Ilustrasi pria membayar jasa transportasi umum (freepik.com/freepik)
MTI merumuskan lima pilar utama sebagai strategi implementasi BRT yang terintegrasi dan berkelanjutan. Pilar pertama adalah aspek teknis, yakni jalur khusus steril di median jalan dengan halte terhubung skybridge dan pedestrian ramah pejalan kaki. Bus berlantai rendah disiapkan agar aksesibel bagi anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas.
“Angkutan kota diarahkan menjadi feeder menuju halte BRT, dan sistem digital akan mengatur jadwal, pembayaran non-tunai, hingga informasi real-time,” jelas Gultom.
Pilar kedua mencakup pendanaan berkelanjutan, dengan kombinasi skema KPBU, APBN/APBD, serta pungutan seperti congestion charge atau carbon tax. Targetnya adalah Farebox Recovery Ratio (FRR) sebesar 60–80 persen agar sistem tetap sehat dan efisien.
Ketiga, kelembagaan yang kuat diperlukan melalui pembentukan dua badan: lembaga pembangunan masterplan dan lembaga pengelola operasional (bisa berupa BLUD atau BUMD). Pilar keempat, regulasi penunjang, mencakup penegakan ETLE di jalur BRT serta dorongan penggunaan bus listrik dan energi ramah lingkungan.
Terakhir, tata kelola yang akuntabel harus diterapkan melalui pengukuran indikator kinerja utama seperti ketepatan waktu, kepuasan penumpang, efisiensi operasional, dan pengurangan emisi. Armada BRT wajib diperemajakan setiap 10–15 tahun, dengan pelatihan berkala bagi pengemudi.