ilustrasi suasana di cafe (unsplash.com/daanelise)
Apabila tawaran dari kawan itu ditolak, pemuda 33 tahun ini tentu tak bisa menyekolahkan adiknya hingga tingkat universitas. Menjadi anak pertama memang harus serba bisa. Termasuk peran sebagai kepala keluarga pengganti. Kedua orangtua Rony hanya bertani, tak banyak rupiah bisa dihasilkan dari pekerjaan ini. Hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari. Sebelum ikut dengan kawannya ke luar daerah, Rony punya dua aktivitas. Bernyanyi di pesta pernikahan (wedding singer) dan kafe.
“Dua kegiatan itu saya harus jalani. Mau gak mau, karena memang tak ada pilihan lain,” ujarnya dengan nada sedih.
Hanya lewat suara, Rony bisa mendapat rupiah. Kini pemuda kelahiran Samarinda 1987 silam itu berada di Surabaya, beberapa bulan sebelumnya dia dan kawan-kawannya bernyanyi di Batam. Baginya melantunkan lagu adalah hal terindah, lebih-lebih yang mendengarkan kemudian tersenyum. Alumnus SMA Katolik Wage Rudolf Soepratman ini memang cinta bernyanyi. Persinya usia 5 tahun, sudah mulai menirukan penyanyi di televisi. Duduk di bangku SD ikut paduan suara, pun demikian dengan SMP dan SMA. Pada masa itu, lomba jadi cara menguji diri. Pantas atau tidak masuk pentas.
“Awalnya emang gak percaya diri, tapi vocal coach terus memberikan semangat akhirnya berani ikut lomba,” imbuhnya.