Puluhan siswa SD, SMP dan guru terdampar di hutan mangrove Kariangau Balikpapan Kalimantan Timur, Senin (15/8/2022). (IDN Times/Hilmansyah)
Medan yang sulit masih menjadi tantangan utama bagi masyarakat Kalimantan dalam menjalani aktivitas sehari-hari, termasuk dalam dunia pendidikan. Salah satu insiden yang menjadi perhatian terjadi dua tahun lalu, ketika puluhan siswa dan guru SDN 021 Teluk Waru Kariangau, Balikpapan, Kaltim, harus menyelamatkan diri ke hutan mangrove.
Peristiwa itu bermula ketika perahu klotok yang mereka tumpangi mengalami kebocoran di tengah perjalanan pulang. Seorang saksi mata menyebutkan bahwa air mulai merembes ke dalam perahu secara tiba-tiba, sehingga motoris terpaksa menepi ke kawasan hutan mangrove demi keselamatan seluruh penumpang.
Sebanyak 28 siswa SD dan SMP serta 8 guru terjebak selama beberapa jam sebelum akhirnya diselamatkan oleh Tim SAR Balikpapan.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Balikpapan Irfan Taufik menjelaskan, perahu klotok merupakan satu-satunya sarana transportasi bagi siswa yang berdomisili di Kelurahan Kampung Baru Ulu.
"Warga Kampung Baru harus menggunakan perahu untuk pergi dan pulang sekolah di Teluk Waru. Layanan ini sepenuhnya gratis," ujar Irfan.
Kisah perjuangan serupa juga dialami Novi Antika, seorang guru di SDN 1 Tambora, Desa Oi Bura, Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Selama delapan tahun, ia mengabdi sebagai sukarelawan di sekolah yang terletak di lereng Gunung Tambora, menghadapi berbagai keterbatasan demi mencerdaskan generasi muda di daerah terpencil.
Dengan honor Rp1,2 juta yang diterimanya setiap enam bulan sekali, Novi tetap bersemangat mendidik anak-anak. "Saya mulai mengajar sejak 2017. Saat itu, satu-satunya guru PNS hanya kepala sekolah, sementara lainnya tenaga sukarela," ujar lulusan Universitas Muhammadiyah Mataram ini.
Dalam kondisi serba terbatas, Novi sering kali harus mengajar sendiri dari kelas 1 hingga kelas 6. "Saya harus menggabungkan dua kelas dalam satu ruangan dan bergantian setiap jam pelajaran. Capeknya luar biasa, sampai suara saya sering habis," katanya.
Perjalanan menuju sekolah harus ditempuh dengan berjalan kaki sejauh 3 hingga 4 kilometer melewati medan berbatu dan ancaman binatang liar seperti babi hutan serta ular. Dari enam ruang kelas yang tersedia, hanya tiga yang bisa digunakan, sementara sisanya rusak berat akibat gempa tahun 2019.
Di Karangasem, Bali, Nengah Sukerti telah mengabdikan dirinya sebagai guru di Sekolah Ekoturin selama 22 tahun. Sekolah yang berdiri sejak 1999 ini hadir untuk mempermudah akses pendidikan bagi warga Desa Ban yang terpencil.
Awalnya, sekolah ini hanya berada di Dusun Bunga, tetapi kini telah berkembang ke lima dusun lainnya hingga tahun 2007. Saat ini, Sekolah Ekoturin tersebar di enam dusun dengan total 198 murid.
Sukerti mengajar di SD Ekoturin Dusun Manikaji yang hanya memiliki kurang dari 10 murid. Sebelum berangkat mengajar, ia harus menyelesaikan rutinitas pagi seperti memasak dan mencari pakan ternak. Sepulang sekolah, ia masih harus mencari kayu bakar dan air untuk kebutuhan sehari-hari.
Motivasinya untuk terus mengajar datang dari keprihatinannya terhadap jarak sekolah negeri yang terlalu jauh. "Anak-anak saya semuanya lulusan Sekolah Ekoturin Manikaji. Kalau sekolah negeri, jaraknya terlalu jauh," ungkapnya.
Sebelum menjadi guru, Sukerti mengikuti pelatihan selama satu bulan. Ia sempat berpikir untuk menyekolahkan anak-anaknya ke Bangli, namun kehadiran Sekolah Ekoturin membuatnya mantap menyekolahkan mereka di desanya sendiri. "Tanpa sekolah ini, mungkin anak-anak di sini tidak bisa sekolah," ujarnya.
Selain menjadi seorang guru, Sukerti juga berperan sebagai serati banten, atau pembuat sesajen dalam upacara adat Hindu di Bali. Dedikasinya dalam mendidik anak-anak di daerah terpencil membuktikan bahwa pendidikan adalah harapan bagi masa depan yang lebih baik.