Muhammad Supardi, petani muda dari Kabupaten Paser. (Dok. IDN Times/ Istimewa)
Nah, ilmu dari negeri Jepang inilah yang sekarang coba diterapkan dengan mengolah lahan tidur miliknya di Paser. Lahan warisan orangtua yang sudah selama lima tahun terakhir ini terbengkalai akhirnya menjadi produktif dengan tanaman padi.
Hanya sayangnya saja, sistem pemasaran produksi hasil pertanian di Indonesia memang tidak sebaik di Jepang. Padahal sebagai negara agraris, menurut Supardi, Indonesia semestinya menerapkan kebijakan sistem pemasaran yang lebih memberikan keuntungan bagi petani.
"Indonesia bisa berproduksi lebih dari pada Jepang, kalau saja ada sistemnya. Indonesia bisa lebih maju, karena di sini lebih banyak hasil olahan dan bisa membangun industri," terangnya.
Supardi menyebutkan, sistem pemasaran produk pertanian di Indonesia yang tergantung pada tengkulak. Para tengkulak ini punya kekuatan menentukan standar harga produksi hasil pertanian petani.
Ia mencontohkan, hasil panen cabai di pasaran hanya dihargai Rp40 ribu per kilogram. Sedangkan tengkulak sendiri menuai untung besar dengan menjual Rp70 ribu hingga Rp80 ribu per kilogram.
Kondisi seperti terjadi di seluruh hasil panen pertanian.
"Harga sangat tidak sesuai. Jadi sulit maju kalau hanya mengandalkan tengkulak. Karena kami harus menanam, merawat dan menyiapkan. Tengkulak dapat untung besar tanpa harus menunggu waktu panen seperti kami," tuturnya.
Ia berharap di Indonesia ada subsistem seperti di Jepang. Sehingga akhirnya semua harga bisa sama. Yang membedakan hanya pemasaran di pasar tradisional atau modern. Dengan begitu juga harga bisa tetap stabil.
"Di Jepang tidak ada pemerintah membeli cabai atau hasil pertanian demi menyeimbangkan harga. Yang terpenting adalah sub sistem pasar untuk jangka panjang. Karena dengan membeli untuk menyeimbangkan harga itu hanya ilusi dan sifatnya jangka pendek," bebernya.
Dengan subsistem pasar, maka petani tidak perlu mencari tempat berjualan. Menurutnya, pupuk gratis atau subsidi juga tak membantu petani. Petani lebih membutuhkan subsistem pasar yang jelas.
"Selama ini kami memasarkan konvensional. Jauh dari negara maju. Ini yang dikeluhkan petani, artinya kita membutuhkan sistem. Mulai petani mengumpulkan di koperasi, hingga distribusi bahkan Industri atau ekspor. Semua harusnya ada yang memegang," katanya.
Dengan begitu petani hanya bertugas memproduksi dan tak harus mencari pasar. Petani tinggal melakukan nego harga, bukan menjualnya langsung. "Saat ini petani masih menjual ke tengkulak atau pasar. Ini yang membuat petani sulit mendapatkan peningkatan ekonomi," ujarnya.