Ketua KPU Balikpapan, Noor Thoha. (Tangkapan Layar Youtube KPU Balikpapan)
Dalam penyampaiannya, Noor Thoha mengungkapkan, Singapura sebagai negara kecil butuh waktu enam hari melaksanakan pemilu macam ini. Pada dasarnya KPU memiliki tanggung jawab untuk bekerja profesional. Bekerja dengan integritas. Termasuk mempertanggungjawabkan semua tahapan yang dilaksanakan.
"KPU Balikpapan merasa perlu mempertanggungjawabkan secara paripurna dari pemaparan data maupun kronologi," jelasnya.
KPU Kota Balikpapan, menurutnya menyimpan tiga masalah yang cukup berat. Dan ini tak bisa dijabarkan kecuali melalui riset. Pertama, soal daftar pemilih tambahan (DPT) yang tiap pemilu selalu tinggi.
"Maka setiap pleno dengan partai politik kerap menimbulkan masalah. Kalau pemilu legislatif kerap ada kecurigaan. Hingga mobilisasi masa," sebutnya.
Dalam hal ini KPU berupaya bekerja profesional. Namun tetap, tidak bisa menghindari berbagai asumsi yang bermunculan.
"Karena memang kami tidak bisa menjelaskan secara ilmiah," ungkapnya.
Masalah kedua terkait partisipasi masyarakat. Ini diakuinya pun sulit dijelaskan. Karena saat pemilu presiden dan legislatif partisipasi bisa mencapai 80 persen, saat pilkada tidak bisa melampaui angka 60 persen.
"Bahkan 2011 sebesar 56 persen, 2015 sebesar 59,34 persen, dan 2020 ini sebesar 59,9 persen. Ini juga beban berat KPU Balikpapan. Dari kami juga bisa menjawab bahwa kami lembaga teknis, dan ini jadi tanggung jawab semua pihak. Ini selalu yang saya sampaikan," katanya.
Ketiga, yakni masalah pilkada 2020, di mana terjadi calon tunggal. KPU Kota Balikpapan dalam hal ini merasakan kesulitan. Karena pihaknya perlu menyampaikan secara regulasi, undang-undang mengakomodasi ini dan sulit untuk diterima.
"Ada dugaan bahkan yang mengatakan calon tunggal ini terjadi karena kapitalisme. Atau diduga minim tokoh di Balikpapan. Kami dihukum dengan asumsi. Ini adalah kecelakaan sejarah kalau dibiarkan dan tidak diluruskan. Maka dari Universitas Mulawarman akan membantu kami menjelaskan tentang hal ini," urainya.