Sentuhan Perempuan di Berita Politik 

Lika-liku jurnalis perempuan meliput dunia politik

Balikpapan, IDN Times - Gonjang-ganjing dan kerasnya dunia politik telah lama didominasi oleh para jurnalis laki-laki di Indonesia. Bukan karena jurnalis perempuan tak mampu, namun karena tak dapat kesempatan meliput tentang politik. 

Namun sebagian jurnalis perempuan jika dapat tugas mengerjakan liputan politik malah menolak kesempatan ini karena masalah budaya. Serta adanya stigma perempuan lebih lemah secara fisik dan intelektual dibandingkan jurnalis laki-laki. Inilah yang membuat para editor enggan menugaskan jurnalis perempuan pada liputan politik.

Hal ini merupakan sebagian hasil survei yang dilakukan oleh Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) pada 105 responden jurnalis perempuan dari 8 provinsi di Indonesia yaitu: Aceh, Sumut, Sumbar, Riau, Jambi, Papua, Papua Barat, dan Jatim, pada bulan Februari - Maret 2019 lalu. Survei ini dilakukan oleh FJPI untuk Southeast Asian Press Alliance (SEAPA) guna menyambut World Press Freedom Day 3 Mei 2019.

Nah, seperti apa tantangan jurnalis perempuan di Indonesia di tengah dunia politik yang didominasi laki-laki, simak di sini yuk!

1. Jurnalis perempuan masih mengalami diskriminasi, pelecehan dan dianggap bodoh untuk liputan politik

Sentuhan Perempuan di Berita Politik IDN Times/ Mela Hapsari

Survei ini ingin melihat bagaimana diskriminasi gender di newsroom (ruang redaksi media) untuk liputan politik. Serta bagaimana perusahaan media memperlakukan karyawan perempuan mereka (termasuk jurnalis). Juga, bagaimana para perempuan di level manajer perusahaan media peduli akan isu perempuan. 

Ternyata meskipun newsroom didominasi laki-laki,  lebih dari 93 persen responden mengatakan mereka mendapatkan penugasan pada bidang yang sama dengan jurnalis laki-laki, termasuk bidang politik. Serta 77 orang atau 73 persen responden mengatakan mereka memiliki pengalaman meliput tentang politik.

Sebagian responden yang pernah meliput politik mengatakan menjadi mereka korban pelecehan seksual dan kekerasan verbal, lho. Selain itu, sebagian jurnalis merasakan mendapat persepsi bahwa jurnalis perempuan dianggap tak cukup cerdas untuk meliput tentang politik.

Baca Juga: Melacak Jejak Rohana Kudus, Pionir Jurnalis Perempuan dari Koto Gadang

2. Persiapan sangat penting untuk liputan politik

Sentuhan Perempuan di Berita Politik unsplash/ Vanilla Bear Films

Dari 77 orang responden yang pernah meliput politik, 35 persen melakukan persiapan untuk liputannya seperti melalui membaca buku, browsing, dan melacak track record politikus. Persiapan merupakan langkah bijak untuk tiap penugasan liputan, dan sangat vital untuk mereka yang mengerjakan liputan politik. 

Responden yang melakukan peliputan politik mengatakan sebagian narasumber cenderung berbohong dan berbelit-belit saat menjawab pertanyaan. Kalau gak cukup persiapan data, ini pasti membingungkan untuk reporter saat menyusun berita.

3. Manager perempuan di perusahaan media menilai jurnalis perempuan

Sentuhan Perempuan di Berita Politik womenofchina.cn

Dari 105 responden, hanya 37 orang (35 persen)  jurnalis perempuan yang menduduki level manajer, seperti: pimpinan redaksi, redaktur pelaksana, redaktur, editor, produser, dan profesi lainnya di media. Pada survei ini para manajer ini memberikan penilaian kepada para jurnalis perempuan.

Menurut mereka, kelemahan jurnalis perempuan antara lain adalah waktu yang terbatas untuk bekerja karena memiliki kewajiban tugas rumah tangga, tidak bisa liputan di malam hari, juga rawan menjadi korban kekerasan dan tindak kejahatan.

Selain itu jurnalis perempuan juga sering kali manja, emosional, kurang berani, lambat, dan punya kelemahan terkait tugas reproduksinya yaitu saat menstruasi, mengandung, melahirkan, dan menyusui. 

Namun di sisi lain, jurnalis perempuan juga punya sederet keunggulan, seperti: lebih pandai menjalin komunikasi dengan narasumber, rajin, cekatan, rapi, memiliki rasa empati yang tinggi, tidak mudah menyerah, setia, bertanggung jawab, serta cocok untuk jenis penugasan liputan in-depth news, termasuk pada bidang politik.

Para manajer perempuan ini telah berusaha memberikan ruang untuk upaya kesetaraan gender melalui beberapa cara seperti: merekrut lebih banyak jurnalis perempuan, memprioritaskan narasumber perempuan, dan memberikan kesempatan jurnalis perempuan meliput berbagai jenis bidang.

Sebanyak 46 persen perempuan pada level manajer di media menekankan pentingnya kompetensi personal dibandingkan gender. Sementara dalam memberikan penugasan 51 persen manajer memberikan tugas juga berdasarkan kompetensi masing-masing orang bukan karena gendernya.

4. Hak cuti hamil, melahirkan, menstruasi, dan gaji jurnalis

Sentuhan Perempuan di Berita Politik unsplash/ Suhyeon Choi

UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur cuti untuk melahirkan dan menyusui, serta cuti saat menstruasi. Meskipun telah diatur dengan undang-undang, ternyata 86 persen responden mengatakan tidak mengambil cuti menstruasi. Sebagian karena tidak tahu adanya hak cuti menstruasi untuk karyawan.

Hak lainnya yang belum dipenuhi oleh banyak perusahaan media adalah ruang menyusui. Sebanyak 78 persen responden mengaku kantornya tak memiliki ruangan khusus untuk menyusui. 

Pada survei yang dilakukan FJPI ini, hampir 82 persen responden mengatakan tidak ada perbedaan gaji/ pendapatan antara jurnalis perempuan dan laki-laki pada level yang sama. 

Baca Juga: 9 Jurnalis Perempuan Bicara tentang Tantangan Zaman Now

5. Jurnalis perempuan tak ingin diintimidasi dan diintervensi saat melakukan tugas liputan politik

Sentuhan Perempuan di Berita Politik successinmedia.com

Sebagian responden yang meliput dunia politik menyukai penugasan di bidang ini, menikmati, merasa nyaman, dan mampu berbagi perspektif mereka sebagai perempuan dalam topik politik, mampu mengangkat lebih banyak isu perempuan dan anak yang sering diabaikan dalam politik yang didominasi laki-laki.

Secara umum, responden mengatakan tidak ingin mendapatkan intimidasi maupun intervensi baik dari siapapun saat meliput berita politik, baik dari aparat, juga redaksi dan pemilik media. Responden juga berharap lebih banyak diselenggarakan seminar dan pelatihan untuk meningkatkan skill mereka, seperti: pelatihan jurnalisme investigasi, bencana, safety, dan pelatihan bela diri.

Tantangan jurnalis perempuan di dunia jurnalistik dan politik yang didominasi laki-laki memang sangat besar ya, guys. Namun, semoga jurnalis perempuan gak menyerah dan makin banyak karya dihasilkan. 

Perempuan dan laki-laki memiliki perspektif yang berbeda dan ini terlihat dari laporan berita di media. Perspektif perempuan akan memberikan warna yang berbeda di pemberitaan politik. 

Topik:

  • Mela Hapsari

Berita Terkini Lainnya