Gedung De Javasche Bank Surabaya tampak depan, Selasa, (25/5/2021). IDN Times/Faiz Nashrillah
Kamu pernah nonton Money Heist? Sekilas, bangunan De Javasche Bank (DJB) yang bergaya arsitektur Neo-Renaisans khas Eropa ini terlihat seperti latar dalam film Money Heist season 3 dan 4. Dinding putih di fasad bagian depan gedung itu bersih. Hampir tidak ada noda sama sekali. Tampak terawat ketimbang gedung-gedung lain di sekitarnya.
Bangunan megah De Javasche Bank Cabang Surabaya berdiri di lahan seluas 1.000 meter persegi. Letaknya di Jalan Garuda Nomor 1 Surabaya. Berdekatan dengan eks Penjara Kalisosok dan Jembatan Merah.
De Javasche Bank (DJB) atau yang berarti Bank Jawa ini pertama kali didirikan di Batavia pada 24 Januari 1828. Khusus DJB Cabang Surabaya, mulai dibuka pada 14 September 1829. Cabang di Kota Pahlawan ini dinahkodai oleh F.H Preyer dibantu asisten A.H Buchler dan komisaris, J.D.A Loth. Bedanya dengan cabang lainnya, kantor ini menjadi yang pertama kali menerapkan sistem perhitungan kliring antar bank utama pada masa kolonial Belanda.
Aktivitas perbankan berlangsung sampai menjumpai petaka pada 1942. Ketika itu, Belanda harus dipukul mundur oleh Jepang. "De Javasche Bank Surabaya sempat ditempati Jepang, Namanya diubah Nanpo Kaihatsu Ginko (NKG) atau Bank Jepang," ucap pemandu DJB, Riski Jayanto, Rabu (19/5/2021)
NKG sebagai bank sirkulasi untuk wilayah Asia Tenggara yang telah diduduki Jepang. NKG bubar pada 15 Agustus 1945 bersamaan dengan kalahnya Jepang dalam Perang Dunia II. Tak ingin kehilangan momentum, usai mengumumkan kemerdekaannya Indonesia mencoba mengambil alih aset-aset yang ada. Namun dinding tebal berupa Agresi Militer Belanda masih bergejolak.
"Dikuasai kembali oleh Belanda, berubah lagi namanya menjadi De Javasche Bank," katanya.
Belanda kemudian mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia pada tahun 1949. Kemudian DJB mulai dinasionalisasikan pada 1951. "Dibeli saham oleh pemerintah Indonesia, jadi tidak dirampas," dia menegaskan.
Pada 1 Juli 1953 DJB diubah menjadi Bank Indonesia. Aktivitas perbankan di gedung ini berlangsung hingga tahun 1973. Setelah itu, gedung ini kemudian langsung dipinjam oleh Bank Jatim hingga tahun 2010.
"Akhirnya dibuka sebagai heritage, cagar budaya milik Bank Indonesia pada tanggal 27 Januari 2012 sampai sekarang," terang Riski.
Penetapan Gedung DJB menjadi cagar budaya ini memang sangat memenuhi syarat. Sebab, semua yang ada di sini masih orisinil. Mulai dari bangunan eksterior, interior hingga beberapa ornamen penunjang di dalamnya.
Riski menyampaikan kalau gedung ini terdiri dari tiga lantai. Ketika masuk pintu utama, pengunjung langsung di area lantai 1. Kemudian juga terdapat lantai dasar yang merupakan basement atau ruang bawah tanah dan lantai 2 digunakan tempat penyimpanan arsip saat masih operasional.Terdapat tiga brankas raksasa untuk simpan uang, emas dan dokumen rahasia dilengkapi CCTV Belanda
Brankas-brankas milik DJB ini juga terlihat masih sangat kokoh. Pintunya terbuat dari baja dengan berat 13 ton. Di sekitarnya juga dilengkapi CCTV manual zaman kolonial Belanda. "Jadi CCTV ini berupa kaca yang mengelilingi brankas, misal ada orang masuk kita bisa lihat dari pantulan itu," katanya.
Selain CCTV manual, terdapat juga inovasi berupa AC alami. Waktu itu, dikatakan Riski, Belanda memakai kendi yang merupakan produk gerabah khas Jawa. Kendi-kendi ini di isi air pada pagi hari, kemudian siangnya diletakkan di sekitar ruang bawah tanah yang ternyata membuat sejuk isi ruangan.
"AC-nya diletakkan mengelilingi brankas, tepat di bawah CCTV manual tersebut," terang dia.
Sayang, sejak pandemik COVD-19 merebak di Indonesia, DJB ditutup sementara. Kendati demikian, masih banyak wisatawan yang ke sini. Mereka memilih berfoto ria di area depan dengan latar belakang Gedung DJB.