Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Abdul Kadir Karding menyebut pekerja migran salama ini punya kontribusi sangat besar terhadap devisa RI. (IDN Times/Erik Alfian)
Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Abdul Kadir Karding menyebut pekerja migran selama ini punya kontribusi sangat besar terhadap devisa RI. Dia menyebut, kontribusi devisa yang disumbangkan mencapai Rp253,3 triliun pada tahun lalu, hanya kalah dari devisa migas.
Namun, di tengah kontribusinya yang tinggi terhadap devisa, para pekerja migran menghadapi masalah yang kompleks. Abdul Kadir menyebut, masalah yang kerap dihadapi oleh PMI adalah kekerasan, eksploitasi, pelanggaran hak pekerja, dan human trafficking.
"Yang perlu saya tekankan di sini, 95 persen kasus kekerasan menimpa PMI non-prosedural, dan pemerintah tengah fokus meningkatkan perlindungan serta meninjau ulang sejumlah kebijakan yang dinilai diskriminatif," kata dia dalam forum yang sama.
Karding menyoroti tingginya kerentanan PMI, terutama mereka yang bekerja di sektor domestik. Berdasarkan data, dari total 5,2 juta pekerja migran, sekitar 80 persen bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT).
"Sebanyak 67,3 persen dari mereka adalah perempuan, dengan latar belakang pendidikan rendah, mayoritas hanya lulusan SD dan SMP," ujarnya.
Menurut Karding, PMI yang berangkat secara non-prosedural menjadi tantangan besar. "Kami tidak memegang data mereka. Kami tidak tahu mereka kerja di mana, dengan siapa, dalam kondisi seperti apa," katanya.
Ia menilai sistem tata kelola migrasi tenaga kerja Indonesia masih lemah, dan inilah akar utama berbagai persoalan. Karding juga menyoroti maraknya skema pemagangan yang ternyata dimanfaatkan sebagai modus kerja terselubung.
"Program magang seperti ini banyak yang tidak terdaftar dan menjadi celah eksploitasi. Ini semua akan kami benahi. Tata kelola keluar-masuknya pekerja migran harus diperketat," tegasnya.
Karding memaparkan saat ini ada empat skema penempatan PMI ke luar negeri, yakni Business to Business (B2B) antar perusahaan, Government to Government (G2G) antar pemerintah, Government to Business (G2B) dari pemerintah ke perusahaan, dan mandiri—misalnya ke Jepang.
Namun, ia mempertanyakan efektivitas skema mandiri untuk sektor pekerja domestik. "Apakah domestic workers bisa masuk skema ini? Rata-rata mereka perempuan, pendidikan rendah. Ini pasti riskan," ujarnya.