Menilik 9 Kisah Bangunan Heritage Tanah Air, Saksi Sejarah Masa Lalu

Banyak bangunan bersejarah yang mangkrak dan terlupakan

Balikpapan, IDN Times - Bangunan heritage yang kaya dengan sejarah dan cerita tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Sebagian menjadi ikon kota, dilestarikan, menjadi cagar budaya dan menjadi tempat wisata sejarah. Sementara lainnya telah beralih fungsi, hancur, atau dibiarkan mangkrak dan terlupakan.

Padahal, bangunan tua dengan corak khas kolonial atau kental unsur budaya daerah bisa menjadi saksi sejarah dan perjalanan suatu wilayah. Tak hanya bangunan, namun sejumlah kawasan kota tua juga mampu menghadirkan atmosfer klasik yang berbeda di tengah pembangunan yang begitu masif.

Berikut ini IDN Times hadirkan kisah rumah lawas, bangunan atau wilayah perkampungan tua yang di sela-sela modernisasi tetap bertahan, tak lekang oleh zaman. Bangunan lawas dan kawasan yang unik dan menarik yang ada di berbagai kota di Indonesia lengkap dengan kisah sejarahnya. Ada salah satunya di kotamu? Yuk, simak selengkapnya di sini.

1. Rumah Dahor tempat tinggal pekerja kilang minyak Bataafsche Petroleum Matschappij (BPM) di Balikpapan

Menilik 9 Kisah Bangunan Heritage Tanah Air, Saksi Sejarah Masa LaluSalah satu Rumah Dahor di Balikpapan (IDN Times/Mela Hapsari)

Rumah panggung bercat putih dengan ornamen hijau, nampak berdiri di sela-sela gedung megah di Balikpapan. Dulu, pada sekitar tahun 1920-an, rumah panggung ini merupakan rumah dinas bagi warga Belanda, pekerja kilang minyak Bataafsche Petroleum Matschappij (BPM) yang kini dikenal sebagai Pertamina.

Manager Communication, Relation & CSR Pertamina RU V Ely Chandra mengatakan "Sebenarnya Rumah Dahor sudah mengalami beberapa perbaikan minor. Tapi perbaikan ini tidak mengubah bentuk aslinya. Penetapan Rumah Dahor menjadi Cagar Budaya ditetapkan oleh Keputusan Wali Kota Balikpapan No. 188.45-318/2011 tanggal 14 November 2011," terangnya.

Untuk mempertahankan kearifan lokal, pada 11 Juni 2016, bangunan Rumah Dahor No. 1 dimanfaatkan sebagai Museum Rumah Cagar Budaya Dahor atau dikenal juga sebagai Dahor Heritage Museum. Lokasinya berada di Jalan Letjen. Suprapto, di ujung gang Jalan Dahor.

Terdapat sembilan Rumah Dahor yang terus dilestarikan. Ada yang dimanfaatkan sebagai perpustakaan, taman baca, juga museum mini sejarah Balikpapan. Di Dahor Heritage Museum terdapat pameran foto dan cerita sejarah tentang awal mula proses eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas dari zaman Belanda di Balikpapan.

Bicara sejarah Rumah Dahor, ada kisah sejarah panjang Kota Balikpapan. Dulunya kota ini dikenal sebagai daerah sumur minyak yang kemudian beralih peran menjadi tempat penampungan dan pengolahan minyak bumi. Balikpapan juga menjadi pusat pengendali operasional perusahaan-perusahaan Belanda dan perusahaan dari luar negeri lainnya. 

Pada tahun 1919, Balikpapan sudah menjadi lokasi perindustrian pengolahan minyak yang dipegang oleh BPM. BPM merupakan anak perusahaan gabungan antara Royal Dutch dan Shell Companies, yang dikenal di seluruh dunia dengan nama Shell.

BPM melengkapi Balikpapan dengan berbagai infrastruktur, seperti jalan, jaringan pipa minyak, fasilitas pergudangan, permukiman pekerja, serta pembangunan stasiun dan perluasan jaringan kabel telegram antara Balikpapan hingga Tarakan.

"Untuk menjalankan industri minyak di Balikpapan, BPM mendatangkan pekerja kontrak yang berasal dari Jawa dan pekerja Tionghoa," beber Ely. 

Sampai pada tahun 1920 mulai dibangun perumahan untuk pekerja dan pegawai BPM. Perumahan-perumahan tersebut dibedakan berdasarkan strata kepegawaian. Nah, pegawai BPM pada strata manajerial tinggal di tempat yang lebih tinggi dengan konsep perumahan tunggal bergaya Indies. Satu di antara perumahan untuk pekerja Eropa yakni Perumahan Dahor. 

Nama Dahor sendiri diambil dari nama sebuah sumur minyak BPM pada 1930-1939 yang berada di daerah Tabalong Kalimantan Selatan (Kalsel) yang berbatasan juga dengan Kabupaten Paser, Kaltim. 

Selain di Jalan Letjen. Suprapto, masih ada beberapa Rumah Dahor Jalan Lombok, Sektor II, Gunung Dubs, Prapatan, Balikpapan,  dan lokasi lainnya. Kawasan perumahan ini terletak di daerah perbukitan yang dibatasi dengan sebuah jalan yang menghadap pantai. Bentuk Rumah Dahor secara umum ada nuansa Eropa namun merupakan adaptasi dari langgam arsitektur vernakuler rumah adat Kalimantan, yakni dengan struktur kayu, rumah adat ini biasa disebut dengan Rumah Panjang.

"Ini membuktikan pada saat itu perencanaan arsitektur Rumah Dahor sangat menghargai lokalitas," terangnya

Baca Juga: Rumah Dahor, Potret Balikpapan Masa Kolonial

2. Rumah Belanda tempat tinggal dan kantor pejabat Belanda di Tabanan, Bali

Menilik 9 Kisah Bangunan Heritage Tanah Air, Saksi Sejarah Masa LaluRumah Belanda di Puri Agung Karimbitan, Bali (IDN Times/Wira Sanjiwani)

Bali yang kental dengan arsitektur khas, ternyata juga memiliki peninggalan rumah bergaya Eropa. Pada Puri Agung Kerambitan yang dibangun pada akhir abad ke-16, berlokasi di Desa Kerambitan, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan terdapat bangunan yang dinamakan Rumah Belanda. Hingga saat ini arsitektur bangunan yang asli masih dipertahankan sehingga aura kolonial Belanda terasa sangat lekat.

Penglisir Puri Agung Kerambitan, I Gusti Ngurah Putra Widana, yang biasa disapa Ratu Alit, pada Kamis (17/6/2021), menuturkan pihaknya tidak mengetahui tanggal dan bulan pasti rumah Belanda itu dibangun. "Tetapi di bangunan ini tertulis tahun pembangunannya yaitu 1936," ujarnya.

Pada saat rumah Belanda ini dibangun, Puri Agung Kerambitan berada di bawah kepimpinan Arja Ngurah Made Penarukan atau umum disebut Tjokorda Penarukan. "Saat itu rumah ini dibangun untuk ditempati pejabat Belanda yang bertugas di Kerambitan. Mengenai siapa nama, dan jabatannya, tidak tercatat," ujarnya.

Menurut Ratu Alit, fungsi awal dari rumah Belanda adalah sebagai tempat tinggal dan kantor. Ini bisa dilihat dari dua kamar yang ada di rumah tersebut, di mana satunya dilengkapi tempat tidur kuno yang masih ada hingga sekarang dan lemari baju dari kayu jati yang sudah tua, namun masih sangat kuat.

"Sementara kamar satunya sepertinya dulu kantor. Di sana ada pintu dengan dua lapis. Lapis terdalam daunnya terbuat dari kaca dan yang luar dari kayu. Dugaan saya, jika kantor ini dibuka, pintu lapisan luar yang dibuka sehingga orang bisa melihat bagian dalam kantor lewat pintu kacanya," jelas Ratu Alit. 

Meski ada perbaikan di beberapa bagian, namun pihak Puri Agung Kerambitan tidak mengubah arsitektur bangunan rumah Belanda tersebut. Hingga saat ini mereka tetap mempertahankan bangunan seperti aslinya. 

Rumah Belanda ini dicat dengan warna putih, terdiri atas beranda depan yang berfungsi menerima tamu. Saat memasuki ruang utama, di atas pintu masuknya ada simbol mahkota kerajaan Belanda.

Memasuki ruang utama, di sisi kanan dan kiri ada dua ruangan di mana sebelah kiri adalah kamar tidur dan sebelah kanan diduga dulunya berfungsi sebagai kantor. "Tetapi sekarang semuanya menjadi kamar tidur," ujar Ratu Alit.

Perabotan yang ada di dalam rumah pun masih dipertahankan. Tampak ada tempat tidur kelambu serta lemari kayu dari jati yang berbentuk unik. Ratu Alit memaparkan bangunan tersebut tidak pernah direnovasi total. Hanya ada perbaikan beberapa bagian yang rusak, itupun tetap sesuai aslinya. 

Sementara itu, Kepala Bidang (Kabid) Kebudayaan dan Tradisi, Anak Agung Sagung Mas Anggraini, menyampaikan rumah Belanda di Puri Agung Kerambitan sudah didatangi tim inventaris yang mencatatkan objek diduga cagar budaya (ODCB).

"Tim inventaris  yang mencatatkan ODCB sudah turun. Langkah selanjutnya adalah mengundang Badan Arkeologi (BALAR) dan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Bali untuk menentukan layak tidaknya rumah Belanda di Puri Agung Kerambitan ini sebagai cagar budaya," papar Sagung Mas.

3. Rumah Daswati, saksi sejarah cikal bakal pendirian Provinsi Lampung kini terbengkalai

Menilik 9 Kisah Bangunan Heritage Tanah Air, Saksi Sejarah Masa LaluKondisi terkini cagar budaya di Lampung, Rumah Daswati (IDN Times/Tama Yudha Wiguna)

Lain cerita dengan Rumah Daswati di Lampung yang kini kondisinya memprihatinkan dan mengkhawatirkan.

Rumah Daswati yang memiliki gaya arsitektur kolonial Belanda ini merupakan bangunan saksi sejarah cikal bakal pendirian Provinsi Lampung. Beralamat di jalan Tulang Bawang Nomor 11, Kelurahan Enggal, Kecamatan Tanjungkarang Pusat, Kota Bandar Lampung, sekilas penampakan Rumah Daswati seakan tak pernah ada. Pasalnya, terhalangi tembok beton setinggi lebih 3 meter.

Rumah Daswati kini tinggal menyisakan atap yang rapuh, bahkan beberapa bagian bangunan nyaris roboh. Di balik keusangannya, Rumah Daswati masih memperlihatkan keaslian bangunan era kolonial. Memiliki atap berbentuk limas lengkap dengan dua menara, bentuk jendela dan daun pintu panjang ikut memberi kesan klasik pada bangunan.

Sayangnya, di rumah ini sudah tidak ada lagi bukti-bukti barang ataupun dokumen sejarah menerangkan saksi perumusan berdirinya Provinsi Lampung kala itu. Kata Daswati merupakan singkatan dari Daerah Swatantra Tingkat. Rumah itu sejatinya adalah milik tokoh Lampung bernama Achmad Ibrahim, yang juga seorang pejuang kemerdekaan asal Menggala.

Ketua Forum Penyelamatan Daswati, Arman AZ menjelaskan, dengan keikhlasan dan seizin beliau kediaman itu dijadikan Kantor Panitia Perjuangan Daswati I Lampung pada 7 Maret 1963. Tujuannya, agar digunakan sebagai lokasi pertemuan para panitia penggagas kenaikan status daerah Lampung. Semula termasuk ke dalam Daswati I Sumatera Selatan menjadi provinsi, atau saat itu disebut Daerah Swantantra Tingkat I.

"Waktu itu, Lampung masih berstatus keresidenan dan setelah pertemuan itu, rumah tersebut disahkan menjadi Kantor Panitia Daswati I," ujar Arman, kepada IDN Times, Jumat (18/6/2021).

Terlepas dari polemik status kepemilikan yang dikabarkan kini milik perorangan dan diluar garis keturunan keluarga Achmad Ibrahim, Arman menyebut, berdasarkan catatan sejarah, Rumah Daswati patut dijadikan warisan sejarah dan cagar budaya provinsi berjuluk Sai Bumi Ruwa Jurai.

"Kita berharap pemerintah mempunyai nalar sejarah, karena tidak akan pernah ada namanya gubernur, bupati, wali kota, tanpa adanya rumah itu. Ini asal muasal Provinsi Lampung," jelas sejarawan Lampung tersebut.

Sementara itu, Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Provinsi Lampung, Heni Astuti, mewakili Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Kadisdikbud), Sulpakar mengklaim, pihaknya telah melakukan penelitian dan kajian terhadap rencana menjadikan Rumah Daswati sebagai cagar budaya milik Provinsi Lampung.

Dalam waktu dekat, TACB Provinsi Lampung juga akan merekomendasikan kepada Gubernur Lampung Arinal Djunaidi, untuk melakukan pelestarian Rumah Daswati.

Heni menyebut, upaya pengambilalihan hak milik Rumah Daswati dari perorangan ini merupakan salah satu bentuk kepedulian Pemerintah Provinsi Lampung, khususnya Gubenur Arinal terhadap setiap keberadaan cagar budaya di Sai Bumi Ruwa Jurai.

"Makanya beliau segera memerintahkan untuk membentuk Tim Ahli Cagar Budaya, bahkan salah satu visi beliau adalah tentang budaya. Makanya begitu tingginya apresiasi beliau terhadap kebudayaan," tandas dia.

Baca Juga: Daswati Ku Sayang, Daswati Ku Malang, Cagar Budaya Terabaikan Lampung

4. Rumah Multatuli di Lebak, renovasi tertunda gara-gara pandemik virus corona

Menilik 9 Kisah Bangunan Heritage Tanah Air, Saksi Sejarah Masa LaluRumah Multatuli di Lebak, Banten (Dok. IDN Times/Istimewa)

Sementara itu, Rumah Multatuli yang menjadi cagar budaya dan berlokasi di area RSUD Dr. Adjidarmo, Rangkasbitung, Lebak kondisinya juga kosong dan memprihatinkan.

Sebagaimana diketahui, Multatuli yang bernama asli Eduard Douwes Dekker, seorang Belanda yang tidak suka dengan perlakuan sewenang-wenang Pemerintah Hindia Belanda terhadap pribumi, dulu tinggal di Lebak, Banten. Perjuangannya melalui sebuah karya sastra berjudul Max Havelaar menjadi pemicu lahirnya gerakan anti-kolonialisme di tanah air dan gerakan politik balas budi dari pemerintah Kerajaan Belanda kala itu.

Rencana renovasi rumah yang sudah berdiri sejak abad ke-19 tersebut menggantung. Tak ada anggaran lantaran pandemik COVID-19. Kepala Dinas Pariwisata Lebak Imam Rismahayadin menerangkan, seharusnya renovasi rumah mantan asisten residen Lebak tersebut dilakukan pada 2020 lalu. "Tahun ini karena anggaran terbatas belum terselenggarakan lagi," kata Imam kepada IDN Times, Senin (14/6/2021).

Imam menerangkan, perencanaan renovasi kembali dilakukan. Hanya saja, eksekusi renovasi masih menunggu ketersediaan anggaran. "Sudah masuk perencanaan tahun 2021 belum teranggarkan karena anggarannya belum mencukupi. Tapi itu sudah ada di perencanaan dinas PUPR," kata Imam.

Imam mengatakan, nantinya usai direnovasi, bangunan bersejarah tersebut akan menjadi objek wisata sejarah yang terintegrasi dengan museum Multatuli yang sudah ada. 

Sebelumnya, pada 2020 lalu Kepala Bappeda Lebak Virgojanti mengatakan, rencana revitalisasi cagar budaya Multatuli ini sudah mendapatkan izin dari kementerian pusat dan sudah dilakukan studi cagar budaya. "Revitalisasi cagar budaya Multatuli ini tinggal menunggu tim kajian cagar budaya," kata Virgojanti, Kamis (23/5/2020).

5. Kampung Sekayu pernah menjadi pusat pemerintahan Kota Semarang

Menilik 9 Kisah Bangunan Heritage Tanah Air, Saksi Sejarah Masa LaluRumah-rumah kuno di Kampung Sekayu Semarang. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Kampung Sekayu yang berada di jantung kota Jalan Pemuda Semarang, tepat di belakang Mal Paragon juga memiliki deretan rumah lawas yang masih kokoh berdiri dan dijaga oleh para pemiliknya.

Rumah-rumah di permukiman yang muncul tahun 1413 tersebut pada masanya disebut kampung pekayuan. Dulu lokasi tersebut merupakan tempat pengumpulan kayu untuk pembangunan Masjid Demak oleh Sunan Kalijaga. Salah satu jejak yang tampak di sana adalah berdirinya Masjid At Taqwa yang dibangun oleh Kiai Jamal utusan Sunan Kalijaga.

Konon, Kampung Sekayu juga pernah menjadi pusat pemerintahan Kota Semarang. Jejak keberadaan pusat pemerintahan tersebut lekat dengan nama-nama gang di Kampung Sekayu. Pada setiap lorong gang di lingkungan padat penduduk itu menggunakan istilah perangkat pemerintahan pada masa lalu. Seperti Kepatihan dan Tumenggungan.

Salah satu warga Jalan Sekayu Tumenggungan, Joko menuturkan rumah-rumah kuno milik para patih dan tumenggung itu sampai saat ini masih ada meskipun sudah pernah direnovasi. Adapun, ciri khas rumah asli Sekayu adalah dinding yang terbuat dari kayu jati dengan pintu rumah dengan ukiran yang menunjukkan simbol kepangkatan dari pemiliknya.

‘’Jika rumah Tumenggung, di atas pintu biasanya ada ornamen berbentuk persegi panjang dengan lambang bumi dikelilingi sembilan mata anak panah. Simbol itu memiliki arti tugas tumenggung adalah pembantu para wali sembilan, untuk memberikan cahaya dan kedamaian serta menolak kemungkaran di muka bumi ini,” katanya saat ditemui IDN Times, Jumat (18/6/2021).

Kemudian rumah di Jalan Sekayu Kepatihan yang dulu tempat tinggal para patih, di dalam rumah terdapat ornamen anak panah berjumlah empat berukuran panjang, dan lingkaran oval yang digambarkan sebuah lautan luas. Lalu, ada anak panah pendek menusuk bulatan yang maknanya negeri Nuswantoro (Indonesia), walau sejengkal tanah harus dipertahankan kejayaannya.

“Ada lagi ornamen, berupa empat anak panah menembus bumi atau bulatan, yang pada sudutnya terdapat bunga kenanga yang mekar. Menandakan para patih punya tekad yang kuat agar Nuswantoro memiliki nama harum dan besar di dunia Internasional,” ungkapnya.

Namun, lanjut Joko, ornamen-ornamen tersebut sudah banyak yang hilang dari rumah penduduk itu. Apalagi, perkampungan itu telah terdesak pembangunan dan menjadi tempat bisnis.

Joko adalah warga asli Kampung Sekayu, dari lahir hingga kini berusia 59 tahun tinggal di permukiman tersebut. Ada dua rumah kuno yang dia jaga sampai sekarang, yaitu rumah di Jalan Sekayu Tumenggungan dan di Jalan Sekayu Keramat Jati.

Rumah di Jalan Sekayu Tumenggungan merupakan rumah keluarga besarnya. Rumah bercat biru itu baru saja direnovasi. Joko tetap mempertahankan keaslian bentuk rumah tersebut. Dindingnya masih dari papan kayu jati, ventilasi udara di atas pintu yang berbentuk seperti anak panah yang menjuru ke segala arah angin yang menunjukkan ciri khas Tumenggungan juga masih ada. Selain mengecat ulang, Joko meninggikan posisi rumah agar tidak terkena banjir.

‘’Usia rumah ini lebih tua daripada usia saya. Wong rumah ini sudah ada sejak zaman simbah saya. Kemudian, ditinggali orang tua saya, lalu ini sedang saya bangun untuk nanti saya atau anak saya tinggali,’’ ujarnya.

Tak hanya Joko, warga Kampung Sekayu lainnya juga berupaya untuk terus mempertahankan rumah peninggalan nenek moyang mereka meskipun tidak mudah untuk merawat rumah tua ini. Selain itu, mereka juga kerap dirayu untuk menjual rumah mereka yang berada di tengah Kota Semarang.

Sementara itu, belum lama ini Pemerintah Kota Semarang berencana untuk mengangkat Kampung Sekayu menjadi destinasi wisata di Ibu Kota Jawa Tengah. Daya tarik yang diangkat adalah Masjid At Taqwa yang merupakan masjid tertua di Kota Semarang sebagai wisata religi.

6. Kampung Kapitan sarat sejarah tentang peranakan Tionghoa di Palembang

Menilik 9 Kisah Bangunan Heritage Tanah Air, Saksi Sejarah Masa LaluKampung Kapitan yang berada di kawasan 7 Ulu Palembang (IDN Times/Rangga Erfizal)

Beralih ke Palembang. Di kota ini ada bangunan bersejarah yang dikenal dengan nama Kampung Kapitan yang sarat sejarah tentang peranakan Tionghoa di Bumi Sriwijaya. Kampung Kapitan merupakan rumah kayu yang dibuat di tepian Sungai Musi Palembang.

Berdiri sejak awal abad ke-17 atau sekitar tahun 1.644 Masehi, rumah tersebut pertama kali dibangun oleh seorang Mayor bernama Tjoa Kie Tjuan, dan diteruskan oleh turunannya. Bangunan ini masih berdiri kokoh di kawasan KH Azhari, Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu 1, Palembang.

"Dahulunya kampung kapitan merupakan wilayah perdagangan. Belanda mempercayakan kepada seorang Mayor atau Kapitan untuk menjaga jalur laut (sungai) melalui perdagangan dan menarik pajak-pajak," ungkap keturunan ke-14 Kapitan, Mulyadi kepada IDN Times, Jumat (18/6/2021).

Turunan selanjutnya bernama Tjoa Ham Ling diangkat menjadi Kapitan atau Kapten. Secara cepat lokasi itu dikenal sebagai Kampung Kapitan, di mana orang-orang yang berdagang datang dari wilayah lain untuk singgah.

Menurut Mulyadi, Kampung Kapitan dulu juga menjadi tempat orang-orang Tionghoa yang datang dari Dinasti Ming. Mereka mendirikan kongsi dagang di wilayah Palembang. Menurutnya, Palembang merupakan wilayah yang terkenal sebagai pusat perdagangan di wilayah selatan, sehingga para saudagar dari Tiongkok berbondong-bondong datang.

"Orang-orang Tionghoa dari Dinasti Ming lalu dilanjutkan Dinasti Qing memiliki hubungan dagang yang erat di Palembang. Tidak salah jika dikatakan kawasan 7 Ulu yang terletak di Sungai Musi sebagai wilayah jalur perdagangan, dan mereka menetap pertama di sana," ujar dia.

Keluarga Kapitan menjaga jalur Sungai Musi di Palembang hingga tahun 1920-an, ketika keturunan terakhirnya menjadi kapten jalur pelayaran Palembang. Mulyadi menjelaskan, perubahan zaman tidak menyurutkan turunan Sang Kapitan menjaga rumah sebagai peninggalan.

"Rumah ini menjadi peninggalan kakek buyut saya. Rumah kapitan terdiri dari dua bentuk bangunan utama. Pertama yang terbuat dari kayu sejak tahun 1.644 masehi, sedangkan bangunan beton dibangun sejak jaman Belanda. Kapitan sendiri tinggal di bangunan kayu," ujar dia.

Setelah anak turunan Tjoa Ham Ling tidak lagi menjadi kapitan laut, rumah tersebut berubah fungsi. Beberapa anak turunannya merantau ke beberapa daerah lain, termasuk Mulyadi yang kini menetap di Jakarta. Pihak keluarga memutuskan jika rumah peninggalan Kapitan menjadi tempat ibadah atau ziarah masyarakat Tionghoa di Palembang.

Rumah kayu yang berusia ratusan tahun menjadi tempat peribadatan kepada dewa-dewa. Sedangkan rumah dengan struktur bangunan beton menjadi tempat ziarah keluarga. Kedua bangunan diisi dengan berbagai altar untuk peribadatan.

Heri Amin (65) warga asli Kampung Kapitan mengatakan, jika kawasan tersebut menjadi ciri khas dan kebanggaan warga 7 Ulu Palembang. Dirinya sejak kecil berada di sana mengikuti perkembangan kawasan.

Dahulunya, Kampung Kapitan berada persis di pinggir Sungai Musi Palembang. Seiring waktu dan pendangkalan, jarak antara rumah dan sungai semakin menjauh. "Di sini sudah beragam yang tinggal, tidak lagi turunan Tionghoa semata," jelas dia.

Sejak menjadi Cagar Budaya Palembang, kawasan Kampung Kapitan ramai dikunjungi wisatawan. Biasanya mereka naik kapal menuju kawasan Kapitan dari Benteng Kuto Besak (BKB) Palembang yang berada di sisi seberang Sungai Musi.

"Awal pandemik sempat buka, namun sejak terjadi lonjakan kasus COVID-19 akhirnya ditutup," tegas dia.

7. De Javasche Bank, sensasi latar film Money Heist ala Surabaya

Menilik 9 Kisah Bangunan Heritage Tanah Air, Saksi Sejarah Masa LaluGedung De Javasche Bank Surabaya tampak depan, Selasa, (25/5/2021). IDN Times/Faiz Nashrillah

Kamu pernah nonton Money Heist? Sekilas, bangunan De Javasche Bank (DJB) yang bergaya arsitektur Neo-Renaisans khas Eropa ini terlihat seperti latar dalam film Money Heist season 3 dan 4. Dinding putih di fasad bagian depan gedung itu bersih. Hampir tidak ada noda sama sekali. Tampak terawat ketimbang gedung-gedung lain di sekitarnya. 

Bangunan megah De Javasche Bank Cabang Surabaya berdiri di lahan seluas 1.000 meter persegi. Letaknya di Jalan Garuda Nomor 1 Surabaya. Berdekatan dengan eks Penjara Kalisosok dan Jembatan Merah. 

De Javasche Bank (DJB) atau yang berarti Bank Jawa ini pertama kali didirikan di Batavia pada 24 Januari 1828. Khusus DJB Cabang Surabaya, mulai dibuka pada 14 September 1829. Cabang di Kota Pahlawan ini dinahkodai oleh F.H Preyer dibantu asisten A.H Buchler dan komisaris, J.D.A Loth. Bedanya dengan cabang lainnya, kantor ini menjadi yang pertama kali menerapkan sistem perhitungan kliring antar bank utama pada masa kolonial Belanda.

Aktivitas perbankan berlangsung sampai menjumpai petaka pada 1942. Ketika itu, Belanda harus dipukul mundur oleh Jepang. "De Javasche Bank Surabaya sempat ditempati Jepang, Namanya diubah Nanpo Kaihatsu Ginko (NKG) atau Bank Jepang," ucap pemandu DJB, Riski Jayanto, Rabu (19/5/2021)

NKG sebagai bank sirkulasi untuk wilayah Asia Tenggara yang telah diduduki Jepang. NKG bubar pada 15 Agustus 1945 bersamaan dengan kalahnya Jepang dalam Perang Dunia II. Tak ingin kehilangan momentum, usai mengumumkan kemerdekaannya Indonesia mencoba mengambil alih aset-aset yang ada. Namun dinding tebal berupa Agresi Militer Belanda masih bergejolak.

"Dikuasai kembali oleh Belanda, berubah lagi namanya menjadi De Javasche Bank," katanya.

Belanda kemudian mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia pada tahun 1949. Kemudian DJB mulai dinasionalisasikan pada 1951. "Dibeli saham oleh pemerintah Indonesia, jadi tidak dirampas," dia menegaskan.

Pada 1 Juli 1953 DJB diubah menjadi Bank Indonesia. Aktivitas perbankan di gedung ini berlangsung hingga tahun 1973. Setelah itu, gedung ini kemudian langsung dipinjam oleh Bank Jatim hingga tahun 2010. 

"Akhirnya dibuka sebagai heritage, cagar budaya milik Bank Indonesia pada tanggal 27 Januari 2012 sampai sekarang,"  terang Riski.

Penetapan Gedung DJB menjadi cagar budaya ini memang sangat memenuhi syarat. Sebab, semua yang ada di sini masih orisinil. Mulai dari bangunan eksterior, interior hingga beberapa ornamen penunjang di dalamnya. 

Riski menyampaikan kalau gedung ini terdiri dari tiga lantai. Ketika masuk pintu utama, pengunjung langsung di area lantai 1. Kemudian juga terdapat lantai dasar yang merupakan basement atau ruang bawah tanah dan lantai 2 digunakan tempat penyimpanan arsip saat masih operasional.Terdapat tiga brankas raksasa untuk simpan uang, emas dan dokumen rahasia dilengkapi CCTV Belanda

Brankas-brankas milik DJB ini juga terlihat masih sangat kokoh. Pintunya terbuat dari baja dengan berat 13 ton. Di sekitarnya juga dilengkapi CCTV manual zaman kolonial Belanda. "Jadi CCTV ini berupa kaca yang mengelilingi brankas, misal ada orang masuk kita bisa lihat dari pantulan itu," katanya. 

Selain CCTV manual, terdapat juga inovasi berupa AC alami. Waktu itu, dikatakan Riski, Belanda memakai kendi yang merupakan produk gerabah khas Jawa. Kendi-kendi ini di isi air pada pagi hari, kemudian siangnya diletakkan di sekitar ruang bawah tanah yang ternyata membuat sejuk isi ruangan.

"AC-nya diletakkan mengelilingi brankas, tepat di bawah CCTV manual tersebut," terang dia.

Sayang, sejak pandemik COVD-19 merebak di Indonesia, DJB ditutup sementara. Kendati demikian, masih banyak wisatawan yang ke sini. Mereka memilih berfoto ria di area depan dengan latar belakang Gedung DJB. 

Baca Juga: Bioskop Dian, Cagar Budaya Samping Rumah Wali Kota yang Terbengkalai

8. Bioskop Dian, tempat pemutaran film Belanda masa lalu

Menilik 9 Kisah Bangunan Heritage Tanah Air, Saksi Sejarah Masa LaluGedung Bioskop Dian di Alun-alun Kota Bandung (IDN Times/Debbie Sutrisno)

Beralih ke Kota Bandung yang kaya sejarah. Tak hanya sejarah perjuangan bangsa tetapi juga dalam dunia perfilman Indonesia. Puluhan tahun silam, berbagai film yang diproduksi Belanda sudah ditayangkan di dua bioskop di kota ini. Salah satu bioskop yang sarat akan sejarah adalah Bioskop Dian yang berdiri di Jalan Dalem Kaum no. 58. Letaknya tepat bertetangga dengan rumah jabatan Wali Kota Bandung.

Bioskop Dian menjadi satu-satunya bangunan bioskop yang tersisa di kawasan Alun-alun dan dijadikan sebagai Bangunan Cagar Budaya Golongan A di Kota Bandung.

Dikutip dari laman repository.unpar.ac.id, bioskop yang dibangun pada 1930-an ini sempat mengalami masa kejayaannya dengan menayangkan berbagai film luar negeri maupun lokal. Terseok-seok bertahan, hingga akhirnya bangunan yang dulunya bernama Bioskop Radio City ini benar-benar mati.

Alih fungsi bangunan Bioskop Dian pun terus dilakukan seperti dijadikan tempat olahraga biliar, tempat berjualan pakaian, kantor sewa, sampai jadi tempat olahraga futsal.

Sejak diambil alih oleh pemerintah, bangunan cagar budaya ini sekarang dikelola perusahaan daerah (BUMD) Jaswita Jabar. Berbagai hal coba dilakukan untuk menghidupkan kembali keberadaan Bioskop Dian, salah satunya pameran seni.

Direktur Utama Jaswita Jabar Deni Nudryana Hadimin mengatakan, pameran seni rupa merupakan upaya pemerintah daerah untuk mengaktifkan lagi salah satu aset yang dimiliki. Terlebih bangunan itu adalah salah satu bangunan bersejarah yang harus dipelihara.

"Gedung Bioskop Dian ini selain merupakan gedung cagar budaya, juga memiliki rekam sejarah sebagai salah satu gedung ikonik di Kota Bandung dan Jawa Barat. Upaya publik khususnya para seniman untuk memanfaatkan bangunan cagar budaya yang memiliki Jaswiata Jabar sangat kami apresiasi positif," kata Deni.

Menurut Deni, pemanfaatan gedung Bioskop Dian sebagai tempat penyelenggaraan pameran seni merupakan inisiatif yang perlu didukung. Mengingat selama ini gedung tersebut tidak termanfaatkan dengan baik karena berbagai faktor.

Seniman dan budayawan Tisna Sanjaya menuturkan, pameran yang digelar di Bioskop Dian menjadi gerakan awal dalam upaya apresiasi seni yang memiliki daya untuk terciptanya semangat perubahan di lingkungan sekitarnya. Pameran karyanya yang  bertajuk 'Dian Lentera Budaya' ini dimaksudkan untuk mengisi ruang gedung bekas Bioskop Dian sebagai upaya gerakan kebudayaan agar terciptanya perubahan dari pusat Kota Bandung.

"Selaku seniman, kami ingin mendorong pubik untuk mengapresiasi karya seni. Dari situ diharapkan muncul semangat untuk hadirnya perubahan pada gedung bekas Bioskop Dian, termasuk lingkungan di sekitar gedung," kata Tisna.

Program-program berikutnya setelah pameran 'Dian Lentera Budaya', lanjut Tisna, sedang disusun dengan pendekatan metode karya seni partisipatori. Para seniman akan berproses secara kreatif dengan melibatkan kreativitas beragam seniman, budayawan, dan komunitas.

9. Gudang beras tua di Deli Serdang kini beralih fungsi jadi rumah warga

Menilik 9 Kisah Bangunan Heritage Tanah Air, Saksi Sejarah Masa LaluGudang beras peninggalan Belanda yang kini menjadi rumah warga di Deli Serdang, Sumatra Utara (IDN Times/Indah Permatasari)

Sementara itu, di Deli Serdang, Sumatra Utara juga terdapat bangunan kuno yang masih berdiri hingga kini dan mungkin belum banyak diketahui oleh masyarakat. Salah satunya adalah tempat penyimpanan beras atau gudang yang berada di Jalan Pendidikan Tanjung Selamat, Dusun III, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang.

Bangunan ini diperkirakan sebelum kemerdekaan Indonesia sudah berdiri dan hingga kini terlihat masih dalam bentuk aslinya. Namun, bangunan gudang beras ini sekarang dialihfungsikan menjadi rumah warga.

Salah seorang yang tinggal di rumah tersebut bernama Mardiah. Ia mengatakan sudah tak ingat lagi bagaimana alasan dirinya pindah ke rumah tersebut. Karena, sejak orangtuanya memang telah tinggal disitu.

"Gak ingat lagi. Ini dulu gudang beras. Saya tinggal disini sama adik ada 4, gak ada yang banyak dirombak hanya sekat biasa," ucap perempuan 60 tahun ini.

Ada sekitar 4 rumah bergandeng dengan bangunan yang sama. Satu rumah berukuran sekitar 4x5 meter.

Tak jauh dari lokasi, ada bangunan Belanda bersejarah, yang merupakan tempat untuk mencuci baju atau laundry pada jamannya. Lokasi ini ada di Jalan Besar Tanjung Selamat Gg. Hidayah Dusun II, Kec. Sunggal, Kab. Deli Serdang.

Nek Sumarni merupakan warga asli di daerah Jalan Besar Tanjung Selamat, yang saat ini menempati bangunan tersebut. Ia mengatakan tak banyak mengetahui cerita bangunan yang sudah ada sejak zaman Belanda ini.

"Gak tahu. Mendiang kakek sama bapak yang tinggal di sini. Saya pindah sekitar 4 tahun lalu," ucap perempuan 67 tahun ini.

Menurut Nek Sumarni, upaya untuk mempertahankan bentuk asli bangunan tersebut ia tak banyak mengubahnya. Terlihat atap bewarna hitam dan ventilasi yang masih kental dengan bangunan lamanya. 

Itulah sejumlah bangunan heritage yang kaya sejarah, memiliki nilai estetik baik interior maupun eksterior di berbagai wilayah Indonesia. Jejak peradaban dan perjalanan waktu suatu wilayah terekam dalam bangunan-bangunan kuno ini.

Sangat disayangkan apabila bangunan heritage tak dilestarikan oleh pemerintah daerah. Jika dikembangkan dengan baik bangunan-bangunan tua ini bisa tetap lestari, kokoh berdiri dan berpotensi untuk mendatangkan pendapatan asli daerah (PAD). Tak hanya pemerintah, masyarakat pun perlu ikut peduli. Ingatlah kata Bung Karno, Jas Merah 'Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah'.

Tim Penulis : Esa Fatmawati, Ni Ketut Wira Sanjiwani, Muhammad Rangga Efrizal,  Tama Wiguna, Ardiansyah Fajar, Indah Permatasari Lubis, Debby Sutrisno, Anggun Puspitoningrum, Muhammad Iqbal

Baca Juga: Tengok Rumah Dahor Balikpapan yang Berdiri Kokoh sejak Zaman Belanda

Topik:

  • Mela Hapsari

Berita Terkini Lainnya