bukan hal yang tepat

Reza Indragiri Saran Restorative Justice dalam Kasus ABH BanjarmasinPalu sidang di Pengadilan Negeri Banjarmasin.

Reza Indragiri, yang dihadirkan oleh orang tua terdakwa, memberikan penjelasan tentang kondisi psikologis dan masa depan sang anak yang sedang dihadapi oleh hukum.

Setelah memberikan kesaksian di hadapan hakim, Reza menyampaikan kepada wartawan bahwa ada hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam kasus pidana anak ini, yaitu kondisi psikologisnya.

Menurutnya, mempidanakan kasus anak bukanlah langkah yang tepat. Mengapa demikian? Karena kasus pidana yang menimpa anak bisa jadi melibatkan status ganda, di mana terdakwa tidak hanya sebagai pelaku tetapi juga mungkin menjadi korban.

Baca Juga: Disdik Banjarmasin Larang Sekolah Gelar Perpisahan di Hotel

2. Reza Indragiri sarankan langkah restorative justice

Reza Indragiri Saran Restorative Justice dalam Kasus ABH BanjarmasinRuang sidang anak di Pengadilan Negeri Banjarmasin

Menurut Reza Indragiri, hal ini beralasan karena anak-anak rentan terhadap gangguan psikologis seperti perundungan atau intimidasi di lingkungan mereka. Jika penyelesaiannya dilakukan melalui jalur pidana, risiko anak tersebut menjadi residivis atau melakukan tindakan serupa lagi akan semakin besar.

Oleh karena itu, dia meyakinkan bahwa pendekatan yang tepat dalam menangani kasus anak adalah dengan menggunakan prinsip restorative justice.

"Penyelesaian kasus anak seharusnya bukanlah melalui pidana, tetapi melalui prinsip restorative justice, itulah yang tepat," ujarnya.

3. Kuasa hukum korban menuntut proses hukum dilanjutkan

Reza Indragiri Saran Restorative Justice dalam Kasus ABH BanjarmasinPerundungan siswa SMPN 13 di Balikpapan Kalimantan Timur pada Selasa 27 Februari 2024. Foto screen shoot video

Sementara itu, Kurniawan, Pendamping Hukum korban menyatakan, kasus ABH tersebut telah melalui upaya diversi mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan untuk mencari solusi damai atau restorative justice.

Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil, dan kliennya berkeinginan agar kasus tetap dilanjutkan. Mengenai hasil sidang, pihaknya akan menghormati keputusan hakim nantinya.

Terlepas dari siapa yang benar dan siapa yang salah, kliennya hanya ingin melihat bukti dalam persidangan bahwa korban tidak bersalah seperti tuduhan perundungan yang dilontarkan.

Apalagi, berita mengenai perundungan telah mencoreng nama baik korban dan bahkan keluarganya.

"Kami yakin korban adalah anak yang baik dan tidak melakukan perundungan. Oleh karena itu, kami ingin buktinya terungkap dalam persidangan, dan kami akan menghormati setiap keputusan yang akan diambil oleh hakim," katanya.

Baca Juga: Pemkot Banjarmasin Melarang THM Beroperasi selama Ramadan

Topik:

  • Sri Wibisono

Berita Terkini Lainnya