Menteri LH Sebut Perusahaan Sawit Belum Maksimal Cegah Karhutla

Balikpapan, IDN Times – Menteri Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, menegaskan pentingnya konsolidasi seluruh pemangku kepentingan. Khususnya pelaku usaha perkebunan sawit, dalam mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2025.
Hal ini disampaikannya dalam kegiatan Konsolidasi Lapangan Kesiapsiagaan Mengantisipasi Kerawanan Kebakaran Lahan yang digelar di Balikpapan, Kalimantan Timur, Jumat (4/7/2025).
Kegiatan tersebut dihadiri Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), para kepala daerah di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara, serta perwakilan ratusan perusahaan sawit.
“Konsolidasi ini diselenggarakan untuk meminimalkan potensi kebakaran lahan, serta memitigasi dampak pencemaran dan kerusakan lingkungan. Ini menjadi bagian dari upaya nyata mendukung program prioritas Presiden Prabowo Subianto dalam memperkuat ketahanan pangan dan energi,” ujar Hanif.
1. Jumlah hotspot menurun

Hanif menjelaskan, meski terdapat penurunan jumlah titik panas (hotspot), kerawanan kebakaran tetap harus diwaspadai, terutama karena sebagian wilayah Indonesia mulai memasuki musim kemarau.
Berdasarkan data per 1 Juli 2025, terdeteksi 382 hotspot di seluruh Indonesia—turun sekitar 59 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Namun, sejak Januari hingga Juli 2025, tercatat 498 kejadian kebakaran hutan dan lahan di 11 provinsi.
“Wilayah Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara juga masuk dalam wilayah rawan kebakaran lahan. Ini perlu menjadi perhatian serius dari pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat,” tegasnya.
Selain isu karhutla, Hanif juga menyinggung tentang potensi kerusakan lingkungan akibat aktivitas perkebunan sawit. Ia memastikan pemerintah akan mendalami dan menindaklanjuti persoalan tersebut bersama pemerintah daerah.
“Saya yakin Gubernur Kaltim akan mengambil langkah tegas dalam menjaga lingkungan hidup dan keselamatan warganya,” tuturnya.
Menurut Hanif, sebagian besar isu lingkungan berada di wilayah kewenangan Pemprov Kaltim, termasuk kegiatan usaha di sektor sawit yang memiliki HGU (Hak Guna Usaha) luas dan berdampak besar terhadap ekosistem
2. Baru 1.060 perusahaan tanggapi imbauan pemerintah

Menteri Hanif juga menyampaikan bahwa pihaknya telah mengirimkan surat kepada 2.590 perusahaan terkait kesiapsiagaan pengendalian kebakaran lahan. Namun hingga 2 Juli 2025, baru 1.060 perusahaan yang merespons dan menyampaikan laporan kesiapan mereka.
Ia meminta gubernur, bupati, dan wali kota untuk melakukan evaluasi terhadap kelengkapan sarana, sumber daya manusia, dan pendanaan di perusahaan-perusahaan. Jika ditemukan ketidaksesuaian, pemerintah akan menerapkan sanksi administratif hingga pidana sesuai peraturan perundang-undangan.
Dalam kesempatan itu, Hanif memaparkan lima faktor penyebab utama kebakaran lahan di Indonesia. Di antaranya: pembukaan lahan pertanian dan perkebunan dengan cara membakar, konflik lahan dan lahan tidur, area gambut di musim kering, rendahnya kesadaran masyarakat, dan keterlambatan penanganan di lapangan akibat minimnya sumber daya.
Berdasarkan data 2015–2024, tercatat ada 79 areal Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan yang mengalami kebakaran, dengan total luas sekitar 42.476 hektare. Sebagian lokasi bahkan mengalami kebakaran berulang.
“Hal tersebut mengindikasikan bagi kita semua bahwa pemrakarsa usaha perkebunan kelapa sawit belum memiliki upaya yang maksimal dalam mencegah terjadinya kebakaran lahan,” katanya.
3. Pemerintah dorong target zero karhutla

Hanif mengapresiasi kehadiran 334 perusahaan anggota GAPKI di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara dalam kegiatan ini. Ia berharap GAPKI bisa menjadi penghubung utama antara perusahaan dan pemerintah dalam menciptakan kesiapsiagaan bersama menghadapi musim kemarau.
“Diperlukan kesiagaan nyata di tingkat perusahaan, mulai dari pemenuhan SDM, sistem dan sarana standar, hingga mendukung operasi besar seperti patroli bersama, modifikasi cuaca, hingga pemadaman,” jelasnya.
Namun demikian, ia menyoroti bahwa jumlah perusahaan yang tergabung di GAPKI masih sangat kecil. “Dari lebih 300 unit usaha kelapa sawit di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara, hanya sekitar delapan perusahaan atau 30 persen yang menjadi anggota GAPKI,” katanya.
Untuk meningkatkan partisipasi, pemerintah akan memberi insentif berupa penambahan poin bagi perusahaan yang tergabung dalam GAPKI, dan sebaliknya akan mengurangi poin bagi yang belum bergabung.
“Tidak mungkin Gubernur menangani 1,5 juta hektare kebun sawit sendirian. Perlu ada konsolidasi dari internal industri melalui GAPKI,” tegas Hanif.