Sejarah Etnis Tionghoa di Kalbar, dari Penambang Emas hingga Pembisnis

Perjalanan etnis Tionghoa di tanah Borneo

Pontianak, IDN Times - Kalimantan Barat (Kalbar) memiliki beragam suku dan budaya yang hidup berdampingan. Salah satunya adalah etnis Tionghoa. Rekam jejaknya saat mulai masuk ke tanah Borneo penuh dengan lika-liku kehidupan.

Seorang Sejarawan Pontianak, Syarifudin Usman menceritakan kisah warga Tionghoa saat masuk ke tanah Borneo atau Kalimantan Barat. Syarifudin memaparkan, pada 1866 seorang pengamat yang menyaksikan pertambangan emas menulis orang Tionghoa yang menguasai hampir semua cabang industri di Borneo. Hanya melalui mereka, para penguasa asing dari negeri jauh dapat memanen hasil kekayaan.

“Di setiap tempat di mana dia dapat menjejakkan kakinya, orang Tionghoa mengubah daratan liar menjadi ladang padi yang subur, membangun jalur-jalan untuk mengangkut hasil alam setempat dan bekerja menggarap sumber daya mineral dengan kerajinan dan ketekunan,” kata Syarifudin, Sabtu (3/2/2024).

1. Warga Tionghoa konsisten mewarnai perekonomian Borneo Barat

Sejarah Etnis Tionghoa di Kalbar, dari Penambang Emas hingga PembisnisPerkampungan Tionghoa Kaliasin (google.com/Apin Fu)

Beberapa dekade kemudian pada 1925, kata Syarifudin, para pedagang Tionghoa memiliki keterampilan dalam berhubungan dengan penduduk pedalaman, di mana keunggulan ini sangat menguntungkan.

“Sangat jauh berbeda dengan kesulitan yang dialami orang barat pemilik perkebunan, dan tambang di keresidenan ini yang mencoba menggarap kekayaan alam setempat,” ucapnya.

Orang Tionghoa, berkat menetap bertahun-tahun, mengenal para penduduk dan kebutuhannya, dia secara berkesinambungan berhubungan dengan para penduduk, dan menggunakan sistem peminjaman uang. Perdagangan barternya di pedalaman memberikan keunggulan tambahan atas orang Eropa, begitu pula toko-tokonya.

“Orang Tionghoa pada umumnya bekerja dengan orang yang berutang dengan dia, keunggulan yang sangat besar dibandingkan dengan mereka yang mempekerjakan para kuli yang mahal, bebas dan kadang tak berkemauan. Peran etnis Tionghoa yang konsisten juga mewarnai perekonomian Borneo Barat,” paparnya.

2. Sempat timbul gejolak tahun 1912

Sejarah Etnis Tionghoa di Kalbar, dari Penambang Emas hingga PembisnisWarga tionghoa di Singkawang yang menjadi tatung di acara Cap Go Meh. (IDN Times/Teri).

Syarifudin menceritatakn, pada masa antara 1885 sampai 1942 merupakan masa yang relatif damai. Sedikit sekali timbul pergolakan, terkecuali pergolakan 1912-1914.

Masa-masa ini, kata Syarifudin, tidak hanya memungkinkan orang Tionghoa untuk dapat memulihkan dirinya kembali secara bertahap dari kerusakan yang diakibatkan oleh perang dan penghancuran kongsi, namun juga memberikan peluang bagi para pemukim dan pendatang untuk bekerja sama membangun perluasan ekonomi.

Sejak masa Belanda mulai menyelidiki Borneo, mereka menggambarkan potensi tempat ini secara berlebih-lebihan. Mereka beranggapan bahwa tanah daerah pesisir tidak diragukan lagi, sesubur Jawa dan daratan tingginya cocok untuk bertanam kopi, lada dan rempah-rempah.

“Hasil kekayaan alam seperti rotan, sarang burung dan lilin lebah sangat berlimpah, selain juga emas, intan dan mineral lainnya. Meskipun memiliki potensi kekayaan tersebut, hampir sepanjang abad ke 19 Keresidenan Borneo Barat gagal memperoleh pendapatan yang mencukupi untuk membayar biaya administrasi mereka sendiri,” ungkap Syarifudin.

3. Pertambangan emas di Monterado, hingga krisis ekonomi

Sejarah Etnis Tionghoa di Kalbar, dari Penambang Emas hingga PembisnisOtonomi Daerah Dalam Konteks Pembangunan Ekonomi Daerah(google.com/cakaplah.com)

Di akhir perang Monterado pada 1854, penguasa kolonial mengharapkan pertambangan emas akan beroperasi kembali, namun banyak penambang yang sudah pergi atas kemauannya sendiri.

Penambangan tidak lagi menguntungkan, karena persediaan emas tidak bisa lagi dikerjakan dengan teknologi orang Tionghoa. Sementara tanpa kongsi, industri tambang tidak memiliki pengusaha untuk menyediakan modal dan mendatangkan pekerja.

Lan Fang sebagai satu-satunya kongsi yang masih tersisa, juga sedang mengalami penurunan, penduduknya menyusut secara drastis. Untuk mempertahankan populasi penambang yang kebanyakan laki-laki dewasa, mereka bergantung dari penyaluran tenaga kerja baru dari Tiongkok.

“Imigrasi mengalami penurunan dikarenakan krisis ekonomi yang terjadi akibat perang Monterado, juga karena pergolakan di Tiongkok selatan, dan juga dikarenakan tidak adanya organisasi kongsi yang mampu mengelola penambangan,” ucap Syarifudin.

Namun ternyata di akhir abad ini, jumlah orang Tionghoa meningkat, tertarik oleh kesempatan meskipun peluang dalam penambangan emas sangatlah kecil. Sebuah jaringan para pedagang mengumpulkan hasil hutan untuk pasar internasional dan kemudian tanaman niaga membuka peluang-peluang yang baru.

Baca Juga: Seorang Narapidana di Pontianak Kabur Lewat Atap Kamar Mandi Lapas

4. Populasi etnis Tionghoa di Borneo Barat mulai meningkat

Sejarah Etnis Tionghoa di Kalbar, dari Penambang Emas hingga Pembisnisilustrasi orang tua mengajarkan aksara Tionghoa kepada anak-anak (istockphoto.com/AsiaVision)

Pada 1915, sebagai hasilnya kebun-kebun pertanian karet menyebar luas, dipelopori pertama oleh para pedagang Tionghoa dan dirawat oleh orang Melayu, Tionghoa dan kemudian orang Dayak.

Maka terjadi satu perubahan yang menyeluruh pada perekonomian Borneo Barat selama seperempat abad sebelum 1919. Pertanian kecil berkembang dalam skala besar, tanpa adanya satu dorongan pun dari pemerintah. Jumlah penduduk bertumbuh seiring dengan perbaikan ekonomi.

Pada paruh pertama 1800-an, dalam perselisihan mengenai pajak kepala, birokrat kolonial cenderung melebih-lebihkan jumlah laki-laki dewasa Tionghoa, sedangkan kongsi cenderung untuk merendahkannya.

Ahli geografi abad ke 20, James C Jackson, kata Syarifudin, melaporkan terdapat lebih dari empat puluh ribu orang Tionghoa di daerah ini pada 1810-an, dan sekitar lima puluh ribu orang pada 1850.

“Kedua angka tersebut mungkin terlalu dibesar-besarkan. Pada saat pemerintahan kolonial berdiri di suatu wilayah, penghitungan jumlah kepala lebih dapat dipercaya,” ucapnya.

Selama 1860-an dan awal 1870-an, populasi orang Tionghoa menjadi sekitar 25.000 jiwa, proporsinya sekitar 7,3 persen dari total keseluruhan jumlah penduduk pada 1860 dan hanya mencapai 7,7 persen pada 1890.

Setelah tahun 1877, perkembangan jumlah penduduk Tionghoa mulai meningkat secara perlahan, mencapai sekitar 28.000 jiwa pada akhir dekade tersebut. Pada 1905, populasinya sekitar 48.348 atau 10,7 persen dari seluruh populasi, dan pada waktu sensus penduduk 1920 hampir sekitar 67.787 jiwa atau 11,2 persen.

Sepuluh tahun kemudian, kata Syarifudin, angkanya mencapai 107.998 atau 13,5 persen. Pertumbuhan tersebut sebagian diakibatkan karena meningkatnya imigrasi, yang dirangsang oleh perubahan ekonomi. Sebagian karena kenaikan secara alamiah, yaitu perimbangan jenis kelamin yang semakin membaik dan terbentuknya keluarga yang stabil.

5. Imigran harus bayar uang pungutan seratus gulden

Sejarah Etnis Tionghoa di Kalbar, dari Penambang Emas hingga Pembisnisilustrasi negara tiongkok (Pexels/Zhu Peng)

Awal 1856 dan Maret 1857, hanya ada 169 orang Tionghoa yang datang. Pada 1858, ada 123 orang Tionghoa yang datang, kebanyakan dari mereka telah menetap bertahun-tahun di Singapura.

Hampir semuanya bermukim di Pontianak, namun sebagian kecil dari mereka, orang Hakka, masih berencana mencari peruntungan di pertambangan. Di lain sisi, ratusan orang berpindah ke Sarawak, di mana harga candu lebih murah dan lebih sedikit terjadi kerja paksa.

Kebanyakan orang Teochiu, enthoven menduga bahwa kebanyakan orang Tionghoa di Mandor dan Sebadu dilahirkan di tempat itu, sedangkan kebanyakan dari mereka yang tinggal di Distrik Pontianak (sekitar 9.059 orang Tionghoa yang tinggal di kota Pontianak dan 1.405 di pemukiman nelayan di daerah pantai Sungai Kakap) adalah imigran.

Sepanjang 1880 hingga 1900, penduduk Tionghoa mengalami kenaikan hingga sekitar 2 persen setiap tahunnya, menjadi lebih dari 3 persen setelah 1900. Keterbatasan sarana angkutan selama Perang Dunia I mengurangi gelombang ini, namun antara sensus penduduk 1920 dan 1930, tingkat kenaikan jumlah orang Tionghoa di Borneo Barat pertahunnya mencapai tingkat yang luar biasa tinggi yaitu 4,77 persen, kebanyakan disebabkan oleh imigrasi.

“Pada 1920-an, para imigran diharuskan membuktikan bahwa mereka dapat memperoleh pendapatan teratur dan membayar uang pungutan sebesar seratus gulden untuk kartu izin sebelum diperbolehkan masuk ke dalam wilayah keresidenan,” ungkap Syarifudin.

Sejumlah tenaga kerja, dan pemetik hasil panen yang datang untuk bekerja sebagai kuli di perkebunan karet dikirimkan kembali ke Tiongkok pada saat pemilik perkebunan memutuskan untuk memangkas biaya karena jatuhnya harga karet.

Meskipun jumlah orang Tionghoa di Borneo Barat melampaui angka 100 ribu pada 1930, namun pertumbuhan populasi yang cepat tidak lagi berlanjut sampai 1930-an. Depresi mengakhiri pertumbuhan cepat populasi orang Tionghoa, meskipun imigrasi terasa meningkat kembali pada akhir 1940-an dan awal 1950-an.

Baca Juga: Resahkan Warga, 5 Remaja Acungkan Sajam di Tempat Wisata Pontianak

Topik:

  • Linggauni

Berita Terkini Lainnya