Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-06-12 at 09.19.39.jpeg
Tim riset dari Institut Teknologi Kalimantan (ITK) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berkolaborasi dengan Yayasan Mitra Hijau (YMH) dalam menciptakan Kompor Berbasis Biobriket Alternatif (KOBRA). (Dok. Istimewa)

Intinya sih...

  • Potensi limbah sawit

  • Mampu hasilkan listrik

  • Kolaborasi dengan dosen dan mahasiswa ITK

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Balikpapan, IDN Times – Tim riset dari Institut Teknologi Kalimantan (ITK) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berkolaborasi dengan Yayasan Mitra Hijau (YMH) dalam menciptakan Kompor Berbasis Biobriket Alternatif (KOBRA). Kompor ini memanfaatkan limbah sawit yang melimpah di Kalimantan Timur sebagai sumber energi alternatif yang murah dan ramah lingkungan.

Ketua Tim Riset Kobra, Yunita Triana, menjelaskan bahwa biobriket yang digunakan berasal dari limbah tandan kosong kelapa sawit (TKKS) yang direkatkan dengan limbah kulit singkong.

“Sebanyak 33 persen produksi kelapa sawit Indonesia berasal dari Kalimantan Timur,” ujar Yunita.

1. Potensi limbah sawit

Kobra memanfaatkan limbah sawit yang melimpah sebagai bahan bakar. (Dok. Istimewa)

Menurut Yunita, satu hektare lahan sawit dapat menghasilkan 10–15 ton limbah pelepah sawit per tahun. Dengan luas lahan sawit di Kalimantan Timur mencapai 1,3 juta hektare, maka ketersediaan bahan baku biobriket dinilai sangat melimpah dan berkelanjutan.

“Total limbah tandan kosong sawit bisa mencapai hampir 17 juta ton per tahun,” jelasnya.

2. Mampu hasilkan listrik

Kerjasama ITK, BRIN dan YMH. (Dok. Istimewa)

KOBRA tidak hanya berfungsi sebagai alat masak. Kompor ini juga dilengkapi teknologi Thermoelectric Generator (TEG) yang mampu mengubah panas menjadi listrik untuk menggerakkan kipas otomatis. Fitur ini membantu menjaga api tetap stabil tanpa harus dikipas manual.

“Jadi, tidak perlu capek-capek mengipas kompor lagi,” kata Yunita.

Kompor Kobra disebut mampu menghemat energi hingga 437,562 kWh per tahun. Biaya produksinya pun relatif murah, hanya sekitar Rp350 ribu. Ke depan, tim peneliti juga berencana mengembangkan versi KOBRA yang bisa digabungkan dengan tenaga surya.

3. Kolaborasi dengan dosen dan mahasiswa ITK

Ketua Dewan Pembina Yayasan Mitra Hijau adalah Dicky Edwin Hindarto. (Dok. AJI Balikpapan)

Proyek ini tidak dikerjakan Yunita sendiri. Ia dibantu oleh tim dosen ITK yaitu Riza Hudayarizka, Widi Astuti, dan Riza Hadi Saputra. Dari kalangan mahasiswa, tim terdiri dari M. Bintang Adiputra, M. Ihsan Noor Isnan, Yosua Situmeang, Yurischa Deify Utami, dan Hana Fadhillah.

Ketua Dewan Pembina Yayasan Mitra Hijau, Dicky Edwin Hindarto, menilai inovasi ini sangat relevan di tengah krisis iklim global. Ia menyoroti fakta bahwa potensi energi bioenergi Indonesia mencapai 57 gigawatt, tetapi baru 2 gigawatt yang termanfaatkan hingga 2022.

“Dengan suhu bumi yang makin panas dan 5.400 bencana terjadi sepanjang 2023, inovasi seperti Kobra bisa jadi solusi nyata,” ungkap Dicky.

Ia menegaskan bahwa ketergantungan pada energi fosil harus dikurangi. Inovasi seperti KOBRA menjadi langkah konkret menuju energi bersih dan terbarukan.

Editorial Team