Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi tentang Program Makan Bergisi Gratis (MBG) jadi andalan pemerintah..
Ilustrasi tentang Program Makan Bergizi Gratis (MBG) jadi andalan pemerintah, Senin (6/10/2025). Ilustrasi IDN Times

Bandung, IDN Times – Sebuah video dari dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Cipatat, Bandung Barat, membuat heboh jagat maya pada Jumat (3/10/2025). Dalam rekaman berdurasi 1 menit 41 detik itu, dua pria terlihat mencuci nampan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di sebuah bak air besar berwarna keruh.

Salah satu dari mereka mengenakan kaus polo bertuliskan SPPG. Dengan gerakan cepat, ia mencelupkan nampan ke air yang tidak mengalir, lalu menumpuknya begitu saja tanpa bilasan air bersih.

Video itu segera menuai amarah publik. Warganet menuding dapur penyedia makanan bantuan pemerintah itu abai terhadap kebersihan. Tak lama, dapur MBG Cipatat pun ditutup karena dinilai melanggar standar sanitasi.

Kemarahan publik tak berhenti di situ. Dalam beberapa pekan terakhir, sejumlah daerah dilaporkan mengalami kasus keracunan massal setelah siswa menyantap menu MBG. Rangkaian kejadian ini memunculkan pertanyaan besar: seberapa siap pemerintah menjalankan program makan bergizi gratis yang digadang-gadang Presiden Prabowo Subianto sebagai proyek andalan pengentasan gizi buruk itu?

1. Pemerintah meminta daerah mempermudah SLHS untuk SPPG

Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin dalam pidato intervensi per negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dalam sesi pertemuan tingkat tinggi untuk pencegahan dan pengawasan penyakit tidak menular dan promosi kesehatan mental dan kesejahteraan warga, di New York, Amerika Serikat, Kamis (25/9/2025) (IDN Times/Uni Lubis)

Dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI di Jakarta Pusat, Rabu (1/10/2025), Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengakui masih banyak dapur SPPG belum memenuhi syarat kelayakan. Alih-alih memperbaiki kualitas dapur MBG, ia justru mendesak pemerintah daerah mempermudah penerbitan Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) bagi seluruh penyelenggara program.

“SLHS ini memang diterbitkan oleh pemerintah daerah, melalui kepala dinas kesehatan. Sertifikat ini wajib dimiliki setiap institusi yang memproduksi makanan siap saji,” ujarnya,

Menurut Budi, penyederhanaan prosedur penerbitan SLHS penting agar ribuan SPPG di seluruh Indonesia segera memiliki sertifikat tersebut. “Kami sudah berkoordinasi agar prosesnya dipermudah. Dalam sepekan terakhir sudah ada langkah penyederhanaan supaya ribuan SPPG bisa segera mendapatkan SLHS,” katanya.

Ia menambahkan, proses sertifikasi akan dilakukan oleh suku dinas kesehatan di tingkat kabupaten dan kota. “Saya sudah rapat dengan Pak Tito (Mendagri) agar seluruh dinas kesehatan daerah mempercepat penerbitan sertifikat ini,” ujar Budi.

Program Makan Bergizi Gratis semula diharapkan menjadi solusi untuk memperbaiki gizi anak Indonesia. Namun, rentetan kasus keracunan dan dapur-dapur yang tak higienis mulai menodai citra program ambisius tersebut.

2. Ribuan siswa dilaporkan keracunan MBG

Ratusan siswa di Timor Tengah Selatan (TTS), NTT, mengalami keracunan MBG. (Dok Polres TTS)

Pemerintah menggenjot realisasi anggaran MBG sebesar Rp20 triliun, disalurkan melalui 13 ribu SPPG kepada 30 juta penerima. Nilai Rp20 triliun ini sudah setara 18,3 persen dari total pagu anggaran MBG dalam APBN 2025 sebesar Rp71 triliun. Namun dalam sepekan terakhir terakhir, kabar tentang siswa-siswa keracunan setelah memakan makanan MBG menyebar cepat. Dari Jakarta Timur hingga pelosok Garut, dari kota besar hingga desa, angka korban terus merambat naik. 6.457 siswa, menurut catatan resmi Kepala BGN Dadan Hindayana sepanjang periode 6 Januari hingga 30 September 2025.

Angka-angka yang seharusnya membuat jantung berdegup itu mengalir seperti statistik biasa: puluhan kasus di Pasar Rebo, Jakarta Timur. Puluhan lagi di Kadungora, Garut. Dan di berbagai daerah lain, yang mungkin belum sempat tercatat.

Di SDN 2 Sukabumi, Kecamatan Sukabumi, Bandar Lampung, kekhawatiran itu punya wajah. Yuli Agustina masih ingat hari ketika putrinya, Alifa Febrial, murid kelas 1A, pulang sekolah sambil memegangi perutnya. Hari itu, Selasa. Menu MBG yang disajikan adalah rolade dan sayur sawi.

“Awalnya dia ngeluh sakit perut. Saya kira masuk angin biasa,” kata Yuli, saat ditemui di depan gerbang sekolah, Rabu (3/9/2025). Tapi keluhan itu tak berhenti sampai malam. Alifa juga mulai merasa pusing. Malam harinya, Yuli membawanya ke Puskesmas Rajabasa Indah. Diagnosa awal: keracunan makanan. Alifa dirawat sehari penuh.

Sekolah memberi izin libur, tapi tak ada guru atau pihak sekolah yang datang menjenguk. “Libur iya, tapi menjenguk tidak ada,” ujar Yuli, pelan.

Alifa bukan satu-satunya. Di hari yang sama, menurut Yuli, dua siswa lain dari kelas 1 juga mengalami keluhan serupa. Satu dirawat di RS Urip Sumoharjo, satu lagi—anaknya—di puskesmas. Dari kelas 4, empat siswa ikut terdampak.

3. Puluhan siswa di Kalbar turut pula keracunan MBG

Ilustrasi tentang Program Makan Bersama (MBG) jadi andalan pemerintah, Senin (6/10/2025).

Persoalan keracunan MBG dalam pekan yang sama pun terjadi di Kalimantan Barat. Puluhan siswa SD Negeri 12 Benua Kayong, Kecamatan Benua Kayong, Kabupaten Ketapang, diduga mengalami keracunan setelah menyantap menu MBG pada Selasa (23/9/2025).

Awalnya, beberapa siswa mengeluh sakit perut dan muntah tak lama setelah makan siang yang disediakan oleh pihak penyelenggara MBG. Namun, jumlah siswa yang mengalami gejala terus bertambah hingga mencapai puluhan orang. Ciri-cirinya hampir sama seperti mengeluhkan sakit perut hingga muntah.

“Pihak puskesmas langsung datang ke sekolah dan membawa anak-anak ke puskesmas. Karena ramai, akhirnya mereka dirujuk ke RSUD Agoesdjam atas arahan tenaga medis,” ujar Kepala Sekolah SDN 12 Benua Kayong, Dewi Hardina Febriani.

Para siswa langsung memperoleh perawatan di RSUD Agoesdjam Ketapang setelah sebelumnya mendapat penanganan awal di puskesmas.

Menu makan siang yang dikonsumsi para siswa terdiri dari ikan filet, sayur oseng, tahu goreng, jeruk, dan nasi putih. Hingga kini, belum dapat dipastikan makanan mana yang menjadi penyebab utama keracunan. Namun, gejala serupa dialami hampir semua siswa yang menyantap menu tersebut.

Pihak RSUD Agoesdjam Ketapang menyebut sebagian siswa mulai membaik, meski beberapa masih mengeluhkan sakit perut dan lemas. Observasi dan perawatan intensif masih terus dilakukan hingga kondisi seluruh siswa dinyatakan pulih.

4. Standarisasi kualitas SPPG yang masih menjadi pertanyaan

Puluhan siswa di Ketapang keracunan MBG. (IDN Times/Istimewa).

Fakta baru terungkap usai kasus belasan siswa SDN 12 Benua Kayong, Kabupaten Ketapang ini viral diduga keracunan setelah menyantap menu MBG. Ternyata, sejumlah dapur penyedia makanan MBG di Ketapang belum memiliki sertifikat halal.

Kepala Satgas MBG Ketapang, Rajiansyah, mengungkapkan hasil pengawasan menunjukkan masih ada beberapa Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang beroperasi tanpa dokumen wajib tersebut.

“Temuan ini tentu menjadi perhatian serius, karena menyangkut standar keamanan dan kualitas makanan yang disajikan,” ujarnya.

Temuan itu memunculkan pertanyaan besar terkait lemahnya pengawasan pemerintah terhadap penyedia makanan dalam program MBG.

Kepala Regional MBG Kalbar, Agus Kurniawi, menyebutkan pihaknya langsung menutup sementara SPPG yang diduga menjadi sumber makanan keracunan usai insiden menu ikan hiu viral di media sosial.
“Kami hentikan sementara operasional dapur sampai proses investigasi selesai. Hari ini tidak ada distribusi makanan dari dapur tersebut,” kata Agus, Rabu (24/9/2025).

Investigasi akan melibatkan unsur Pemerintah Kabupaten Ketapang, Polres Ketapang, Dinas Kesehatan (Dinkes), dan BPOM Ketapang.
Agus menambahkan, menu ikan hiu filet saus tomat yang diduga menyebabkan siswa muntah dan sesak napas sudah dikirim untuk diuji laboratorium. Menu tersebut terdiri dari nasi putih, nugget ikan hiu filet saus tomat, tahu goreng, oseng kol-wortel, dan potongan melon.

“Kami menunggu hasil laboratorium dan rekomendasi dari tim investigasi untuk menentukan apakah dapur tersebut bisa kembali beroperasi,” tegasnya.

Yayasan Adinda Kurnia Ilahi, selaku pengelola dapur MBG di Ketapang yang menyediakan menu ikan hiu, menyampaikan permohonan maaf atas insiden ini.

“Pengelola dapur kami ikut mengawal langsung siswa yang diduga keracunan di rumah sakit. Kami bertanggung jawab atas peristiwa ini,” ujar Hefni Maulana, pengurus yayasan.

Meski demikian, ia menolak bila dianggap sepenuhnya bersalah. Pasalnya dari 3.474 paket yang didistribusikan ke 20 sekolah, hanya satu sekolah yang melaporkan kasus keracunan dengan 16 siswa terdampak.

“Kalau memang makanannya beracun, pasti semua sekolah yang menerima paket itu juga mengalami hal yang sama. Faktanya, hanya satu sekolah yang terdampak,” tegas Hefni sembari meminta seluruh pihak menunggu hasil pemeriksaan resmi dari Dinas Kesehatan dan BPOM.

5. Keteledoran SPPG sehingga ompreng MBG tercemar limbah

Tumpukan menu MBG yang disajikan kepada para siswa. IDN Times/Riyanto.

Permasalahan SPPG di Provinsi Banten sempat viral saat video menampilkan tumpukan food tray atau ompreng Program MBG tercampur air limbah viral di media sosial. Peristiwa itu diketahui terjadi di dapur SPPG Asem 1, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak, yang dikelola oleh Yayasan Sohibul Muslimin.

Kepala SPPG Asem 1, Didin Falahudin, membenarkan kejadian tersebut. Ia menjelaskan, air limbah bekas cuci peralatan makan menggenangi tumpukan ompreng MBG akibat banjir yang melanda area dapur.
“Secara resmi kami sudah membuat laporan klarifikasi terkait hal itu,” ujar Didin kepada wartawan, Senin (29/9/2025).

Didin menambahkan, pihaknya segera berkoordinasi dengan koordinator wilayah (korwil) untuk menindaklanjuti insiden tersebut. Evaluasi juga akan dilakukan agar kejadian serupa tidak terulang.
“Akan saya komunikasikan juga kepada korwil,” ujarnya singkat.

SPPG Asem 1 diketahui menyalurkan paket MBG ke sejumlah sekolah, di antaranya SMP Negeri 3 Cibadak dan SD Negeri Asem 1. Namun, dapur ini sebelumnya juga sempat mendapat keluhan dari sekolah penerima.

Pada Kamis (25/9/2025), kedua sekolah tersebut melaporkan makanan MBG yang dikirim berbau asam. Laporan langsung disampaikan ke pihak SPPG agar segera dilakukan pengecekan dan evaluasi kualitas makanan.

6. Seluruh dapur MBG di Balikpapan belum kantongi sertifikat higienis

Infografis laporan siswa keracunan diduga mengonsumsi Program Makan Bergizi Gratis di Indonesia. Ilustrasi IDN Times

Di Balikpapan Kalimantan Timur, persoalan dapur Program MBG pun jadi kendala serius. Dari 10 dapur SPPG yang ada, delapan di antaranya sudah beroperasi. Namun, belum satu pun memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) sebagai syarat kelayakan dapur.

Kondisi ini semakin rumit setelah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menginstruksikan pemerintah daerah untuk melakukan pengawasan harian terhadap dapur MBG. Instruksi itu dikeluarkan menyusul maraknya kasus keracunan makanan MBG di sejumlah daerah.

Kepala Dinas Kesehatan (DKK) Balikpapan, Alwiati, mengakui pihaknya menghadapi beban berat untuk melaksanakan pengawasan harian tersebut, terutama karena keterbatasan sumber daya manusia (SDM).

“Tidak mungkin Dinas Kesehatan bisa turun langsung setiap hari sejak dini hari. Jadi kami akan membuat instruksi kepada SPPG agar melakukan pengawasan mandiri,” ujar Alwiati.

Menurutnya, dapur MBG mulai beroperasi sejak dini hari, sehingga sulit bagi petugas kesehatan untuk hadir setiap waktu. Ia menyebut opsi lain yang mungkin dilakukan adalah pemeriksaan secara acak (sampling) di sekolah penerima MBG.

“Ini cukup menambah beban teman-teman di puskesmas,” tambahnya.

Dari 10 SPPG yang ada di Balikpapan, delapan telah beroperasi penuh. Namun, tidak ada satupun yang sudah mengantongi SLHS. Sertifikat tersebut diterbitkan oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) melalui sistem OSS, sementara DKK hanya bertugas melakukan verifikasi teknis.

“Dinas Kesehatan hanya memverifikasi. Sertifikatnya diterbitkan oleh DPMPTSP melalui OSS,” jelas Alwiati.

Ia menegaskan, setiap SPPG harus proaktif mengurus sertifikat laik higiene sanitasi, karena DKK hanya berperan sebagai pembina dan pendamping.

“Jangan salah kaprah, kami hanya membina. Tapi prosesnya tetap harus aktif dari pihak SPPG,” tegasnya.

Instruksi dari pemerintah pusat mewajibkan pengecekan detail setiap hari, mulai dari masa kedaluwarsa bahan pangan, proses pengolahan, penyimpanan, pengepakan, distribusi, hingga kebersihan dapur dan personal hygiene para penjamah makanan.

Selain itu, Dinas Kesehatan juga diwajibkan melakukan pemeriksaan cepat mikrobiologi dan nitrit, serta pengecekan bank sampel makanan dari tiap dapur. “Kalau semuanya harus diperiksa setiap hari sejak dini hari, jelas sangat memberatkan,” tandasnya.

7. Kasus keracunan MBG di Jawa Barat dengan jumlah kasus terbesar

Gelombang kedua keracunan massal MBG di Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, Rabu (24/9/2025) (Istimewa)

Di Jawa Barat, ribuan warga dilaporkan mengalami keracunan massal setelah menyantap makanan dari program tersebut.

Data Persatuan Purnabakti Pendidik Indonesia (P3I) Jawa Barat mencatat, sedikitnya ada 20 kasus keracunan di lebih dari sepuluh kabupaten/kota, dengan total korban mencapai 5.000–6.000 orang. Korban berasal dari berbagai kelompok penerima, mulai dari murid PAUD hingga SMA/SMK dan ibu menyusui.

Wilayah yang terdampak antara lain Kabupaten Bandung Barat, Bogor, Garut, Sumedang, Cianjur, Tasikmalaya, Sukabumi, serta Kota Bandung, Cimahi, dan Cirebon. Kasus terbaru juga ditemukan di Kota Banjar dan Kabupaten Kuningan.

Kasus paling parah terjadi di Kabupaten Bandung Barat (KBB), tepatnya di Kecamatan Cipongkor dan Cihampelas, pada 22–25 September 2025. Pemerintah daerah pun menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB). Hingga dilaporkan terdapat korban jiwa meninggal, siswi SMKN Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat inisial BR (17) pada Selasa (30/9/2025).

Penyebab kematian korban diduga setelah mengonsumsi menu MBG di sekolahnya.

Pantauan IDN Times di lapangan menunjukkan, ambulans terus berdatangan ke RSUD Cililin dan Posko Penanganan Keracunan MBG di Cipongkor. Para korban terdiri dari siswa PAUD hingga SMA, guru, dan ibu menyusui.

Para korban menunjukkan gejala beragam, mulai dari mual, pusing, nyeri ulu hati, hingga kejang-kejang.

Menurut Plt Kepala Dinas Kesehatan KBB, Lia N. Sukandar, total korban di dua kecamatan mencapai 1.315 orang, seluruhnya sudah dinyatakan sembuh.

Kasus keracunan massal ini diduga berasal dari tiga dapur SPPG, yakni SPPG Neglasari, Cipongkor, dan SPPG Cihampelas. Dua di antaranya dikelola oleh yayasan yang sama. Pihak BGN di Jawa Barat mengakui adanya keteledoran yang menyebabkan keracunan.

Tak hanya soal keracunan, dapur MBG di Cipatat, Bandung Barat, juga jadi sorotan setelah beredar video yang memperlihatkan proses pencucian ompreng menggunakan air keruh dan tidak mengalir.

Dalam video itu, petugas terlihat hanya mencelupkan wadah makan ke ember air kotor lalu menumpuknya kembali tanpa bilasan. Operasional dapur MBG ini sudah ditutup karena dianggap melanggar standar kebersihan.

Seperti halnya kasus di daerah lain, dapur MBG di Jabar banyak yang belum mengantongi Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS). Dari 2.027 dapur SPPG dengan 6,6 juta penerima manfaat, sebagian besar belum memenuhi standar tersebut.

“Hanya sebagian kecil yang sudah punya sertifikat higienitas. Ini jadi pekerjaan besar,” kata Herman, pejabat BGN.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat merespons dengan membentuk Satgas Pengawasan MBG dan menandatangani MoU bersama BGN di Bale Pakuan Pajajaran, Kota Bogor, pada Senin (29/9/2025).

Gubernur Dedi Mulyadi menegaskan bahwa guru tidak boleh lagi dijadikan pencicip makanan MBG. Peran itu akan digantikan oleh tim khusus yang memeriksa bahan, proses memasak, dan kualitas makanan sebelum dikirim ke sekolah.

Selain itu, Pemprov juga akan membentuk lembaga aduan di tiap kabupaten/kota agar siswa dan guru bisa melapor jika menemukan masalah dalam kualitas atau porsi makanan MBG. Dedi juga mengingatkan agar penyedia dapur tidak mengurangi nilai paket makanan senilai Rp10.000 per porsi.

“Kalau nilai makanan dikurangi, bisa kena sanksi administratif hingga pidana. Itu sudah masuk dugaan korupsi,” tegasnya.

8. Gubernur Kalbar panggil Koordinator MBG di wilayahnya

Gubernur Kalbar bertemu Ketua BGN Regional Kalbar. (IDN Times/Adpim).

Carut marut penyaluran MBG ini membuat Gubernur Kalimantan Barat Ria Norsan memanggil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Regional Kalbar, Agus Kurniawi. Pertemuan itu menjadi ajang koordinasi pertama mereka sejak Program Makan Bergizi Gratis (MBG) digulirkan. Sebelumnya, Norsan bahkan belum mengetahui bahwa Agus adalah perwakilan resmi BGN di wilayahnya.

Dalam pertemuan itu, keduanya membahas berbagai persoalan di lapangan—mulai dari komposisi gizi di setiap porsi MBG, cara penyajian agar makanan tak cepat basi, hingga penanganan kasus keracunan yang menimpa sejumlah siswa di Ketapang dan Kubu Raya.

Beberapa hari sebelumnya, belasan siswa SDN 12 Benua Kayong, Kabupaten Ketapang, dilarikan ke rumah sakit setelah menyantap menu MBG berupa nugget ikan hiu dan sayur yang diduga sudah mendekati basi. Dua siswa di antaranya masih menjalani perawatan intensif.

“Ya, kami memanggil Kepala BGN Regional Kalbar untuk membahas kasus-kasus keracunan MBG di beberapa wilayah, termasuk Kubu Raya, Kayong Utara, dan Ketapang. Kami ingin ada pertanggungjawaban dari pihak penyedia makanan,” ujar Norsan, Sabtu (27/9/2025).

Ia menegaskan, pemerintah provinsi akan menggelar pertemuan dengan seluruh mitra dan pemangku kepentingan MBG di Kalbar untuk melakukan evaluasi menyeluruh. “Kami ingin menyatukan persepsi sekaligus memperbaiki hal-hal yang masih kurang, terutama terkait menu dan kandungan gizinya,” kata Norsan.

Meski demikian, Gubernur memastikan bahwa Pemerintah Provinsi Kalbar tetap berkomitmen mendukung program MBG sebagai bagian dari agenda nasional Presiden Prabowo Subianto.
“Sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat, kami wajib mendukung agar program ini berjalan sukses,” tegasnya.

Dalam rapat tersebut, Norsan menekankan tiga hal utama yang perlu segera dibenahi: kualitas gizi dan kebersihan makanan, jarak tempuh distribusi, serta ketersediaan tenaga ahli gizi di setiap dapur layanan.
“Waktu dan jarak pengantaran makanan harus dihitung cermat agar tidak basi di tangan penerima,” ujarnya.

Pemerintah daerah, lanjut Norsan, siap membantu menyediakan tenaga ahli gizi dari Dinas Kesehatan provinsi maupun kabupaten/kota jika BGN membutuhkan. “Yang penting koordinasi. Kami terbuka kapan saja bila BGN kekurangan tenaga di lapangan,” tambahnya.

9. Gubernur Lampung tekankan kepatuhan menjaga SOP MBG

Gubernur Lampung meninjau keberadaan SPPG Rajabasa Musiraya di Bandar Lampung. (Dok. Pemprov Lampung).

Sementara itu, dari ujung selatan Sumatra, Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal menegaskan pentingnya kepatuhan terhadap standar operasional prosedur (SOP) di seluruh SPPG. Tujuannya jelas: mencegah KLB yang bisa membahayakan penerima manfaat MBG.

Selama tujuh bulan pertama pelaksanaan program, Lampung tercatat tanpa satu pun laporan KLB, meski jutaan porsi makanan telah dibagikan ke anak-anak di seluruh provinsi.
“Ini bukti bahwa protokol MBG dan BGN yang dijalankan dengan baik mampu mencegah masalah,” ujar Mirza, Jumat (3/10/2025).

Namun, pada periode Agustus hingga September, situasi berubah. Tujuh kasus KLB muncul, sebagian besar di dapur-dapur baru yang belum sepenuhnya menerapkan SOP.
“Masalahnya bukan pada sistem, tapi pada kedisiplinan pelaksana di lapangan. Selama protokol dijalankan dengan benar, program ini aman,” tegas Mirza.

Ia pun memerintahkan pengawasan lintas instansi untuk memastikan semua dapur mematuhi SOP. Pemerintah kabupaten, kecamatan, hingga desa diminta ikut memantau.
“Pengawasan tidak bisa hanya di atas kertas. Semua pihak harus turun memastikan protokol berjalan,” katanya.

Mirza juga menyoroti manajemen bahan baku di dapur umum. Ia menegaskan, bahan pangan tidak boleh disimpan lebih dari dua hari. Penyimpanan yang tidak tepat, katanya, justru menjadi sumber masalah baru. Karena itu, ia meminta Balai Besar POM melakukan pengawasan berlapis dari proses penerimaan bahan mentah hingga penyajian.
“Jika pengawasan ini dilakukan dengan benar, Insyaallah tidak akan ada masalah,” ujarnya.

10. Ibu-ibu turun ke jalan menolak keberlanjutan Program MBG

Aksi Protes Keracunan MBG, Puluhan Ibu di Jogja Pukuli Panci. (IDNTimes/ Herlambang Jati)

Ibu-ibu punya cara sendiri mempertanyakan efektivitas Program MBG. Mereka berkumpul di Bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Jumat siang, 27 September 2025. Di bawah terik matahari, denting panci bersahut-sahutan, menandai aksi damai bertajuk “Suara Ibu Indonesia.”

Aksi itu menjadi simbol protes terhadap gelombang keracunan massal MBG yang menjalar ke berbagai daerah di Indonesia. Para ibu—datang dari latar akademisi, aktivis, pegiat sosial, hingga seniman—turun ke jalan dengan membawa poster bernada sindiran pedas:

“6.618 Bukan Sekadar Angka, 6.618 Anak Telah Kau Racuni Pakai Duit Kami,”
“Kembalikan Daulat Pangan ke Dapur Ibu,”
hingga “Guru Itu Tugasnya Mengajar, Bukan Nyinom Dadakan.”

“Batas sabar kami sudah lewat,” ujar Kalis Mardiasih, pegiat Suara Ibu Indonesia, yang juga dikenal sebagai aktivis isu gender dan keadilan sosial. Ia menyebut, aksi ini lahir dari keprihatinan mendalam atas peristiwa luar biasa keracunan massal yang mencoreng program prioritas pemerintah.

Menurut data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), jumlah korban keracunan telah menembus 8.000 orang. Sementara Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mencatat sedikitnya 6.618 kasus hingga malam sebelum aksi digelar.

“Kami tidak bisa tinggal diam ketika setiap hari ada anak-anak yang jatuh sakit karena kebijakan yang semestinya melindungi mereka,” tegas Kalis.

Dalam orasinya, Suara Ibu Indonesia mengajukan lima tuntutan utama. Pertama, menghentikan program MBG yang dinilai terlalu sentralistik dan militeristik. “Kebijakan yang dibuat tanpa mendengar program pemenuhan gizi yang sudah dimiliki negara justru menimbulkan kekacauan baru,” kata Kalis.

Kedua, mereka mendesak evaluasi total terhadap pelaksanaan MBG. “Program ini bukan eksperimen. Kita tidak bisa memperlakukan anak-anak sebagai bahan uji coba sambil berkata ‘nanti diperbaiki’. Setiap hari ada nyawa dan masa depan yang dipertaruhkan,” ujarnya lagi.

Tuntutan ketiga, mendesak BGN membentuk tim pencari fakta independen untuk mengusut kasus keracunan massal. Mereka menuntut transparansi hasil penyelidikan serta pemulihan hak korban sesuai amanat Undang-Undang Kesehatan.

Keempat, pemerintah diminta menelusuri dugaan korupsi dalam pengadaan dan pelaksanaan program MBG. Terakhir, para ibu menuntut pengembalian kedaulatan pangan dan pemenuhan gizi anak kepada komunitas dan daerah, bukan semata program yang dikendalikan dari pusat.

Massa juga menuntut pertanggungjawaban Presiden, BGN, SPPG, serta seluruh pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan MBG. Dari Januari hingga September 2025, ribuan anak dilaporkan menjadi korban.

11. LBH di Lampung kritik Program MBG

Ilustrasi makan bergizi gratis di sekolah. (IDN Times/Inin Nastain)

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung mencatat, kasus keracunan Program MBG di Lampung tersebar di enam kabupaten/kota, dengan jumlah terbanyak terjadi di Kota Bandar Lampung. Mayoritas korban merupakan pelajar SD, SMP, dan SMA.

Sebanyak 689 orang diduga mengalami keracunan usai menyantap makanan dari Program MBG selama Agustus–September 2025.

Rinciannya, 503 korban di Bandar Lampung, 18 korban di Tanggamus, 67 korban di Lampung Utara, 12 korban di Metro, 7 korban di Tulang Bawang Barat, dan 82 korban di Lampung Timur.

Beberapa kejadian yang menjadi sorotan di antaranya:

  • Roti isi sosis berjamur ditemukan di sekolah SD dan SMP di Lampung Timur (26 September 2025).

  • Telur ceplok berbelatung di SDN 1 Karang Agung, Kecamatan Semaka, Tanggamus (24 September 2025).

  • Makanan basi disajikan di SMPN 10 Metro (15 September 2025).

Sehubungan itu, Kepala Divisi Advokasi LBH Bandar Lampung, Prabowo Pamungkas, menilai pemerintah telah gagal menjalankan program MBG yang sejak awal dinilai bermasalah. Menurutnya, program ini tidak menyentuh akar persoalan stunting dan lebih bersifat populis.

“MBG hanya kebijakan pencitraan yang tidak transparan, tidak tepat sasaran, dan memboroskan anggaran negara. Bahkan anggarannya memotong pos pendidikan dan kesehatan,” ujar Prabowo.

Ia menegaskan, tanggung jawab hukum melekat pada negara yang wajib menjamin hak atas kesehatan dan pendidikan sebagaimana diatur dalam UUD 1945, UU HAM, dan UU Kesehatan.

LBH juga menyoroti lemahnya pengawasan pemerintah, yang dinilai hanya fokus mengejar target 82,9 juta penerima MBG, tanpa memastikan kualitas dan keamanan makanan.

Menanggapi polemik ini, LBH Bandar Lampung mengeluarkan sejumlah rekomendasi:

  1. Hentikan sementara program MBG hingga audit menyeluruh terhadap keamanan pangan dan mekanisme distribusi selesai dilakukan.

  2. Bentuk tim investigasi independen yang melibatkan masyarakat sipil, pakar gizi, lembaga HAM, dan aparat penegak hukum.

  3. Alihkan anggaran MBG ke sektor prioritas seperti perbaikan sekolah rusak, sertifikasi guru, dan layanan kesehatan dasar.

  4. Cabut keterlibatan TNI–Polri dari pengelolaan dapur dan distribusi karena bertentangan dengan prinsip HAM.

  5. Pastikan transparansi dan akuntabilitas anggaran agar MBG tidak menjadi proyek boros dan rawan penyimpangan.

“Negara harus bertanggung jawab atas jatuhnya korban akibat program MBG. Hentikan dan evaluasi segera proyek triliunan rupiah yang dibiayai pajak rakyat,” tegas Prabowo.

12. Waspada, makanan MBG bisa berbahaya, ini penjelasan pakar UGM

Mahasiswa UGM meneliti microgreens mikroalga di laboratorium pertanian modern. (dok. pribadi/PKM-RE UGM)

Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Sri Raharjo, menjelaskan bahwa siswa penerima MBG tidak bisa sepenuhnya menilai keamanan makanan hanya dari penampilan, aroma, atau teksturnya.

“Masalah pangan tidak aman itu tidak selalu disertai tanda-tanda seperti pembusukan,” ujarnya, Jumat (3/10/2025), dikutip dari laman resmi UGM.

Menurut Sri, kemampuan indra manusia terbatas dalam mendeteksi bahaya pada makanan. Makanan bisa saja tampak, beraroma, dan bertekstur normal, tetapi mengandung bakteri patogen—bakteri penyebab penyakit.

“Ada bakteri yang merusak makanan tapi tidak menyebabkan sakit, dan mudah mati dengan panas. Namun, bakteri patogen jumlahnya sedikit saja sudah bisa menimbulkan sakit,” jelasnya.

Ia menambahkan, kasus keracunan massal di sejumlah sekolah menunjukkan bahwa siswa tidak menyadari bahaya karena makanan terlihat normal. “Kalau kelihatannya normal, tentu mereka lanjut makan. Padahal bahaya bisa tersembunyi di sana,” katanya.

Setiap orang juga bisa menunjukkan gejala berbeda setelah mengonsumsi makanan berbahaya. “Tidak semua langsung muntah. Gejalanya bisa muncul kapan saja dan dalam bentuk yang beragam,” jelas Sri.

Untuk mencegah kasus serupa, Sri yang juga Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) UGM menegaskan pentingnya pengawasan ketat sejak proses pengolahan hingga pengemasan. Ia menyarankan agar setiap menu dalam satu tray makanan diperiksa satu per satu.

“Harus ditelusuri, bagian mana yang berpotensi menyebabkan keracunan—apakah nasi, lauk, atau sayurnya. Termasuk proses penyiapannya,” tegasnya.

Sri menilai, lauk adalah komponen menu MBG yang paling berisiko. Proses memasaknya membutuhkan waktu dan pemanasan cukup untuk membunuh bakteri. Namun, keterbatasan waktu, peralatan, dan tenaga di dapur penyedia MBG masih menjadi kendala utama.

“Yang paling penting, bahan mentah seperti daging, ikan, dan sayur harus dalam kondisi segar dan tidak tercemar,” ujarnya.

Selain itu, ia juga menyoroti kapasitas Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang dinilai belum seimbang dengan target pemerintah. Satu dapur ditugaskan menyiapkan hingga 3.000 porsi MBG setiap hari, yang menurutnya melampaui kemampuan ideal sebuah dapur umum.

“Kalau kapasitasnya terlalu besar, tentu pengawasan terhadap kualitas makanan jadi tidak maksimal,” pungkas Sri.

13. IDAI meminta evaluasi menyeluruh Program MBG

Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Piprim Basarah Yanuarso egiatan Pekan Ilmiah Tahunan IDAI di Hotel Shangrilla, Minggu (20/11/2022)/IDN Times Dini Suciatiningrum

Senada pula, Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Piprim Basarah Yanuarso, menilai kasus keracunan makanan yang dialami ribuan anak peserta MBG bukan sekadar insiden biasa.

“Satu anak keracunan saja sudah menjadi masalah. Apalagi jika terjadi pada ribuan anak di seluruh Indonesia,” ujarnya.

Piprim menegaskan, program MBG yang sejatinya bertujuan mulia meningkatkan status gizi dan kesehatan anak, kini justru menimbulkan kekhawatiran. “Perlu evaluasi menyeluruh untuk memastikan program ini benar-benar tepat sasaran, terutama di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T),” kata dia.

Menurut IDAI, kasus keracunan yang berulang menunjukkan adanya persoalan serius dalam pengawasan mutu makanan dan keamanan pangan. Tak hanya anak-anak, beberapa kasus juga menimpa balita dan ibu hamil — kelompok yang mestinya mendapat perlindungan ekstra.

Dalam surat terbuka kepada BGN, IDAI menegaskan beberapa hal penting:

  1. Keselamatan anak dan kelompok rentan adalah prioritas utama. Anak, balita, dan ibu hamil harus dilindungi dari risiko keracunan makanan.

  2. Keamanan pangan wajib dijamin. Seluruh proses penyediaan, pengolahan, penyimpanan, hingga distribusi makanan harus mengikuti standar keamanan pangan (food safety) untuk mencegah kontaminasi.

  3. Kualitas gizi dan keseimbangan menu perlu dijaga. Menu MBG seharusnya disusun oleh ahli gizi anak, dengan memperhatikan kebutuhan nutrisi untuk mendukung tumbuh kembang optimal.

  4. Pengawasan harus diperketat. Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dan seluruh fasilitas pendukungnya wajib tersertifikasi serta rutin diawasi oleh BGN.

  5. Mitigasi dan layanan aduan perlu disiapkan. Pemerintah, sekolah, tenaga kesehatan, dan masyarakat harus memiliki mekanisme penanganan cepat bila terjadi kasus keracunan.

Agar program ini bisa lancar ke depannya, Sekretaris Umum PP IDAI, Hikari Ambara Sjakti menambahkan, pihaknya siap berkolaborasi dengan pemerintah, sekolah, dan masyarakat. “Kami ingin memastikan program MBG benar-benar membawa manfaat kesehatan, gizi, dan masa depan yang lebih baik bagi anak Indonesia,” ujarnya.

Editorial Team