Ratusan nelayan kerang darah di Muara Badak, Kukar, menggelar demo di depan kantor PHSS, 18 Juni 2025 lalu. (Dok. Koalisi Peduli Nelayan Kerang Darah Muara Badak )
Terkait pemulihan lingkungan dan ganti rugi kepada nelayan terdampak, Rizal menyebut prosesnya masih berjalan. “KLH bersama BPLH, pemerintah daerah, dan para ahli sedang melakukan verifikasi lanjutan serta proses sengketa lingkungan. Semua dilakukan sesuai prosedur dan peraturan yang berlaku,” tutupnya.
Sebagai informasi, pencemaran di perairan Muara Badak, Kabupaten Kukar, yang terjadi pada akhir 2024 kemarin menyebabkan kematian masal kerang darah milik nelayan. Tak tanggung-tanggung, kerugian akibat kematian masal kerang milik nelayan ini mencapai hampir Rp69 miliar.
Kasus pencemaran ini kemudian berlanjut ke ranah hukum. Warga yang terdampak pencemaran melaporkan PT PHSS, yang diduga jadi biang pencemaran ke Polda Kaltim pada awal Juni 2025 silam.
PT Pertamina Hulu Indonesia (PHI) menyatakan keprihatinan atas gagal panen kerang darah yang terjadi di Kecamatan Muara Badak, Kutai Kartanegara, terutama di Desa Tanjung Limau. Perusahaan mengaku memahami kesulitan masyarakat terdampak dan telah menyalurkan bantuan bersama Dinas Sosial Kutai Kartanegara pada Maret lalu.
Hingga kini, PHI masih menunggu keputusan resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup terkait hasil investigasi dugaan pencemaran laut yang dilakukan Tim Penegakan Hukum pada Mei 2025. PHI menegaskan bahwa seluruh kegiatan operasional migas dijalankan sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku.
Manajer Comrel & CID PHI, Dony Indrawan, menyebut perusahaan siap bekerja sama dengan pemerintah dan menghormati keputusan KLH sebagai bentuk komitmen untuk terus meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungan di wilayah operasinya.