Jejak Orangutan di Wehea-Kelay: Inspirasi Konservasi dan Inovasi

Samarinda, IDN Times - Orangutan Kalimantan, salah satu satwa endemik Indonesia, hanya dapat ditemukan di Pulau Sumatra dan Kalimantan. Di Kalimantan Timur (Kaltim), habitat mereka tersebar di kawasan Bentang Alam Wehea-Kelay, yang mencakup area seluas 532.143 hektare. Kawasan ini menjadi fokus perlindungan sekaligus pusat kolaborasi lintas pihak untuk pelestarian lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dalam pengelolaannya, sebanyak 23 pihak, termasuk pemerintah, sektor swasta, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, dan komunitas lokal, bergabung dalam Forum Kolaborasi Bentang Alam Wehea-Kelay. Forum ini telah berjalan hampir satu dekade, dengan visi menjaga kelestarian lingkungan secara berkelanjutan.
1. Orangutan sebagai kunci konservasi

Orangutan Kalimantan dianggap sebagai "spesies payung," artinya melindungi mereka berarti juga menjaga seluruh ekosistem. Habitat mereka di Bentang Alam Wehea-Kelay memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, termasuk lebih dari 1.200 individu orangutan dan 1.400 jenis satwa liar lainnya.
“Kawasan ini bukan hanya rumah bagi orangutan, tetapi juga menjadi sumber kehidupan bagi sekitar 30 ribu penduduk yang bergantung pada ekosistemnya,” ujar Anwar Sanusi, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kaltim, yang juga Ketua Forum Kolaborasi.
2. Bioprospeksi: Inovasi dari alam

Salah satu hasil kolaborasi yang menarik perhatian adalah pengembangan bioprospeksi, yaitu pemanfaatan sumber daya hayati untuk kepentingan komersial. Penelitian yang dilakukan Universitas Mulawarman dan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) berhasil mengidentifikasi 59 jenis tumbuhan pakan orangutan, dengan 30 jenis di antaranya memiliki potensi bioaktivitas tinggi.
“Dari tumbuhan ini, kami menemukan potensi untuk produk kesehatan, seperti antioksidan, antikanker, dan antidiabetes,” ungkap Irawan Wijaya Kusuma, Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman.
Salah satu temuan utamanya adalah Macaranga conifera, yang kini dikembangkan menjadi produk perawatan kulit bernama WEMACA (Wehea-Kelay Macaranga). Produk ini meliputi krim antipenuaan dini, antijerawat, dan pencerah wajah.
“Kami memilih produk ini karena sesuai dengan kebutuhan pasar saat ini. Potensi lainnya masih banyak yang bisa dieksplorasi,” tambah Irawan.
3. Dampak positif untuk masyarakat dan usaha

Selain manfaat ekologi, kolaborasi ini juga dirasakan oleh sektor usaha. Direktur Utama PT Gunung Gajah Abadi, Totok Suripto, mengakui bahwa forum ini membantu perusahaan dalam mengelola konsesi secara berkelanjutan.
“Dulu, masing-masing perusahaan bekerja sendiri. Dengan forum ini, kami bisa menyelaraskan standar pengelolaan lintas batas,” jelas Totok.
Sementara itu, masyarakat adat Dayak Wehea juga merasakan dampaknya. “Kami mendapat dukungan untuk patroli dan survei hutan. Ini sangat membantu menjaga Hutan Lindung Wehea, hutan terakhir kami,” kata Yuliana Wetuq, perwakilan Lembaga Adat Dayak Wehea.
4. Model kolaborasi yang menginspirasi

Keberhasilan Bentang Alam Wehea-Kelay mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Wiratno, anggota Dewan Pengawas YKAN, menyebut model kolaborasi ini dapat menjadi contoh bagi wilayah lain di Indonesia.
“Pengelolaan sumber daya alam seperti ini memberikan manfaat ganda, baik dari sisi ekologi maupun ekonomi bagi masyarakat dan pelaku usaha,” ujarnya.
Dengan melibatkan berbagai pihak, Bentang Alam Wehea-Kelay membuktikan bahwa pelestarian alam dan kesejahteraan masyarakat dapat berjalan seiring. Kawasan ini tidak hanya menjadi simbol keberhasilan konservasi, tetapi juga harapan masa depan bagi inovasi berkelanjutan di Indonesia.