Akademi Kepolisian (pemkotsemarang.tumblr.com)
Waktu kecil Turmudi tak pernah terpikir untuk menjadi seorang polisi. Ia masuk kepolisian karena didorong oleh kakaknya. Ia hanya ingin menjadi orang yang berguna.
"Cita-cita ingin berguna bagi nusa, bangsa, dan negara, orangtua, dan agama. Itu klasik. Semua anak-anak kecil pun tahu. Gak ada kepikiran mau masuk ke polisi sama sekali. Saya justru dulu lulus SMA malah mau kerja di pabrik rokok di Kediri," katanya.
Namun, saat masih kelas 3 SMA, kakaknya menyuruh Turmudi mendaftar AKABRI (Akademi Angkatan Bersenjata Indonesia). Dari Trenggalek ke Surabaya perlu waktu 5 jam naik bus dan tentu butuh biaya tak sedikit, karena tes masuk AKABRI ini dilakukan beberapa kali.
"Waktu dari kampung ke Surabaya kan perlu biaya. Dulu pernah saya waktu kecil saya dikasih ayam sama nenek, terus saya besarin jadi kambing. Ada kan cerita itu, kan? Itu fakta yang saya alami. Kambing kemudian jadi sapi. Itu betulan terjadi sama saya. Waktu mondar-mandir itu, sapi saya jual untuk modal nge-kos, mondar-mandir dan tes beberapa kali. Saya diterima di Akpol tahun 1992," kata Turmudi.
Setelah lolos masuk Akademi Kepolisian (Akpol) Turmudi baru menyadari bahwa banyak isu untuk masuk AKABRI perlu uang atau bantuan 'orang dalam'. Namun, hal itu tidak berlaku untuknya. Ia murni masuk AKABRI (jurusan Kepolisian/ Akpol) karena kemampuannya.
"Namanya AKABRI dulu terkenal pakai uang, pakai beking. Ternyata saya nggak (perlu membayar atau beking). Saya persiapan hanya (latihan) lari. Kalau renang saya sudah biasa, karena belakang rumah saya sungai," katanya.
Ia bersyukur dapat meringankan beban orangtua, dan setelah menjadi polisi dapat membantu orangtuanya secara finansial. "Bersyukur adalah kuci hidup saya," katanya.