Guru honorer SD Negeri 4 Baito Supriyani bersiap menjalani persidangan di ruang sidang Pengadilan Negeri Andoolo, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Senin (28/10/2024). ANTARA FOTO/Jojon/aww.
Dunia pendidikan di Indonesia kerap diwarnai kasus-kasus kontroversial, mulai dari persoalan administratif hingga yang lebih serius, termasuk tindak pidana. Salah satu kasus terbaru yang mencuat adalah kasus Supriyani, seorang guru honorer di SDN 4 Baito, Desa Wonua Raya, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Kasus ini menarik perhatian banyak pihak karena melibatkan tuduhan penganiayaan terhadap seorang murid dan membuka perdebatan tentang hubungan antara guru, murid, dan hukum.
Supriyani, yang telah bertahun-tahun mengabdi sebagai guru honorer, dituduh menganiaya seorang murid berinisial MCD, seorang anak berusia enam tahun yang juga merupakan putra dari Aipda Wibowo Hasyim, Kanit Intelkam Polsek Baito.
Kasus ini pertama kali mencuat pada akhir April 2024, ketika ibu MCD, Nurfitriana, menemukan luka memar di paha anaknya. Saat ditanya, MCD awalnya mengatakan bahwa luka tersebut diakibatkan karena ia terjatuh di sawah. Namun, beberapa hari kemudian, saat ditanya oleh ayahnya, MCD mengaku bahwa luka itu disebabkan oleh pukulan dari “Mama Alfa” - panggilan akrab para murid untuk Supriyani.
Mendengar pengakuan tersebut, keluarga MCD langsung melapor ke Polsek Baito untuk mengusut dugaan penganiayaan ini. Laporan resmi dibuat pada 26 April 2024, dengan harapan pihak kepolisian dapat menyelidiki kebenaran kasus ini dan memberikan keadilan bagi anak mereka.
Kapolres Konawe Selatan, AKBP Febry Sam, menjelaskan bahwa pihak kepolisian awalnya mencoba mengedepankan pendekatan kekeluargaan untuk menyelesaikan kasus ini. Mediasi diadakan pada hari yang sama ketika laporan dibuat, dihadiri oleh keluarga MCD, Supriyani, dan Kapolsek Baito. Namun, mediasi tersebut tidak menemukan titik temu. Supriyani dengan tegas membantah tuduhan tersebut dan meminta bukti konkret atas dugaan penganiayaan.
Ketidaksepakatan dalam mediasi menimbulkan kebuntuan. Ketika waktu terus berjalan tanpa perkembangan yang berarti, keluarga MCD mulai merasa frustrasi. Pada bulan Juni 2024, setelah tiga bulan berlalu, keluarga kembali mempertanyakan tindak lanjut dari laporan mereka. Desakan dari pihak keluarga mendorong penyidik Polsek Baito untuk membawa kasus ini ke Polres Konawe Selatan dan meningkatkan statusnya menjadi penyidikan.
Kasus ini kemudian memasuki ranah yang lebih kompleks, menimbulkan spekulasi dan isu kriminalisasi yang diduga melibatkan aparat kepolisian. Setelah melalui proses panjang, kasus tersebut akhirnya mencapai persidangan di Pengadilan Negeri Andoolo, Konawe Selatan. Situasi ini memunculkan sorotan terhadap posisi guru dalam mendidik siswa di tengah aturan dan tekanan sosial yang sering kali sulit dihadapi.
Kasus Supriyani menjadi potret dilematis bagi dunia pendidikan Indonesia, yang masih dihadapkan pada persoalan hubungan antara guru dan siswa serta batas-batas tindakan disiplin di sekolah. Banyak yang bertanya-tanya, di tengah tugas mulia para guru untuk mendidik, sejauh mana mereka dapat merasa aman dari tuduhan yang bisa muncul kapan saja.
Bagi Supriyani, kasus ini tidak hanya menjadi ujian profesionalitasnya sebagai guru, tetapi juga perjalanan pribadi yang penuh tekanan. Sementara itu, bagi masyarakat luas, kasus ini menggugah kesadaran akan pentingnya pendekatan yang bijaksana dalam menyelesaikan persoalan di lingkungan sekolah, demi menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih aman dan adil bagi semua pihak.