Koordinator Riset dan Publikasi AJI Indonesia Ahmad Arif. (Dok. AJI Balikpapan)
Jurnalis sains dan lingkungan KOMPAS, Ahmad Arif, menyampaikan kepada peserta pentingnya pemberitaan transisi energi.
Terutama agar jurnalis paham terlebih dahulu siapa pihak yang diuntungkan dan dirugikan dengan transisi energi, serta mengapa transisi energi yang berkeadilan harus diperjuangkan. Sebab, hal ini akan memengaruhi setiap langkah pemberitaan.
Ia memberi contoh kasus deforestasi di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Itu terbukti telah meningkatkan suhu maksimum harian rata-rata hampir satu derajat Celsius dalam 16 tahun.
“Kenaikan suhu ini dikaitkan dengan meningkatnya risiko kematian dini di populasi hingga 8 persen,” sebutnya. Belum lagi jika mengangkat beban tersembunyi dari batu bara yang mencakup berbagai dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi yang tidak selalu terlihat langsung.
Contohnya dampak lingkungan dan kesehatan: tercipta deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati, pencemaran air, polusi udara, kerusakan tanah, dan erosi. Ini belum termasuk dampak sosial dan ekonomi lainnya.
Harapannya, media berperan menggaungkan pemberitaan transisi energi, mengingat isu ini belum begitu mendapat perhatian secara masif. Sebagai contoh, produksi berita berkaitan dengan Just Energy Transition Partnership (JETP) atau Kemitraan Transisi Energi yang Adil.
Sebuah skema kemitraan global yang melibatkan negara-negara maju dan berkembang untuk mempercepat transisi energi. JETP membantu pendanaan bagi negara-negara berkembang dalam beralih dari energi fosil ke energi bersih dan mengurangi emisi karbon. Program ini diluncurkan di sela-sela KTT G20 Bali pada 2022.
Namun berdasarkan data AJI Indonesia pada 2023, berita dengan tema JETP terbesar masih membahas soal investasi dan sumber dana. Sedangkan soal transisi energi, pensiun dini PLTU, hingga kebijakan iklim masih sangat minim.
Kemudian pemetaan narasumber yang menjadi acuan dalam pemberitaan JETP mengacu kepada pemerintah sebesar 46,7 persen dan BUMN 22,2 persen. Sehingga tampil dengan model berita informatif dan seremonial. Sedangkan berita analisis kritis hanya memegang 7,8 persen.
Menurut Studi LBH Pers pada 2022, pemberitaan perubahan iklim berfokus pada isu high-level seperti kebijakan dan sains. Artinya, jarang mengangkat pengalaman warga terdampak atau publik yang jauh lebih penting.
Masalahnya saat ini, pemerintah menggabungkan terminologi energi terbarukan dengan sumber energi lain dengan menggunakan frasa energi baru terbarukan yang disingkat sebagai EBT. “Padahal, energi baru yang dihasilkan oleh teknologi baru belum tentu terbarukan,” ucap pria yang akrab disapa Aik tersebut.
Dia mengingatkan, tugas jurnalis dalam membahas transisi energi begitu kompleks. Salah satunya adalah mengungkap biaya sesungguhnya dari dampak energi kotor yang disembunyikan dari publik.
Hal itu mampu mendorong keadilan bagi masyarakat, perlindungan lingkungan, dan keberlanjutan ekonomi. “Dengan mengetahui dampak riil pembangunan, kita bisa menilai apakah aktivitas pembangunan itu benar-benar menguntungkan atau justru merugikan dalam jangka panjang,” ungkapnya.
Salah satu cara untuk itu adalah memperkuat kapasitas jurnalis melalui pelatihan jurnalistik dan program fellowship peliputan, seperti pelatihan transisi energi yang kali ini digelar Yayasan Mitra Hijau dan AJI Balikpapan.