Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Masyarakat adat Desa Juhu, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, sedang beristirahat di perjalanan di tengah pegunungan Meratus. (Abdul Dunduk to IDN Times)
Masyarakat adat Desa Juhu, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, sedang beristirahat di perjalanan di tengah pegunungan Meratus. (Abdul Dunduk to IDN Times)

Intinya sih...

  • Masyarakat ada Dayak Meratus, Kabupaten HST, Kalsel, harus berjalan kaki selama dua hari satu malam untuk keluar desa, harga semen mencapai Rp1,5 juta per sak.

  • Harapan warga terwujudnya pembangunan jalan untuk meningkatkan perekonomian dan akses kebutuhan pokok.

  • Anggota DPR RI HM Rofiqi merespons keluhan warga Adat Dayak Meratus di HST, menyatakan bahwa mereka berhak mendapatkan akses jalan yang layak.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

HST, IDN Times - Selama lebih dari dua abad, masyarakat adat Dayak yang tinggal di pedalaman Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan (Kalsel), hidup dalam keterisolasian. Akses satu-satunya menuju desa mereka hanyalah jalan setapak yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki selama dua hari satu malam untuk mencapai titik kendaraan bermotor terdekat.

Kondisi ini dialami warga di Desa Juhu, serta desa tetangganya Batu Perahu dan Aing Bantai, yang berada di Kecamatan Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST). Akses kendaraan terakhir hanya sampai Dusun Kiyu, Desa Hinas Kiri, yang juga menjadi titik awal pendakian menuju Gunung Halau-Halau (1.901 mdpl), puncak tertinggi di Kalimantan Selatan.

“Desa kami sudah ada sejak tahun 1814, tapi sampai sekarang jalannya masih jalan setapak,” ungkap Kepala Desa Juhu, Abdul Dunduk, saat ditemui wartawan di Martapura, sepulang menghadiri kegiatan di Pemprov Kalsel, Jumat (17/10/2025).

1. Perjuangan jalan kaki dua hari, harga semen Rp1,5 juta

Masyarakat adat Desa Aing Bantai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, saat berjalan kaki di tengah pegunungan Meratus menuju kota. (Dok. Jelita untuk IDN Times)

Menurut Dunduk, lambatnya pembangunan infrastruktur disebabkan oleh status kawasan yang masuk dalam hutan lindung, sehingga pemerintah daerah tidak bisa melaksanakan program pembangunan.
“Yang kami dengar, hutan lindung tidak boleh ada pembangunan,” ujarnya, berharap pemerintah pusat bisa memberi solusi.

Desa Juhu dihuni oleh 335 jiwa dari 84 kepala keluarga (KK). Setiap kali warga ke luar desa untuk menjual hasil alam atau mengurus administrasi, mereka harus berjalan kaki menempuh perjalanan berat selama dua hari satu malam.

“Kalau musim hujan, jalannya licin dan berlumpur. Pacet sudah jadi teman perjalanan,” tutur Dunduk.
Ia menambahkan, warga biasanya menginap semalam di dusun tetangga sebelum melanjutkan perjalanan.

2. Potensi pertanian dan harapan warga

Selain turun naik gunung di darat, warga Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, juga harus menyeberangi sungai dalam perjalanannya menuju kota. (Dok. Abdul Dunduk untuk IND Times)

Hal serupa disampaikan Kepala Desa Aing Bantai, Jelita. Ia mengatakan, sulitnya akses jalan membuat harga barang kebutuhan pokok di desanya melambung tinggi.

“Semen saja bisa sampai Rp1,5 juta per sak, karena harus dipikul jalan kaki. Upah memikul Rp25 ribu per kilogram, belum termasuk ongkos dari pasar ke titik akhir kendaraan,” jelasnya.

Baik Dunduk maupun Jelita sepakat, harapan terbesar warga Meratus adalah pembangunan jalan penghubung dari Desa Hinas Kiri menuju Batu Perahu, Juhu, dan Aing Bantai.

“Harapan kami tidak muluk-muluk, hanya ingin dibangunkan jalan yang bisa dilalui sepeda motor,” ujar Dunduk.

Ia mencontohkan proyek Jalan Bypass Banjarbaru–Batulicin yang juga melintasi kawasan hutan Meratus. Menurutnya, proyek tersebut bisa menjadi acuan bahwa pembangunan tetap bisa dilakukan tanpa merusak lingkungan.

Dunduk yakin, jika jalan terbangun, perekonomian warga akan meningkat pesat. Kawasan tersebut memiliki potensi hasil alam yang besar seperti kayu manis, kakao, kopi, dan jengkol.

“Selama ini kami harus jalan jauh membawa hasil panen dan harganya murah. Kalau ada jalan, waktu tempuh berkurang dan ekonomi kami pasti lebih baik,” harapnya.

3. Direspons Anggota DPR RI HM Rofiqi

Anggota Komisi XIII DPR RI, Muhammad Rofiqi. (Hendra Lianor/IDN Times)

Menanggapi keluhan tersebut, Anggota DPR RI Dapil 1 Kalsel, HM Rofiqi, menyatakan siap memperjuangkan hak masyarakat adat Meratus untuk mendapatkan akses jalan yang layak.

“Mereka hidup turun-temurun di sana dan menjaga alam tetap lestari. Saya rasa mereka berhak mendapatkan akses jalan yang nyaman, bukan malah dibiarkan terisolasi,” ujarnya, Minggu (19/10/2025).

Rofiqi menegaskan, jika kendala pembangunan karena status hutan lindung, maka hal ini akan dibahas bersama komisi dan kementerian terkait agar ditemukan jalan keluarnya.

“Kalau perlu, perwakilan kepala desa akan kami ajak langsung ke kementerian untuk menyampaikan aspirasi,” tegasnya.

Editorial Team