Akademisi Dorong Pembentukan Ditjen Transportasi Sungai dan Danau

Balikpapan, IDN Times – Tragedi tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali menyisakan keprihatinan mendalam atas masih rendahnya perhatian pemerintah terhadap sektor transportasi air. Djoko Setijowarno, akademisi Teknik Sipil Unika Soegijapranata sekaligus Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, menilai perlu segera dibentuk Direktorat Jenderal Transportasi Sungai, Danau, dan Penyeberangan (TSDP) yang berdiri sendiri.
"Kita jangan terus mengulang kesalahan dan baru mau berbenah kalau sudah terjadi musibah yang menelan korban jiwa," tegas Djoko dalam pernyataannya kepada IDN Times.
Menurut Djoko, pembentukan direktorat jenderal khusus ini penting untuk memastikan fokus anggaran dan perhatian pemerintah terhadap transportasi sungai, danau, dan penyeberangan, yang selama ini sering terabaikan.
1. Butuh direktorat jenderal khusus agar lebih fokus

Lebih lanjut dia menerangkan, Indonesia memiliki 840 danau dengan berbagai tipologi. Sebagian besar danau di Indonesia adalah danau alami, dengan luas total mencapai 7.103 kilometer persegi. Selain itu, terdapat 735 situ (danau kecil) dengan total luas sekitar 5.000 km².
Indonesia juga memiliki sekitar 70.000 aliran sungai besar dan kecil (BPS, 2024). Sungai terpanjang di Indonesia adalah Sungai Kapuas di Kalimantan Barat, dengan panjang mencapai 1.143 kilometer. Sungai ini mengalir dari Pegunungan Müller hingga ke Selat Karimata di Laut Cina Selatan.
Tak hanya itu, terdapat 357 lintas angkutan penyeberangan, dengan 83 lintas komersial dan 274 lintas perintis, yang dilayani oleh 427 kapal (PT ASDP, 2023).
Djoko juga menyoroti keberadaan Politeknik Transportasi Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Poltektrans SDP) yang berkedudukan di Palembang. Menurutnya, lembaga pendidikan ini bisa menjadi sumber daya manusia untuk mendukung reformasi kelembagaan transportasi air.
"Supaya lebih fokus dan punya anggaran tersendiri, maka diperlukan Direktorat Jenderal Transportasi Sungai, Danau dan Penyeberangan," ujar Djoko.
2. Pemerintah mesti optimalkan angkutan sungai

Saat ini, menurut Djoko, posisi kelembagaan transportasi air masih berada di tingkat eselon II, yang dipindahkan dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat ke Direktorat Perhubungan Laut, tanpa perubahan anggaran yang signifikan. Akibatnya, pembenahan hanya fokus pada wilayah tertentu seperti Danau Toba, sementara angkutan sungai lainnya terabaikan karena minimnya anggaran.
Padahal, angkutan sungai berpotensi besar menjadi alternatif untuk mengalihkan beban logistik dari jalan raya ke jalur air. Di Kalimantan, pemanfaatan aliran sungai untuk logistik makin menurun sejak terhubungnya Trans Kalimantan. Padahal idealnya, sungai tetap digunakan untuk distribusi logistik demi mengurangi beban jalan.
"Beberapa sungai besar seperti Musi dan Batanghari di Sumatera juga memiliki potensi logistik, tapi masih belum dimaksimalkan," tambahnya.
Djoko juga menekankan bahwa sarana kapal angkutan sungai perlu dimodernisasi, mengingat masih banyak kapal tua yang beroperasi di Kalimantan.
Di sisi lain, angkutan penyeberangan yang tidak menguntungkan sering diabaikan. Misalnya, kasus akses menuju Pulau Enggano atau wilayah seperti Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) yang memiliki banyak pulau kecil namun minim layanan penyeberangan.
"Jika dibebankan ke pemerintah kabupaten, pasti tidak cukup fiskal untuk mengoperasikan angkutan penyeberangan ke pulau-pulau kecil tersebut," jelas Djoko.
3. Tragedi KMP Tunu Pratam Jaya jadi alarm

Ia menegaskan bahwa kasus KMP Tunu Pratama Jaya tak perlu terulang. Penambahan anggaran harus diiringi dengan peningkatan perhatian pada keselamatan, bukan justru pemotongan anggaran keselamatan demi efisiensi.
"Kesuksesan pembenahan di Danau Toba bisa jadi pembelajaran membenahi transportasi sungai, danau, dan penyeberangan di lokasi lain," ujar Djoko.
Menurutnya, sungai, danau, rawa, bahkan kali di Jakarta juga masih digunakan sebagai alat transportasi penyeberangan namun belum mendapat pengawasan pemerintah.
"Ironis memang, jika angkutan penyeberangan hanya dimaknai sebagai lintasan padat dengan kapal besar seperti Merak–Bakauheni. Padahal masih banyak titik kecil yang penting dan rawan," tegasnya.
4. Angkutan perairan adalah kebutuhan strategis nasional.

Djoko mempertanyakan efektivitas pengalihan urusan TSDP ke Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, sementara masalah di angkutan laut sendiri belum tuntas.
Ia pun menyerukan perlunya penanganan transportasi penyeberangan secara komprehensif, mulai dari kelembagaan yang setara dengan angkutan jalan, laut, udara, dan kereta api, hingga penyediaan SDM dan infrastruktur yang mumpuni.
"Semua ini hanya bisa dijawab jika Kemenhub berani membawa keluar Direktorat TSDP dari DJPD dan DJPL, seperti halnya Direktorat KA yang kini berdiri sendiri sebagai Ditjen Perkeretaapian," ujar Djoko.
Terakhir, ia mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan (archipelago), bukan negara daratan (kontinental), sehingga perhatian terhadap angkutan perairan adalah kebutuhan strategis nasional.