Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-06-05 at 20.00.15.jpeg
Koalisi Peduli Nelayan Kerang Darah Muara Badak melaporkan dugaan pencemaran yang dilakukan oleh PT PHSS ke Polda Kaltim. (IDN Times/Erik Alfian)

Balikpapan, IDN Times - Empat nelayan kerang darah asal Kecamatan Muara Badak, Kabupaten Kutai Kartanegara, dipanggil Polres Bontang sebagai saksi dalam kasus dugaan penghasutan dan memasuki pekarangan tanpa izin. Kasus ini terkait aksi demonstrasi di area pengeboran milik PT Pertamina Hulu Sanga Sanga (PHSS) pada 9–10 Januari dan 5 Februari 2025 lalu.

Berdasarkan salinan surat pemanggilan yang diperoleh IDN Times, keempat nelayan tersebut adalah Muhammad Yusuf, Muhammad Yamin, Muhammad Said, dan Haji Tarre. Mereka dijadwalkan diperiksa pada Rabu, 25 Juni 2025.

Kapolres Bontang, AKBP Alex Frestian Lumban Tobing, menyatakan bahwa laporan dari kedua belah pihak—baik dari perusahaan maupun masyarakat—saat ini tengah diproses. “Ini masih berproses. Biarkan semuanya berjalan sebagaimana mestinya agar semua bisa terakomodasi,” ujar Alex, Senin (23/6/2025).

1. Polisi tegaskan netral

Kapolres Bontang, AKBP Alex Frestian Lumban Tobing. (Dok. Polres Bontang)

Alex menegaskan bahwa pihak kepolisian bersikap netral. Ia menyebut ada dua laporan yang masuk: dari warga soal dugaan pencemaran lingkungan oleh PHSS, dan dari perusahaan terkait dugaan pelanggaran hukum oleh nelayan.

“Polres harus berada di tengah. Tidak mungkin hanya satu yang direspons lebih dulu. Semuanya harus seimbang,” tegasnya.

Ia mengatakan, saat ini Polres sedang mengumpulkan keterangan dari para saksi, baik dari pihak nelayan maupun perusahaan.

“Pernyataan dari berbagai saksi akan kami kumpulkan. Biarkan proses hukum berjalan agar bisa terlihat secara menyeluruh duduk perkaranya seperti apa,” jelasnya.

Kapolres pun mengimbau agar masyarakat menjaga situasi tetap kondusif selama proses hukum berlangsung.

“Harapan kami, situasi keamanan tetap terjaga, terutama di wilayah hukum Polres Bontang,” tutupnya.

2. Nelayan menduga ada upaya kriminalisasi

Koalisi Peduli Nelayan Kerang Darah Muara Badak melaporkan dugaan pencemaran yang dilakukan oleh PT PHSS ke Polda Kaltim. (IDN Times/Erik Alfian)

Pemanggilan terhadap empat nelayan ini menuai sorotan. Sebab, aksi unjuk rasa mereka dilakukan secara terbuka dan diikuti oleh ratusan orang. Aksi tersebut digelar sebagai bentuk protes terhadap dugaan pencemaran dari limbah kolam bekas pengeboran PHSS, yang diduga menjadi penyebab gagal panen budidaya kerang darah sejak Desember 2024.

Sebanyak 299 nelayan mengalami gagal panen dengan nilai kerugian ditaksir mencapai Rp69 miliar. “Kami sangat tertekan. Kami justru butuh perlindungan dari kriminalisasi,” kata Muhammad Yusuf.

Yusuf menyebut, saat aksi berlangsung, sempat terjadi pemukulan dan penangkapan. Dalam kondisi trauma dan tekanan, beberapa nelayan sempat melontarkan pernyataan yang kini disebut sebagai penghasutan. “Kami masyarakat kecil yang dirugikan, tapi justru dicari-cari kesalahannya. Ini tidak manusiawi,” ujarnya.

3. Peneliti: Ada mekanisme Anti-SLAPP, warga tak bisa dipidana

Kerang darah milik nelayan Muara Badak yang mati diduga karena tercemar limbah. (Dok. Nelayan Muara Badak)

Peneliti dari Nugal Institute, Merah Johansyah, menegaskan bahwa warga yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup tidak bisa dikriminalisasi. Hal itu telah diatur dalam Permen LHK Nomor 10 Tahun 2024 tentang Anti-SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation). “Warga pejuang lingkungan tidak bisa dipidana karena dilindungi regulasi Anti-SLAPP,” jelas Merah.

Ia bahkan menyebut bahwa Pertamina bisa dipidana balik atas dugaan pencemaran lingkungan. Selain itu, aparat penegak hukum juga bisa digugat jika tetap memproses kriminalisasi terhadap warga. “Menteri LH harus bersurat ke kepolisian agar proses hukum terhadap nelayan dihentikan. Jika tidak, itu melanggar UU 32/2009 tentang PPLH dan Permen 10/2024,” ujarnya.

Merah juga mendesak agar Kementerian Lingkungan Hidup segera menyelidiki dugaan tindak pidana lingkungan oleh PHSS.

“Tak cukup kalau akar masalahnya, yaitu pencemaran, tidak ditindak,” tegasnya.

Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menyatakan telah memerintahkan Deputi Penegakan Hukum KLHK, Irjen Pol Rizal Irawan, untuk berkoordinasi dengan Polres Bontang. “Sudah dilakukan konfirmasi, insya Allah permasalahannya bisa selesai,” ujar Hanif akhir pekan lalu.

Editorial Team