Bahasa Daerah di Kaltim Terancam Punah, Balai Lakukan Revitalisasi

Samarinda, IDN Times – Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) terus menggiatkan upaya pelestarian bahasa daerah yang terancam punah di wilayah Kaltim dan Kalimantan Utara (Kaltara).
"Program ini merupakan mandat dari Kementerian Pendidikan dan berfokus pada revitalisasi bahasa daerah," ujar Yudianti Herawati, Penelaah Teknis Kebijakan Balai Bahasa Kaltim diberitakan Antara, Selasa (15/7/2025).
1. Jumlah penutur bahasa daerah makin berkurang

Revitalisasi dilakukan untuk menghidupkan kembali bahasa yang jumlah penuturnya semakin menurun. Berdasarkan peta bahasa, Kaltim memiliki 16 bahasa daerah dan Kaltara 11 bahasa daerah.
Sejak 2022, Balai Bahasa Kaltim telah memilih sejumlah bahasa prioritas untuk direvitalisasi. Di Kaltim, tiga bahasa yang menjadi fokus utama adalah Bahasa Paser, Melayu Kutai, dan Benuaq. Sementara di Kaltara, yang diprioritaskan adalah Bahasa Bulungan (2023) dan Bahasa Tidung (2024).
“Fokus kami saat ini pada Bahasa Paser dan Melayu Kutai karena dampaknya sudah terasa. Bahkan, Bahasa Paser sudah masuk dalam Peraturan Bupati sebagai muatan lokal,” jelas Yudianti.
Menurutnya, program revitalisasi ini juga bertujuan mendorong pemerintah daerah menyusun bahan ajar muatan lokal di sekolah, agar pelestarian bahasa lebih terarah dan berkelanjutan.
2. Pelestarian bahasa daerah

Secara tipologi, Kaltim masuk kategori Tipe C, artinya bahasa daerah di wilayah ini sudah mengalami kemunduran dan jarang diajarkan di sekolah. Berbeda dengan Tipe A seperti Bahasa Jawa atau Sunda yang masih kuat digunakan, dan Tipe B yang mulai bercampur dengan pengaruh bahasa lain.
“Meski termasuk Tipe C, kami melihat bahasa daerah masih digunakan dalam komunitas. Karena itu, target revitalisasi kami mencakup sekolah, komunitas, guru, siswa, dan pemangku kebijakan. Siswa tetap jadi sasaran utama,” tambahnya.
Tahapan program dimulai dari koordinasi dengan pemangku kebijakan, lalu pelatihan guru oleh penutur jati. Selanjutnya, guru akan menularkan pengetahuan itu ke siswa di jenjang SD dan SMP.
3. Masuk kategori bahasa tipe C

Berbeda dengan Tipe A seperti Bahasa Jawa atau Sunda yang masih kuat digunakan, dan Tipe B yang mulai bercampur dengan pengaruh bahasa lain.
“Meski termasuk Tipe C, kami melihat bahasa daerah masih digunakan dalam komunitas. Karena itu, target revitalisasi kami mencakup sekolah, komunitas, guru, siswa, dan pemangku kebijakan. Siswa tetap jadi sasaran utama,” tambahnya.
Tahapan program dimulai dari koordinasi dengan pemangku kebijakan, lalu pelatihan guru oleh penutur jati. Selanjutnya, guru akan menularkan pengetahuan itu ke siswa di jenjang SD dan SMP.