Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Info gratis Hakikat Kurikulum Merdeka yang Jauh Panggang dari Arang. Info grafis IDN Times
Info gratis Hakikat Kurikulum Merdeka yang Jauh Panggang dari Arang. Info grafis IDN Times

Balikpapan, IDN Times - Penerapan Kurikulum Merdeka yang diharapkan mampu membawa angin segar dalam dunia pendidikan Indonesia justru menuai polemik dari berbagai kalangan. Mulai dari guru hingga orang tua, banyak yang mempertanyakan efektivitas dan kesiapan implementasinya. 

Alih-alih mengadopsi sistem kurikulum dari Finlandia dalam pengembangan kompetensi dasar siswa, tetapi sementara ini memercikkan polemik di lapangan selama lima tahun terakhir.  Semisal persoalan kesiapan guru, ketimpangan akses pendidikan, beban administrasi guru, kurangnya pemahaman orang tua, kebijakan yang terkesan uji coba, dan masih banyak lainnya. 

Kolaborasi hyperlokal IDN Times akan menampilkan polemik di lapangan yang bermunculan dalam dunia pendidikan di Indonesia sehubungan penerapan Kurikulum Merdeka ini. 

1. Kegusaran Wakil Presiden ke-10 Jusuf Kalla terhadap Program Merdeka Belajar

(IDN Times/Azzis Zulkhairil)

Wakil Presiden ke-10 Jusuf Kalla (JK) kembali menyuarakan kritik tajamnya terhadap Program Merdeka Belajar yang diusung Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim. Sebagai salah satu tokoh yang dikenal vokal dalam menanggapi isu pendidikan, JK menilai sistem pendidikan di Indonesia membutuhkan evaluasi mendalam. Kritik ini disampaikan dalam acara “Tudang Sipulang Pendidikan” di Balai Besar Penjamin Mutu Pendidikan (BBPMP) Sulawesi Selatan, awal September 2024. Di hadapan para hadirin, JK tak menutupi kegusarannya terhadap arah pendidikan saat ini.

“Yang kacau balau itu sistem pendidikan. Kalau hanya ‘merdeka’ tapi anak-anak justru makin tidak belajar, apakah itu benar-benar membawa kemajuan?” tegasnya.

Menurut JK, standar pendidikan Indonesia kian tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal ini, menurutnya, sudah berlangsung sejak beberapa dekade lalu, ketika kebijakan pendidikan mulai terfokus pada nilai akademis tanpa mempertimbangkan dampak pada kualitas pembelajaran yang sebenarnya. Ia menyoroti disparitas yang ada di berbagai wilayah Indonesia. “Jika di Jawa nilai 6 adalah standar, maka di Indonesia Timur, siswa yang mendapatkan nilai 4 bisa dinaikkan menjadi 6. Ini seperti membiarkan ketimpangan tanpa menyelesaikan akar masalahnya,” ujarnya.

JK juga menilai bahwa semakin rumitnya sistem pendidikan tidak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas. Kebijakan pelulusan massal, misalnya, menjadi sorotan tajam JK karena berpotensi mengikis motivasi belajar siswa. “Saat semua siswa lulus tanpa tantangan, mereka cenderung hanya belajar ketika mendekati ujian, sementara di luar itu tidak ada dorongan untuk belajar,” jelasnya.

Selain itu, JK menyayangkan dihapusnya ujian nasional yang, menurutnya, merupakan bagian penting dalam sistem pendidikan. Ia membandingkan dengan negara-negara seperti India, Amerika Serikat, dan negara Eropa lainnya yang tetap mempertahankan ujian sebagai tolok ukur pencapaian siswa. Ia mencontohkan keberhasilan warga India yang menduduki posisi penting di luar negeri, termasuk di perusahaan-perusahaan besar Amerika, sebagai hasil dari sistem pendidikan yang ketat dan terstruktur. “Jika ingin belajar dari sistem yang baik, kita bisa mencontoh India,” tambahnya.

Lebih lanjut, JK menekankan pentingnya kerja keras dan disiplin dalam mengejar ketertinggalan pendidikan Indonesia. Menurutnya, bukan kemampuan yang menjadi masalah, tetapi semangat dan konsistensi. “Apakah otak kita kalah dari bangsa lain? Saya rasa tidak. Hanya saja, kita kurang kerja keras,” ujarnya.

Dengan pandangan kritis dan saran-sarannya, JK memberi pesan bahwa perubahan nyata dalam pendidikan Indonesia memerlukan pendekatan yang lebih mendalam dan terstruktur. Di luar kebijakan, diperlukan tekad dari semua pihak, baik pemerintah, guru, orang tua, hingga siswa, untuk mewujudkan pendidikan yang tidak hanya merdeka, tetapi juga berkualitas.

2. Kurikulim Merdeka dianggap memperlebar jarak antara pendidikan di kota dan daerah terpencil

Sejumlah siswa SDN Pondok Labu 14 Pagi menyimak materi dari guru mereka tentang Presiden Prabowo Subianto dan Wapres Gibran Rakabuming Raka di Jakarta, Selasa (22/10/2024). ANTARA FOTO/Reno Esnir/app/foc

Di tengah arus perubahan pendidikan di Indonesia, suara kritis dari berbagai pihak kerap memicu perdebatan. Salah satunya adalah kritik yang dilontarkan oleh Wakil Presiden ke-10, Jusuf Kalla, terhadap Program Merdeka Belajar yang menjadi andalan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim. Kritik JK ini turut direspons oleh Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, yang menilai kritik tersebut datang terlambat, mengingat masa kepemimpinan Nadiem akan segera berakhir.

Menurut P2G, masalah yang disoroti JK bukanlah hal baru. Bahkan, sejak tahun kedua Nadiem menjabat, P2G telah memperingatkan akan kesenjangan yang dirasakan di lapangan. Mereka mengkritik bahwa Nadiem jarang turun langsung ke daerah untuk bertemu dan mendengar langsung suara para pendidik.

"Kami sudah meminta sejak lama agar Nadiem lebih sering turun ke lapangan. Kondisi di lapangan itu berbeda, banyak guru menghadapi keterbatasan seperti akses internet dan listrik," ujar Salim dalam wawancara dengan IDN Times pada September lalu.

Salim menyoroti pentingnya memahami kondisi geografis dan demografis Indonesia yang beragam dalam merancang kebijakan pendidikan yang relevan. Salah satu contoh adalah Merdeka Belajar, yang diadopsi dari sistem pendidikan di Finlandia dan Swedia. JK mempertanyakan keefektifan program ini, mengingat Indonesia memiliki konteks sosial yang sangat berbeda dari negara-negara tersebut.

Menurut Salim, Indonesia telah mengalami 11 kali perubahan kurikulum sejak 1947 dan memiliki lebih dari 40 Menteri Pendidikan. Bagi Salim, perubahan kurikulum adalah hal wajar seiring perkembangan zaman, namun implementasinya yang tepat jauh lebih penting.

Meski mendukung adanya perubahan kurikulum, P2G menekankan bahwa guru harus mendapatkan pelatihan yang cukup untuk bisa menerapkan kebijakan baru dengan efektif. Salim juga menyoroti platform Merdeka Mengajar yang diluncurkan Nadiem, yang menurutnya tidak bisa diakses dengan baik di daerah-daerah terpencil karena keterbatasan koneksi internet dan listrik.

"Platform tunggal ini justru memperlebar kesenjangan antara guru di kota dan di daerah terpencil," tambahnya. Dengan berbagai tantangan ini, Salim menilai bahwa perjalanan pendidikan Indonesia masih memerlukan perhatian khusus untuk memastikan akses yang setara bagi semua guru dan siswa di seluruh negeri.

Pendidikan bukan sekadar kebijakan yang tertulis, tetapi juga bagaimana kebijakan itu dijalankan di lapangan. Dengan tantangan yang masih ada, diharapkan ke depan akan terjalin sinergi antara kebijakan dan praktik nyata yang dapat membawa perubahan positif bagi pendidikan Indonesia.

3. Kajian PISA bagi dunia pendidikan di Indonesia

Info grafis kajian PISA (Programme for International Student Assessment) dari OECD tahun 2022 dengan hasil negatif bagi dunia pendidikan di Indonesia. Info grafis IDN Times

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mempublikasi kajian PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2022 dengan hasil negatif bagi dunia pendidikan di Indonesia. 

PISA adalah sebuah program penilaian yang diselenggarakan oleh OECD untuk mengevaluasi sistem pendidikan di seluruh dunia dengan mengukur kemampuan siswa berusia 15 tahun dalam tiga bidang utama, yakni literasi membaca, matematika, dan sains.

Dalam penilaian terbaru PISA yang dirilis pada 2022, beberapa negara ASEAN menempati posisi yang bervariasi dalam kompetensi membaca, matematika, dan sains. Singapura menduduki posisi teratas di antara negara-negara ASEAN dan termasuk dalam peringkat tinggi global.

Negara ini menonjol dalam ketiga kompetensi tersebut berkat sistem pendidikan yang mendorong pemahaman mendalam dan keterampilan analitis siswa. Vietnam juga menunjukkan kinerja yang baik, terutama dalam matematika dan sains, dengan peringkat yang stabil dibandingkan penilaian sebelumnya.

Berikut adalah peringkat beberapa negara ASEAN berdasarkan skor rata-rata:

  • Singapura: Tertinggi di ASEAN dan menduduki posisi global dengan skor sekitar 559,7.
  • Vietnam: Menduduki peringkat ASEAN berikutnya dengan skor sekitar 467,7, menunjukkan performa yang cukup baik di kawasan ini.
  • Brunei: Memperoleh skor rata-rata 439,0, masih di bawah Vietnam namun relatif lebih baik dibandingkan sebagian besar negara ASEAN lainnya.
  • Malaysia: Mencapai skor rata-rata sekitar 424,7.
  • Thailand: Skor rata-ratanya adalah 394,0.
  • Indonesia: Berada di posisi bawah ASEAN dengan skor rata-rata 369,3.
  • Filipina: Terakhir di ASEAN dengan skor 352,7.


Skor ini mencerminkan perbedaan signifikan dalam kualitas pendidikan di kawasan ASEAN, dengan Singapura berada jauh di atas, sementara beberapa negara seperti Filipina dan Indonesia berada di bawah rata-rata.

4. Pertentangan di daerah dalam penerapan sistem zonasi sekolah

Aksi demo emak-emak di Kantor Disdikbud Balikpapan Kaltim, Senin (21/6/2021). (IDN Times/Hilmansyah)

Penerapan sistem Kurikulum Merdeka yang diharapkan menjadi solusi inovatif justru memicu polemik di kalangan masyarakat. Salah satu isu utama yang ramai diperbincangkan adalah sistem zonasi, terutama dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Di berbagai daerah, termasuk Balikpapan, Kalimantan Timur, kebijakan zonasi ini memicu kekhawatiran orang tua yang merasa sistem tersebut tidak adil.

Pada pertengahan 2021, ratusan ibu-ibu di Balikpapan memadati Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Balikpapan. Dengan membawa karton bertuliskan protes, mereka menuntut perubahan pada sistem penerimaan siswa baru. Karton-karton tersebut berisi pesan-pesan penuh kekecewaan, salah satunya bertuliskan, “Mau Masuk SMP Negeri??? Ndosah Belajar.” Pesan ini mencerminkan kegeraman mereka, seolah mengisyaratkan bahwa usaha belajar keras anak-anak seakan tak berarti di bawah sistem yang ada.

Megawati, salah satu orang tua yang hadir dalam aksi tersebut, menyuarakan keluhannya. Ia kecewa karena meski tinggal dekat dengan beberapa SMP di Balikpapan, anaknya tak diterima di sekolah-sekolah itu. "Anak saya daftar di tiga sekolah, tapi namanya tidak ada di daftar," ungkap Megawati dengan nada frustrasi. Menurutnya, perpanjangan masa pendaftaran hingga 25 Juni pun tidak memberikan solusi yang diharapkan, dan ia bersama orang tua lainnya berharap PPDB bisa diulang dari awal agar kesempatan anak-anak mereka tidak terbuang.

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Balikpapan tak tinggal diam. Namun, langkah yang diambil terasa terbatas. Pemkot Balikpapan tetap menolak pembukaan jalur prestasi dalam PPDB, bersikeras mempertahankan sistem zonasi, khususnya bagi sekolah yang telah mencapai kuota siswa di akhir pendaftaran. Disdikbud menawarkan solusi bagi orang tua yang merasa alamat mereka tidak terdaftar dengan tepat. Mereka bisa datang langsung ke sekolah untuk memastikan data titik koordinat rumah telah sesuai.

Selain itu, Disdikbud menyelenggarakan PPDB tahap kedua di beberapa SMP di Balikpapan, memprioritaskan siswa dengan nilai akademik tertinggi untuk mengisi sisa kuota. Sekolah-sekolah seperti SMP 1, SMP 2, dan SMP 12 membuka kesempatan bagi siswa yang berprestasi untuk dapat diterima meski tidak berada dalam zonasi utama.

Menanggapi persoalan jangka panjang, pemerintah daerah berencana untuk menambah fasilitas pendidikan. Mereka bekerja sama dengan pemerintah provinsi untuk merencanakan pembangunan SMP dan SMA di lahan bekas Puskib. Salah satu solusi lainnya adalah mengalihfungsikan lapangan tenis di kawasan Manuntung menjadi fasilitas sekolah.

Situasi PPDB di Balikpapan ini mencerminkan kompleksitas penerapan sistem zonasi di tengah keinginan orang tua untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak mereka. Bagi para orang tua, kebijakan ini terasa menantang dan sering kali mengundang ketidakpuasan. Di masa mendatang, mereka berharap pemerintah dapat lebih sensitif terhadap suara masyarakat serta memperbaiki sistem pendidikan agar lebih inklusif dan merata.

5. Viralnya kasus Supriyani antara penganiayaan murid atau kriminalisasi aparat

Guru honorer SD Negeri 4 Baito Supriyani bersiap menjalani persidangan di ruang sidang Pengadilan Negeri Andoolo, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Senin (28/10/2024). ANTARA FOTO/Jojon/aww.

Dunia pendidikan di Indonesia kerap diwarnai kasus-kasus kontroversial, mulai dari persoalan administratif hingga yang lebih serius, termasuk tindak pidana. Salah satu kasus terbaru yang mencuat adalah kasus Supriyani, seorang guru honorer di SDN 4 Baito, Desa Wonua Raya, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Kasus ini menarik perhatian banyak pihak karena melibatkan tuduhan penganiayaan terhadap seorang murid dan membuka perdebatan tentang hubungan antara guru, murid, dan hukum.

Supriyani, yang telah bertahun-tahun mengabdi sebagai guru honorer, dituduh menganiaya seorang murid berinisial MCD, seorang anak berusia enam tahun yang juga merupakan putra dari Aipda Wibowo Hasyim, Kanit Intelkam Polsek Baito.

Kasus ini pertama kali mencuat pada akhir April 2024, ketika ibu MCD, Nurfitriana, menemukan luka memar di paha anaknya. Saat ditanya, MCD awalnya mengatakan bahwa luka tersebut diakibatkan karena ia terjatuh di sawah. Namun, beberapa hari kemudian, saat ditanya oleh ayahnya, MCD mengaku bahwa luka itu disebabkan oleh pukulan dari “Mama Alfa” - panggilan akrab para murid untuk Supriyani.

Mendengar pengakuan tersebut, keluarga MCD langsung melapor ke Polsek Baito untuk mengusut dugaan penganiayaan ini. Laporan resmi dibuat pada 26 April 2024, dengan harapan pihak kepolisian dapat menyelidiki kebenaran kasus ini dan memberikan keadilan bagi anak mereka.

Kapolres Konawe Selatan, AKBP Febry Sam, menjelaskan bahwa pihak kepolisian awalnya mencoba mengedepankan pendekatan kekeluargaan untuk menyelesaikan kasus ini. Mediasi diadakan pada hari yang sama ketika laporan dibuat, dihadiri oleh keluarga MCD, Supriyani, dan Kapolsek Baito. Namun, mediasi tersebut tidak menemukan titik temu. Supriyani dengan tegas membantah tuduhan tersebut dan meminta bukti konkret atas dugaan penganiayaan.

Ketidaksepakatan dalam mediasi menimbulkan kebuntuan. Ketika waktu terus berjalan tanpa perkembangan yang berarti, keluarga MCD mulai merasa frustrasi. Pada bulan Juni 2024, setelah tiga bulan berlalu, keluarga kembali mempertanyakan tindak lanjut dari laporan mereka. Desakan dari pihak keluarga mendorong penyidik Polsek Baito untuk membawa kasus ini ke Polres Konawe Selatan dan meningkatkan statusnya menjadi penyidikan.

Kasus ini kemudian memasuki ranah yang lebih kompleks, menimbulkan spekulasi dan isu kriminalisasi yang diduga melibatkan aparat kepolisian. Setelah melalui proses panjang, kasus tersebut akhirnya mencapai persidangan di Pengadilan Negeri Andoolo, Konawe Selatan. Situasi ini memunculkan sorotan terhadap posisi guru dalam mendidik siswa di tengah aturan dan tekanan sosial yang sering kali sulit dihadapi.

Kasus Supriyani menjadi potret dilematis bagi dunia pendidikan Indonesia, yang masih dihadapkan pada persoalan hubungan antara guru dan siswa serta batas-batas tindakan disiplin di sekolah. Banyak yang bertanya-tanya, di tengah tugas mulia para guru untuk mendidik, sejauh mana mereka dapat merasa aman dari tuduhan yang bisa muncul kapan saja.

Bagi Supriyani, kasus ini tidak hanya menjadi ujian profesionalitasnya sebagai guru, tetapi juga perjalanan pribadi yang penuh tekanan. Sementara itu, bagi masyarakat luas, kasus ini menggugah kesadaran akan pentingnya pendekatan yang bijaksana dalam menyelesaikan persoalan di lingkungan sekolah, demi menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih aman dan adil bagi semua pihak.

6. Dukungan kepada kasus dihadapi guru honorer di Sulawesi Tenggara

Guru SD 011 Balikpapan Tengah, Abdul Rahmat, Sabtu (2/11/2024). (IDN Times/Erik Alfian)

Kasus dugaan penganiayaan yang menjerat seorang guru honorer di Konawe Selatan telah memicu keresahan di kalangan tenaga pengajar di seluruh Indonesia. Tuduhan kriminalisasi terhadap guru semakin memperkuat kekhawatiran bahwa tindakan mendisiplinkan siswa bisa berujung pada masalah hukum. Kekhawatiran ini dirasakan oleh banyak guru, termasuk Abdul Rahmat, seorang guru di SD 011 Balikpapan.

“Kasus ini membuat kami khawatir bahwa tindakan mendisiplinkan anak bisa dianggap sebagai kekerasan,” ujarnya pada Sabtu (2/11/2024).

Menurut Rahmat, ketakutan semacam ini dapat memengaruhi keberanian guru dalam mendidik dan mendisiplinkan siswa, yang pada akhirnya dapat berdampak pada kualitas pendidikan.

Rahmat menekankan pentingnya komunikasi yang baik antara pihak sekolah dan orang tua, seperti yang diatur dalam Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan. Namun, ia menyayangkan bahwa sosialisasi mengenai peraturan ini masih minim. "Pemahaman masyarakat terhadap kekerasan pada anak dan dukungan bagi guru harus diperkuat. Dialog terbuka antara sekolah, orang tua, dan siswa sangat penting agar disiplin bisa diterapkan secara konstruktif," jelasnya.

Dalam menjalankan disiplin, Rahmat memberikan contoh pendekatan yang lebih konstruktif. Ia lebih memilih memberi konsekuensi yang relevan, seperti tugas tambahan atau mengganti barang yang dirusak, ketimbang memberikan hukuman fisik. “Ini bukan tentang menghukum, tetapi mengajarkan tanggung jawab,” tambahnya.

Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Balikpapan, Puguh Birowo, juga menyuarakan dukungan terhadap perlindungan hukum bagi guru. PGRI menginisiasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Guru, yang menurut Puguh penting agar para pengajar bisa menjalankan tugas tanpa kekhawatiran akan konsekuensi hukum yang berlebihan. “Masih ada oknum guru yang melanggar, tapi jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan ribuan guru yang menjalankan tugas dengan baik,” ujarnya.

Puguh juga menyoroti pentingnya peran orang tua dalam mendukung pendidikan anak. “Sekolah menyediakan fasilitas, tetapi pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara sekolah dan orang tua,” katanya. Ia menjelaskan bahwa perbedaan persepsi antara guru dan orang tua sering kali menjadi penyebab konflik, terutama terkait kedisiplinan. "Orang tua kadang menganggap tindakan guru terlalu keras, padahal guru hanya berupaya mendidik dengan cara yang baik," tambahnya.

Sebagai langkah pencegahan, PGRI mengimbau guru agar lebih berhati-hati dalam mendisiplinkan siswa. Puguh menjelaskan bahwa PGRI telah bekerja sama dengan Polri melalui nota kesepahaman untuk menyelesaikan konflik melalui mediasi. “Kami berharap masalah antara guru dan siswa dapat diselesaikan secara internal dulu, tanpa langsung melibatkan hukum,” jelasnya.

Puguh berharap, baik guru maupun orang tua, dapat saling menghargai dan mengutamakan dialog serta mediasi dalam menyelesaikan permasalahan. “Guru memiliki peran penting dalam pendidikan, meskipun berbagai tantangan menghadang. Tugas mereka tak tergantikan, dan kita perlu menghargai serta mendukung mereka dalam mengemban tugas mulia ini,” tutupnya.

Kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya menjaga keseimbangan dalam dunia pendidikan: antara hak guru untuk mendidik dengan tenang dan hak anak untuk mendapat perlindungan. Di tengah tantangan yang terus berkembang, dukungan dari masyarakat, pemerintah, dan kebijakan yang kuat sangatlah dibutuhkan agar guru dapat tetap menjalankan tugasnya dengan penuh dedikasi.

7. Kompetensi dan kualitas guru di Kabupaten Langkat

Ilustrasi guru dan siswa SD Negeri Alue Siron melakukan aktivitas belajar mengajar di Balai Pengajian Nurul Mutaalimin Desa Alue Siron, Kecamatan Tadu Raya, Nagan Raya, Aceh, Kamis (17/10/2024). (ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/tom)

Kasus dugaan manipulasi dalam penerimaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di Kabupaten Langkat, Sumatra Utara, memicu pertanyaan serius mengenai integritas dan kompetensi dalam proses seleksi guru di Indonesia. Kontroversi ini bermula ketika Pemkab Langkat menggelar Seleksi Kompetensi Teknis Tambahan (SKTT) secara mendadak, tanpa pengumuman resmi, yang hasilnya mengejutkan banyak peserta seleksi.

Salah satu guru honorer, Dinda Nurfan, yang memperoleh skor tertinggi dalam tes CAT dengan nilai 601, justru dinyatakan tidak lulus. Alasannya, ia tidak memenuhi nilai SKTT, sebuah tes yang, menurut Dinda, bahkan tidak pernah ia ikuti. Ketidakjelasan ini membuat Dinda dan beberapa guru honorer lainnya curiga akan adanya kejanggalan dalam proses seleksi tersebut.

Menguak dugaan kecurangan ini, sejumlah guru melakukan penelusuran lebih lanjut. Namun, upaya mereka untuk mencari keadilan justru menghadapi tantangan. Salah satu guru yang melaporkan kasus ini, yang berinisial MR, dilaporkan balik oleh Kepala Dinas Pendidikan Langkat dengan tuduhan pemalsuan.

“Dugaan kriminalisasi terhadap MR ini dilakukan secara terang-terangan,” tegas Irvan Saputra, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan yang menjadi kuasa hukum MR.

Menurut pengakuan MR, ia mendapat tekanan dari Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Langkat. Merasa terintimidasi, MR melaporkan dugaan intimidasi tersebut ke Komisi Nasional Perempuan dan Komnas Hak Asasi Manusia pada Senin (21/10/2024). Selain MR, sejumlah guru honorer lainnya juga mengalami tekanan serupa.

Irvan menjelaskan bahwa Kepala Dinas Pendidikan Langkat, berinisial SL, yang merupakan pihak yang melaporkan balik MR, juga menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi seleksi PPPK Langkat. “MR dilaporkan atas dugaan tindak pidana pemalsuan,” ungkap Irvan pada Senin (21/10/2024), seraya menyebut bahwa kasus ini telah menarik perhatian publik.

Perjuangan para guru honorer tidak berhenti di sini. Mereka terus mengawal proses hukum terkait dugaan kecurangan dan tindak pidana korupsi dalam seleksi PPPK Langkat tahun 2023. Kasus ini bahkan sampai ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, di mana 103 guru honorer mengajukan gugatan atas ketidakadilan yang mereka alami. PTUN Medan mengabulkan gugatan mereka, namun Pemkab Langkat kini tengah mengajukan banding atas putusan tersebut.

“Sampai saat ini, ada lima tersangka korupsi yang belum ditahan oleh pihak kepolisian,” tambah Irvan, menyoroti lambannya proses penegakan hukum terhadap kasus ini. Di tengah ketidakpastian ini, para guru honorer yang selama ini setia mengabdi demi pendidikan tetap berjuang agar proses seleksi yang adil dan transparan dapat terwujud, bukan hanya untuk mereka tetapi untuk generasi pendidik selanjutnya.

8. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah akan meninjau kembali Kurikulum Merdeka

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti (kanan) menyampaikan materi saat mengajar di SDN 59 Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (1/11/2024). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/foc

Di tengah polemik Kurikulum Merdeka yang terus bergulir, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, mengungkapkan rencana peninjauan kembali kurikulum yang diperkenalkan oleh pendahulunya, Nadiem Anwar Makarim. Meski kurikulum ini diperkenalkan sebagai inovasi untuk meningkatkan fleksibilitas dan kemandirian belajar, implementasinya di lapangan belum sepenuhnya merata dan masih menimbulkan berbagai pro dan kontra.

“Kami akan mengkaji ulang. Kurikulum ini kan masih baru, walaupun sudah dimandatkan untuk diterapkan di seluruh satuan pendidikan, pada kenyataannya belum semua sekolah dapat menerapkannya dengan optimal,” ujar Abdul Mu'ti dalam wawancaranya di Gedung Kemendikbudristek, Jakarta, Senin (21/10/2024).

Pendekatan Abdul Mu’ti terhadap peninjauan kurikulum ini tampak hati-hati. Dia menekankan pentingnya mengambil langkah-langkah yang terukur dan menghindari kebijakan yang terburu-buru. “Kami tidak akan mengambil kebijakan secara tergesa-gesa, apalagi ketika ada berbagai polemik di masyarakat yang menunjukkan bahwa Kurikulum Merdeka ini belum sepenuhnya diterima atau dipahami,” tambahnya.

Abdul Mu’ti juga menyoroti aturan sistem zonasi yang diperkenalkan beberapa tahun lalu sebagai upaya pemerataan akses pendidikan. Meski bertujuan baik, penerapan sistem zonasi kerap mendapat tanggapan beragam dari masyarakat, terutama terkait dengan akses siswa ke sekolah-sekolah favorit di luar zonasi mereka.

“Aturan zonasi ini juga akan kami tinjau. Setiap kebijakan memiliki kelebihan dan kekurangan, dan kami perlu melihat ini dari berbagai sisi agar keputusan yang diambil nanti dapat bermanfaat untuk seluruh elemen pendidikan,” ungkap Abdul Mu’ti.

Kurikulum Merdeka sejatinya membawa visi baru dalam sistem pendidikan Indonesia. Dengan pendekatan yang menekankan fleksibilitas dan kemandirian belajar, kurikulum ini bertujuan untuk memberi ruang bagi siswa dalam mengeksplorasi minat dan bakat mereka secara lebih mendalam. Namun, hambatan dalam penerapan masih terjadi, terutama bagi sekolah-sekolah yang belum siap dari segi fasilitas atau tenaga pendidik.

Bagi Abdul Mu’ti, tantangan ini menuntut solusi yang komprehensif. "Kami ingin memastikan bahwa perubahan ini benar-benar bermanfaat dan siap dijalankan di seluruh satuan pendidikan. Kebijakan ini harus ditinjau secara menyeluruh, bukan hanya sebagai inovasi semata, tapi juga dari aspek kesiapan sekolah dan dukungan masyarakat," ujarnya penuh tekad.

Keputusan Abdul Mu’ti untuk mengkaji ulang Kurikulum Merdeka dan aturan zonasi menunjukkan komitmennya terhadap pendidikan yang adil dan berkualitas. Baginya, perubahan bukan hanya soal penerapan, tetapi juga kesiapan semua pihak yang terlibat, mulai dari tenaga pendidik, fasilitas, hingga dukungan dari orang tua dan masyarakat.

9. Peningkatan kompetensi para guru di Indonesia

Prof. Bohari Yusuf, Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Mulawarman (FMIPA Unmul) di Samarinda. Foto istimewa

Penerapan Kurikulum Merdeka menjadi salah satu langkah ambisius dalam reformasi pendidikan Indonesia. Prof. Bohari Yusuf, Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Mulawarman (FMIPA Unmul) di Samarinda, percaya bahwa kurikulum ini memiliki potensi besar, terutama untuk memajukan pendidikan yang lebih holistik di Indonesia. Pandangan Prof. Bohari selaras dengan gagasan Nadiem Makarim, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, yang menggagas konsep ini.

Menurut Bohari, pendidikan seharusnya tidak hanya berfokus pada satu bidang tertentu, melainkan juga memperhatikan bakat dan minat siswa. “Mas Menteri (Nadiem Makarim) sudah menjelaskan latar belakangnya. Pendidikan itu holistik, kita tidak bisa hanya menguasai satu bidang saja. Pendidikan juga harus disesuaikan dengan konsep bakat dan minat,” jelasnya.

Namun, Bohari menekankan bahwa keberhasilan Kurikulum Merdeka memerlukan peningkatan kualitas dan kompetensi guru dari tingkat SD hingga perguruan tinggi. Ia mengusulkan agar pemerintah memberikan tunjangan khusus bagi guru berprestasi yang bersedia mengajar di daerah terpencil.

"Peningkatan kesejahteraan guru harus menjadi perhatian. Bagaimana mungkin seorang guru bisa meningkatkan kualitas pendidikan muridnya bila mereka sendiri belum sejahtera," paparnya.

Ia percaya bahwa kesejahteraan guru akan mendorong mereka untuk terus meningkatkan kompetensi, terutama di era milenial dan Gen Z yang menuntut adaptasi terhadap teknologi dan media sosial. Menurutnya, inilah tantangan utama pendidikan Indonesia saat ini: ketimpangan kualitas antara guru di perkotaan dan pedesaan. Ketimpangan ini berdampak langsung pada kualitas murid di berbagai daerah.

“Ketimpangan ini akhirnya memunculkan manipulasi data, seolah-olah kualitas pendidikan di kota dan di daerah terpencil sama rata,” ungkap Bohari.

Ketimpangan ini terlihat jelas dalam laporan PISA yang dirilis OECD pada 2022. Laporan tersebut menempatkan kualitas pendidikan Indonesia di posisi yang jauh tertinggal dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. "Jangan dibandingkan dengan Singapura, peringkat kita jauh tertinggal. Bahkan dibandingkan Vietnam pun kita sudah ketinggalan. Kita ini mungkin setara dengan Laos," ujarnya, mengungkapkan keprihatinannya.

Dengan dilantiknya Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah yang baru, Bohari berharap bahwa sistem Kurikulum Merdeka tetap dilanjutkan, tetapi dengan perbaikan di berbagai aspek yang masih kurang. Ia menekankan bahwa kurikulum ini telah dirancang oleh para ahli pendidikan untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia.

“Sistem yang ada ini cukup bagus, dilanjutkan saja, dan yang kurang diperbaiki serta disempurnakan,” katanya penuh harap.

Selain itu, Bohari juga menyoroti pentingnya pembangunan infrastruktur pendidikan di berbagai daerah. Menurutnya, kemajuan pendidikan tidak hanya ditentukan oleh kurikulum dan kompetensi guru, tetapi juga oleh fasilitas yang memadai untuk menunjang proses belajar-mengajar. Dengan dukungan yang tepat, ia yakin Kurikulum Merdeka dapat menjadi fondasi bagi kemajuan pendidikan Indonesia di masa depan.

Kolaborasi Hyperlokal PIC Kaltim: Erik Alfian (Balikpapan), M Nasir (NTB), Prayugo Utomo (Medan), Ashrawi Muin (Makassar), M Hilmansyah (Balikpapan), Tama Wiguna (Lampung), dan Azziz Z (Bandung).

Editorial Team