Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
FR (30), terdakwa kasus pencabulan saat keluar dari ruang sidang PN Balikpapan.
FR (30), terdakwa kasus pencabulan saat keluar dari ruang sidang PN Balikpapan, Rabu (27/8/2025). (IDN Times/Erik Alfian)

Balikpapan, IDN Times – Kejaksaan Negeri Balikpapan buka suara terkait dasar pertimbangan tuntutan tujuh tahun penjara terhadap FR (30), terdakwa dugaan tindak asusila terhadap anak kandungnya yang masih balita di Balikpapan. Kasus ini viral sejak tahun lalu dan menyita perhatian luas dari publik. Pada pekan lalu, jaksa menuntut FR dengan hukuman 7 tahun penjara atau setengah dari ancaman maksimal.

Dalam perkara ini FR dituntut berdasarkan Pasal 82 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara dan denda hingga Rp5 miliar

Jaksa Penuntut Umum (JPU) menegaskan, keputusan menuntut tujuh tahun penjara tidak diambil sembarangan. Terdapat sejumlah faktor kemanusiaan dan psikologis yang turut menjadi dasar pertimbangan, tanpa mengesampingkan aspek keadilan bagi korban.

1. Pertimbangan kondisi keluarga

FR (30), terdakwa pencabulan terhadap seorang balita 2 tahun saat berada di ruang sidang PN Balikpapan, Rabu (27/8/2025). (IDN Times/Erik Afian)

Jaksa Penuntut Umum Hentin Pasaribu menjelaskan, setiap perkara memiliki karakteristik dan latar belakang yang berbeda. Dalam kasus FR, jaksa menilai hubungan emosional antara ayah dan anak menjadi salah satu aspek yang turut diperhitungkan.

“Kita melihat si FR ini dekat dengan anaknya dan juga menjadi pencari nafkah keluarga. Istrinya bahkan mengatakan anaknya tidak bisa jauh dari ayahnya. Itu juga kami pikirkan,” ujar Hentin, Rabu (22/10/2025).

Hentin menegaskan, kedekatan tersebut bukan pembenaran atas tindakan pelaku, melainkan bagian dari penilaian menyeluruh dalam menentukan beratnya tuntutan pidana.

2. Kondisi psikologis anak jadi pertimbangan utama

Kekerasan seksual

Selain faktor keluarga, pertimbangan psikologis korban juga menjadi perhatian utama jaksa. Berdasarkan hasil pemeriksaan, korban yang masih balita belum menunjukkan gejala trauma mendalam akibat kejadian tersebut.

“Korban masih kecil dan belum menunjukkan tanda trauma berat. Itu kami jadikan bahan pertimbangan agar hukuman yang dijatuhkan tetap proporsional,” jelas Hentin.

Jaksa menilai pemidanaan berat tidak selalu menjadi solusi efektif dalam kasus kekerasan terhadap anak, terutama jika dapat memicu dampak psikologis lanjutan pada keluarga korban.

3. Terdakwa diharapkan dapat memperbaiki diri

Ilustrasi kekerasan seksual di dalam rumah. (Dok.Remotivi)

Meski menuntut tujuh tahun penjara, jaksa berharap hukuman tersebut dapat memberi efek jera tanpa memutus hubungan emosional antara ayah dan anak.

“Yang kami pikirkan bukan hanya pelaku, tapi juga keluarganya. Kami ingin keadilan ditegakkan tanpa merusak ikatan keluarga yang tersisa,” tegas Hentin.

Jaksa berharap FR dapat memperbaiki diri selama menjalani masa hukuman dan tidak mengulangi perbuatannya. Sementara itu, pihak keluarga korban disebut tetap mendapatkan pendampingan psikologis dari lembaga terkait.

Kasus ini berawal dari laporan ibu korban pada Oktober 2024 setelah mendapati luka pada bagian sensitif anaknya yang berusia dua tahun.

Hasil visum menunjukkan adanya luka baru dan lama pada selaput dara korban. Setelah penyelidikan Polda Kaltim dan pemeriksaan ahli forensik, FR ditetapkan sebagai tersangka pada Maret 2025 dan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Balikpapan pada Juli 2025. Hingga kini, FR tetap membantah tuduhan dan akan menyampaikan pembelaan pada sidang berikutnya, Senin (27/12/2025).

Editorial Team