Kementerian LH segera Rilis Hasil Investigasi Pencemaran Muara Badak

Balikpapan, IDN Times – Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup memastikan hasil investigasi dugaan pencemaran lingkungan di perairan Muara Badak, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, akan diumumkan dalam waktu dekat. Diketahui, pada akhir 2024 lalu kerang darah milik nelayan mati diduga karena terdampak pencemaran.
Koalisi Peduli Nelayan Kerang Darah Muara Badak pada Kamis (5/6/2025) lalu, resmi melaporkan dugaan pencemaran yang dilakukan oleh PT Pertamina Hulu Sanga-sanga (PHSS) ini ke Polda Kaltim.
Salah satu nelayan, Muhammad Yusuf mengatakan ada sekitar 299 kepala keluarga nelayan yang terdampak pencemaran, tersebar di enam desa di Kecamatan Muara Badak. Wilayah terdampak membentang dari pesisir Tanjung Limau hingga pesisir Saliki. Yusuf memperkirakan luas total lahan budidaya kerang darah yang terdampak bisa mencapai 1.000 hektare.
Ia juga menjelaskan bahwa kerugian yang dialami para nelayan akibat gagal panen diperkirakan mencapai sekitar Rp68,4 miliar. Perhitungan tersebut didasarkan pada estimasi panen sebesar 3.800 ton kerang darah dengan harga jual Rp18.000 per kilogram yang seharusnya dilakukan pada Desember 2024 lalu.
1. Hasil laboratorium keluar dua minggu lagi
Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, mengatakan timnya masih menunggu hasil laboratorium dari sampel ikan yang dikirim sebelumnya. Menurutnya, proses investigasi ini penting untuk mengungkap fakta ilmiah atas dugaan pencemaran yang terjadi.
"Tadi saya tanyakan ke Pak Deputi Gakkum, dua minggu lagi hasilnya sudah bisa disimpulkan. Karena prosesnya memang harus melalui pemeriksaan laboratorium terhadap sampel ikan yang dipotong dan dianalisis," kata Hanif saat ditemui di Balikpapan, Jumat (4/7/2025).
Hanif menegaskan pihaknya akan mengawal proses hukum jika kasus ini berlanjut ke meja hijau. Kementerian/Badan, katanya, siap membela para ahli lingkungan yang terlibat sebagai saksi, termasuk masyarakat yang memperjuangkan lingkungan hidup.
"Kami akan bela semua, baik itu masyarakat, pengusaha, kelompok sosial, maupun saksi ahli yang diperkarakan karena membela kebenaran lingkungan. Kami juga siapkan pendampingan hukum," ujarnya.
2. Dugaan kriminalisasi nelayan Muara Badak
Ia juga menanggapi dugaan kriminalisasi terhadap empat nelayan yang melakukan demonstrasi di kantor PT PHSS, yang merupakan Objek Vital Nasional (Obvitnas), pada awal 2025 kemarin. Menurutnya, aksi masyarakat boleh dilakukan sebagai bentuk kontrol sosial, namun tetap harus berada dalam koridor hukum.
"Kami dan Pak Gubernur sepakat bahwa tidak boleh ada gangguan terhadap objek vital nasional. Silakan berdiskusi dan menyampaikan aspirasi, tapi tidak dengan cara menghentikan kegiatan operasional yang sah," tegasnya.
Hanif juga mengingatkan agar tidak ada yang memasuki area berbahaya (danger area) tanpa izin karena hal itu dapat membahayakan keselamatan.
Meski begitu, Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup tetap menyatakan dukungannya terhadap setiap upaya masyarakat dalam menegakkan keadilan lingkungan secara legal dan damai.
"Kami bela sepenuhnya masyarakat yang memperjuangkan lingkungan," tutup Hanif.
3. Empat nelayan dipolisikan
Di tengah upaya memperjuangkan haknya terhadap lingkungan, empat nelayan Muara Badak dilaporkan oleh PT PHSS. Empat nelayan tersebut adalah Muhammad Yusuf, Muhammad Yamin, Muhammad Said, dan Haji Tarre. Mereka dipolisikan usai aksi protes di lokasi pengeboran PHSS awal tahun ini.
Empat nelayan itu dituduh menghasut dan masuk pekarangan PT PHSS tanpa izin. Kasusnya kini sudah masuk dalam tahap penyidikan di Polres Bontang.
Merah Johansyah, peneliti dari Nugal Institute sekaligus mantan Koordinator Nasional JATAM menilai warga yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang sehat tidak bisa dipidana.
Merah juga mengingatkan bahwa jika kepolisian tetap memproses kasus ini, maka institusi itu berpotensi digugat balik. Ia mendesak KLHK untuk tidak hanya menghentikan kriminalisasi, tetapi juga menindak akar masalahnya. “PHSS harus diusut atas dugaan pidana lingkungan,” katanya.
Sementara itu, Muhammad Yusuf mewakili para nelayan menyampaikan harapannya. “Kami butuh perlindungan. Kami hanya ingin lingkungan kami pulih, dan mata pencaharian kami kembali,” ujarnya lirih.