Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi pilkada. IDN Times
Ilustrasi pilkada. IDN Times

Balikpapan, IDN Times - Pengalaman Abdul Hakim-Wahidah dalam mengikuti pemilihan kepala daerah lewat jalur independen telah menarik perhatian. Pasangan suami istri ini telah berpartisipasi dalam kontes Pilkada di Balikpapan, Kalimantan Timur (Kaltim), selama lima tahun berturut-turut, yaitu pada tahun 2010 dan 2015.

Pada partisipasi pertama tahun 2010, Abdul Hakim-Wahidah berhasil lolos sebagai peserta independen dalam Pilkada Balikpapan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) setempat. Mereka berhasil mengumpulkan dukungan sebanyak 30 ribu suara dari daftar pemilih tetap (DPT) di Balikpapan.

Meskipun mengalami kekalahan dalam penghitungan suara, Abdul Hakim-Wahidah tidak patah semangat. Mereka kembali mendaftar ke KPUD Balikpapan pada tahun 2015. Namun, nasib mereka berubah, karena KPUD Balikpapan menggugurkan pencalonan pasangan suami istri yang berprofesi sebagai dokter ini selama proses verifikasi faktual. Akibatnya, mereka gagal untuk bertarung sebagai peserta Pilkada Wali Kota Balikpapan tahun 2015.

Kegagalan mereka dalam maju pada Pilkada Balikpapan masih menjadi pertanyaan bagi Abdul Hakim-Wahidah.

1. Sistem di KPU dianggap tidak konsisten

Sejumlah anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) mengikuti prosesi pelantikan di Medan, Sumatera Utara, Kamis (16/5/2024). ANTARA FOTO/Fransisco Carolio/Spt.

Abdul Hakim mempertanyakan alasan dibatalkannya pencalonannya sebagai calon independen pada tahun 2015 oleh KPUD Balikpapan. Baginya, sistem pengumpulan dukungan masyarakat pada tahun tersebut tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya, ketika pasangan Abdul Hakim-Wahidah berhasil lolos sebagai peserta Pilkada Balikpapan pada tahun 2010.

Tim Sukses Abdul Hakim-Wahidah berhasil mengumpulkan dukungan sebanyak 30 ribu suara dari masyarakat Balikpapan dan menyerahkannya kepada KPUD. Dengan puluhan tahun pengalaman membuka praktik kesehatan gratis di Balikpapan, mereka mengaku tidak mengalami kesulitan dalam meraih dukungan.

"Sejak lama saya telah membuka praktik dokter di Balikpapan, dan bagi pasien yang tidak mampu membayar, saya tidak mengharuskan mereka membayar. Apa pun yang terjadi, saya biarkan saja," ujarnya kepada IDN Times pada Sabtu (25/5/2024).

Strategi ini membawanya menjadi peserta Pilkada Balikpapan 2010 bersama dengan pasangan lainnya, yaitu Rizal Effendi-Heru Bambang, Syukri Wahid-Usman Chusaini, dan Bambang Edyono-Fahruddin.

Namun, pada Pilkada Balikpapan 2015, sistem pengumpulan dukungan tersebut tidak berhasil, dan pasangan Abdul Hakim-Wahidah dianggap gagal dalam proses verifikasi faktual.

"Sistem verifikasi faktual yang diterapkan oleh KPU adalah hal yang salah. Mereka yang membuat sistemnya, yang melakukan pemeriksaan, dan yang memberikan persetujuan. Semuanya tergantung pada keputusan KPU untuk meloloskan atau menggugurkan pencalonan kandidat," ungkap Abdul Hakim.

Meskipun tim suksesnya telah menyerahkan dukungan melebihi jumlah yang dipersyaratkan untuk maju sebagai calon independen, selama verifikasi faktual suara dukungan Abdul Hakim-Wahidah dianggap kurang oleh KPUD Balikpapan. Jumlah kekurangannya mencapai ribuan suara.

"Kami tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengumpulkan kembali dukungan karena batas waktu yang diberikan oleh KPUD sangat pendek," keluh Abdul Hakim.

Meskipun pasangan Abdul Hakim-Wahidah telah melaporkan kejadian tersebut ke Badan Pengawas Pemilu Kota Balikpapan, tetapi tidak ada dampak yang signifikan.

"Mereka (KPU) seperti wasit yang memiliki kekuasaan untuk memberikan kartu merah dan bertindak sesuai keinginan mereka. Inilah yang membuat orang enggan untuk maju melalui jalur independen," tambahnya.

2. Sistem verifikasi faktual KPUD dipertanyakan

Abriantinus, tokoh Suku Dayak di Balikpapan Kalimantan Timur. Foto istimewa

Pada Pilkada Balikpapan 2015, tantangan besar dialami oleh kandidat independen lainnya seperti Abriantinus, seorang tokoh Suku Dayak. Meskipun berhasil mengumpulkan 43 ribu suara dukungan, proses verifikasi faktual di KPUD Balikpapan hanya mengakui 34 ribu suara sebagai sah.

Abriantinus mengungkapkan kekecewaannya atas proses verifikasi tersebut, yang menurutnya tidak transparan. Ia mempertanyakan akurasi verifikasi dalam waktu singkat, yang hanya berlangsung selama 3 hari, sementara timnya harus berbulan-bulan untuk mengumpulkan dukungan tersebut.

Selama persidangan di Bawaslu Balikpapan, terungkap bahwa proses verifikasi faktual berjalan lambat, dengan petugas hanya mampu memverifikasi puluhan nama pendukung per hari. Abriantinus mempertanyakan bagaimana mungkin 43 ribu suara pendukung dapat diverifikasi dalam waktu singkat dan menyebutnya sebagai hal yang mencurigakan.

Menurut Abriantinus, pencalonan jalur independen sangat tergantung pada KPUD di setiap wilayah, dan proses verifikasi administrasi dan faktual sering kali hanya sekadar formalitas yang berujung pada kegagalan. Hal ini juga menimbulkan tudingan miring dari masyarakat terhadap integritas komisioner KPUD dalam menjalankan tugasnya.

Meskipun demikian, tantangan dan kontroversi ini tidak menyurutkan semangat Abriantinus dan kandidat independen lainnya untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi. Meskipun ada hambatan, mereka tetap berjuang untuk memberikan suara kepada masyarakat dan menyuarakan aspirasi mereka dalam pemilihan kepala daerah.

3. Calon independen Kutai Kartanegara kaget dengan ribetnya persyaratannya

Awang Yacoub Luthman (AYL) dan Akhmad Zais (AZA), resmi mendaftarkan diri sebagai kandidat independen untuk pemilihan Bupati Kukar yang akan berlangsung pada tahun 2024, Senin (14/5/2024). Foto istimewa

Awang Yacoub Luthman dan Akhmad Zais, dua tokoh masyarakat yang masih aktif dalam kegiatan partai politik, memutuskan untuk maju sebagai calon independen dalam Pilkada Kutai Kartanegara 2024. Keputusan ini diambil sebagai bentuk kemandirian dan dukungan langsung dari masyarakat.

“Kami hadir membawa aspirasi rakyat Kukar untuk berpartisipasi dalam Pilkada 2024,” ujar Awang Yacoub.

Dengan membawa 19 kotak berisi 42.000 dukungan dari warga Kukar, mereka telah melampaui syarat minimal 40.730 dukungan yang ditetapkan oleh KPU setempat. Meskipun memiliki lebih dari 50.000 dukungan, keterbatasan waktu mengharuskan mereka untuk menyerahkan 42.000 dukungan malam itu.

“Proses yang panjang dan penuh tantangan telah kami lalui dengan lancar. Ini adalah tanggung jawab yang diberikan kepada kami,” kata Awang Yacoub. 

Proses pengumpulan dukungan tidaklah mudah, seperti yang diakui oleh Awang Yacoub. Mulai dari mendata dalam formulir hingga memasukkannya satu per satu dalam website Sistem Informasi Pencalonan (Silon) KPUD Kukar, membutuhkan kerja keras dan koordinasi yang baik. Untuk itu, mereka melibatkan 50 orang tenaga terampil di bidang komputer serta administrasi.

Meskipun menghadapi serangkaian tantangan dan kompleksitas, Awang Yacoub tetap berkomitmen untuk menjalankan amanat dari masyarakat yang mempercayakan mereka untuk maju lewat jalur independen. Saat ini, KPU Kukar sedang dalam proses verifikasi administrasi dokumen mereka, yang akan menjadi penentu apakah pasangan ini memenuhi syarat untuk maju sebagai calon independen.

Jika ternyata tidak memenuhi syarat, mereka masih memiliki peluang untuk maju melalui jalur partai politik pada tanggal 22-29 Agustus 2024. Namun, Awang Yacoub tetap berharap agar jalur independen ini dapat berhasil, sehingga aspirasi dan kepentingan masyarakat Kukar dapat terwakili secara optimal dalam Pilkada mendatang.

"Nanti bila jalur independen ini tidak berhasil, saya pertimbangkan lewat jalur partai politik," kata Awang Yacoub yang juga Ketua DPC Nasdem Kukar. 

4. Biaya membeli materai hingga Rp6 miliar

Ilustrasi pemungutan suara Pemilu 2024. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Ahmad Muslimin, seorang politisi asal Lampung, menghadapi tantangan yang rumit dalam mencalonkan diri secara independen dalam pemilihan gubernur setempat. Sesuai ketentuan, Ahmad harus mengumpulkan 500 ribu suara dukungan dari masyarakat Lampung.

Meskipun mengumpulkan suara sebanyak itu bukan perkara mudah, Ahmad menekankan bahwa bukan itu persoalan utamanya. Salah satu persoalan yang dihadapinya adalah munculnya Keputusan KPU Nomor: 532 Tahun 2024 tentang persyaratan kelengkapan calon independen. Keputusan tersebut mensyaratkan setiap formulir model B.1-KWK Perseorangan harus ditempel dengan satu materai Rp10 ribu.

Akibatnya, Ahmad membutuhkan dana sekitar Rp5 miliar hanya untuk memenuhi syarat dukungan tersebut. Dia menjelaskan bahwa pembelian materai pada hari yang bertepatan dengan hari libur menyebabkan harga naik, sehingga totalnya mencapai Rp6 miliar.

Selain masalah materai, Ahmad juga menyebutkan adanya aturan tambahan yang meminta nomor HP dan email masing-masing pendukung dalam formulir dukungan. Dia menyoroti bahwa tidak semua pendukung memiliki akses ke perangkat teknologi seperti smartphone dan email.

Ahmad menyatakan bahwa serangkaian aturan verifikasi administrasi calon independen telah memberatkan calon di seluruh Indonesia, baik itu calon gubernur, bupati, maupun walikota melalui jalur independen. Menurutnya, keputusan ini telah meredam harapan masyarakat untuk memiliki kandidat kepala daerah yang benar-benar diusung oleh mereka sendiri, tanpa melalui partai politik.

Meskipun dihadapkan pada rintangan yang berat, Ahmad menyadari bahwa mencalonkan diri lewat jalur independen pada Pilkada 2024 hampir mustahil, mirip dengan kisah legenda "Bandung Bondowoso" tentang pembangunan Candi Prambanan hanya dalam waktu satu malam. 

Ini menunjukkan bahwa jalur independen kali ini adalah jalur yang paling sulit bagi calon kepala daerah.

 

5. Aktivis perempuan di Surabaya gagal dalam proses verifikasi administrasi calon independen

Bacawali Surabaya, Asrilia Kurniati. (Dok. Istimewa)

Asrilia Kurniati, seorang tokoh pendiri Ikatan Perempuan Indonesia Peduli (IPIP) yang telah lama aktif dalam kegiatan sosial masyarakat, menghadapi tantangan yang rumit saat memutuskan untuk maju dalam Pilkada Surabaya melalui jalur independen.

Tahun ini, Asrilia memilih untuk mencalonkan diri sebagai calon wali kota Surabaya tanpa melalui dukungan dari partai politik. Dia menegaskan bahwa tujuannya adalah untuk mewakili suara rakyat secara langsung, bukan sebagai perwakilan dari sebuah partai.

Salah satu tantangan utama yang dihadapinya adalah mengumpulkan dukungan minimal 6,5 persen dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) Surabaya, setara dengan 144.209 suara dari total 2.218.586 pemilih. Waktu yang terbatas mulai dari tanggal 5 Mei hingga 19 Agustus 2024 menambah kesulitan proses pengumpulan dukungan.

Namun, di tengah semangatnya, Asrilia menghadapi intimidasi dari pihak-pihak tertentu di KPUD Surabaya. Hal ini untuk menggoyahkan niat baiknya untuk maju dalam Pilkada Surabaya melalui jalur independen.

"Yang sangat aku sayangkan, ketika berita Asrilia maju Pilwali ramai, situasinya menjadi gempar. Aku mendapatkan intimidasi dari petinggi KPU. Sebagai perempuan, aku merasa ini adalah bentuk kekerasan psikis. Aku dibikin down. Katanya, aku jangan dulu nyalon, karena persyaratannya berat," jelasnya.

Asrilia mengalami kendala teknis dalam proses pendaftaran, terutama terkait dengan website resmi KPU yang sering mengalami gangguan. Meskipun demikian, dia dan timnya berusaha keras untuk memasukkan ribuan data KTP secara manual ke dalam formulir dan website Silon.

"Prosesnya bukan hanya ribet, tapi sangat-sangat ribet. Memasukkan data di Silon itu, websitenya sering up and down. Pada tanggal 5 Mei, awal pendaftaran, scan barcode tidak bisa dibuka," ungkap Asrilia.

Pada saat pendaftaran terakhir, Asrilia dan wakilnya, Satrio Wicaksono, datang ke KPUD Surabaya untuk menyerahkan berkas pendaftaran. Namun, mereka dikejutkan dengan keputusan bahwa seluruh persyaratan, termasuk dukungan minimal 144.209 suara, harus dimasukkan ke dalam website Silon dalam waktu singkat.

Meskipun berusaha dengan segala upaya, berkas pendaftaran Asrilia dan Satrio akhirnya tidak memenuhi syarat yang ditentukan oleh KPUD Surabaya, dan berkas mereka dikembalikan. Meski demikian, Asrilia tidak patah semangat dan tetap bertekad untuk terus berjuang dalam proses politik yang memenuhi harapan dan aspirasi rakyat.

6. Calon independen Kalbar mundur hingga memilih jalur parpol

Bakal calon gubernur Kalimantan Barat Muda Mahendrawan (kedua kanan) berbicara dengan anggota KPU saat mendaftar di KPU Provinsi Kalimantan Barat di Pontianak, Minggu (12/5/2024). ANTARA FOTO/Jessica Wuysang/rwa

Pendaftaran jalur independen untuk Pilkada di Kalimantan Barat (Kalbar) sepi peminat. Awalnya, hanya ada satu pasangan calon yang mendaftar sebagai bakal calon gubernur dan bakal calon wakil gubernur melalui jalur independen. Namun, pasangan tersebut kemudian menarik berkas pendaftaran mereka.

Pasangan tersebut adalah mantan Bupati Kubu Raya, Muda Mahendrawan, dan Suyanto Tanjung. Mereka mendaftar ke KPU Provinsi Kalbar pada hari terakhir batas pendaftaran jalur independen. Setelah berkas dinyatakan lengkap dan diterima, Ketua KPU Provinsi Kalbar, Muhammad Syarifuddin Budi, mengungkapkan bahwa Muda Mahendrawan dan Suyanto Tanjung resmi menarik dokumen pendaftaran jalur independen mereka.

“Bakal pasangan calon Muda-Suyanto mundur dari jalur perseorangan,” ujar Budi.

Hanya dua hari setelah mendaftarkan diri ke KPU Kalbar, Muda-Tanjung resmi menarik dokumen dukungan calon perseorangan di KPU. Muda Mahendrawan mengklaim bahwa mereka sudah mendapat dukungan dari tiga partai politik untuk maju sebagai calon gubernur. Bersama Suyanto Tanjung sebagai calon Wakil Gubernur, mantan kepala daerah di Kabupaten Kubu Raya ini pun akan fokus menguatkan dukungan dan maju melalui partai politik.

Muda Mahendrawan menyebutkan bahwa dia bersama Suyanto Tanjung juga sudah mendaftar di beberapa partai politik untuk maju sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur Kalbar. Saat ini, mereka sedang menjalankan mekanisme partai dan melakukan survei penjaringan. Dia menyadari bahwa dukungan pencalonan jalur independen yang diberikan masyarakat merupakan modal kekuatan dan kebanggaan bagi dirinya dan Suyanto Tanjung. Dalam kurun waktu lebih dari dua bulan, mereka mampu membuktikan gerakan relawan di berbagai daerah di Kalbar dan berhasil mengumpulkan persyaratan yang dibutuhkan.

“Koalisi partai menjadi prioritas, dan dukungan masyarakat juga menjadi kekuatan dan modal aset yang besar pada proses di Pilkada November nanti,” papar Muda, Sabtu (25/5/2024). Dalam kontestasi Pilkada, kata Muda, yang harus dipahami bukanlah membenturkan jalur perseorangan dengan partai politik. Namun, kedua dukungan tersebut akan menjadi koalisi yang besar dan menciptakan ruang demokrasi yang dinamis.

“Saya menarik penyerahan dukungan calon perseorangan itu karena mendapat sinyal positif dari beberapa parpol yang telah berkomunikasi. Ini tentunya menjadi langkah optimis bagi pasangan kami untuk Pilgub Kalbar,” beber Muda.

Muda juga mengungkapkan rasa terima kasih kepada masyarakat yang memberikan dukungan dengan cepat dan spontan, menunjukkan tanggapan positif terhadap partisipasinya dalam kontestasi Pilgub Kalbar. Dia menjelaskan bahwa dukungan dari masyarakat akan menjadi modal dan aset besar dalam Pilgub Kalbar.

“Saya telah menarik berkas pencalonan perseorangan dan sekarang kami fokus pada upaya untuk berkoalisi dengan partai politik,” kata Muda. Dia juga mengungkapkan bahwa beberapa partai politik telah memberikan sinyal kuat untuk berkoalisi mendukung bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur Kalbar, Muda-Tanjung, termasuk partai Hanura yang dipimpin oleh Suyanto Tanjung.

“Selain Hanura, ada beberapa partai lain yang juga memberikan sinyal kuat untuk mendukung kami di Pilgub Kalbar,” tambahnya. Meskipun Muda mengklaim bahwa tiga partai politik telah memberikan sinyal, dia belum menyebutkan nama-nama partai tersebut.

“Saya kira masyarakat dapat melihat dari tampilan media sosial partai-partai tersebut. Saya percaya partai-partai ini memberikan sinyal yang positif. Selain itu, hubungan emosional juga memiliki peran penting, karena saya memiliki pengalaman sebelumnya dalam beberapa partai politik,” jelasnya.

7. Lima calon independen di Jawa Barat lolos verifikasi administrasi

Ilustrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Pencalonan perseorangan atau independen mengalami kesulitan besar dalam fase verifikasi administrasi di banyak kota, termasuk Pontianak, Banjarmasin, Majalengka, Magetan, Surabaya, Lampung, Palembang, Banten, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan lainnya.

Namun, ada beberapa daerah yang berhasil meloloskan calon independen ke tahap berikutnya. Di Jawa Barat, misalnya, beberapa calon independen berhasil melewati verifikasi administrasi di lima kabupaten/kota, yakni Kabupaten Bogor, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Subang, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Banjar.

Ketua KPUD Jawa Barat, Ummi Wahyuni, menjelaskan bahwa meskipun banyak yang mendaftar sebagai calon independen, tidak semua mampu memenuhi persyaratan yang ditetapkan. "Sampai tahapan verifikasi administrasi ini, ada lima daerah di Jabar yang masing-masing hanya memiliki satu calon yang lolos," kata Ummi.

Persyaratan utama yang harus dipenuhi oleh calon independen adalah mengumpulkan dukungan berupa kartu tanda penduduk (KTP) yang kemudian dimasukkan ke dalam Sistem Informasi Pencalonan (Silon). Namun, proses ini terbukti sulit bagi banyak calon.

Berikut adalah calon-calon independen yang lolos verifikasi administrasi di lima kabupaten/kota di Jawa Barat:

  1. Kabupaten Bogor: Gunawan Hasan-Rudi Harianto
  2. Kabupaten Subang: Agus Eko Solihin-Sujaka
  3. Kota Banjar: Dimyati-Ari Lian Akairan Malam (Alam "Mbah Dukun")
  4. Kabupaten Sumedang: Hendrik Kurniawan-Raden Luky Djohari Soemawilaga
  5. Kabupaten Bandung Barat: Sundaya-KH Aa Maulana

Di Kota Bandung, tidak ada calon independen yang berhasil memenuhi syarat. Ketua KPU Bandung Wenti Frihadianti menyatakan, meskipun ada tiga pihak yang berkonsultasi mengenai pencalonan, hanya pasangan Hildan Kristo-Fitriani Syarah yang mengajukan permohonan pembuatan Akun SILON kepada KPU Kota Bandung. Namun, pasangan ini kemudian mengganti calon wakilnya menjadi Hildan Kristo-Ir. Heri Sismoro, ST. MT.

Pada tanggal 12 Mei 2024, Hildan Kristo dan timnya menyerahkan syarat dukungan ke Kantor KPU Kota Bandung. Sayangnya, jumlah dukungan yang diserahkan masih kurang. "Setelah penghitungan, jumlah dukungan yang diserahkan berjumlah 4.096 dan tersebar di 25 kecamatan. Jumlah ini tidak sesuai dengan Keputusan KPU Kota Bandung," jelas Wenti.

Pencalonan independen tetap menjadi jalur yang sangat menantang, dengan banyak calon yang harus gugur dalam proses verifikasi administrasi. Meski demikian, keberhasilan beberapa calon independen di Jawa Barat menunjukkan bahwa dengan persiapan dan dukungan yang cukup, masih ada harapan bagi calon-calon independen untuk berpartisipasi dalam pilkada.

8. KPU RI memprediksi jumlah peserta independen turun di Pilkada 2024

Ketua Divisi Teknis KPU RI Idham Holik (tengah) berbincang dengan Sekretaris Daerah (Sekda) Bali Dewa Made Indra (kedua kanan) yang saksikan Inspektur Utama KPU RI Nanang Priyatna (ketiga kiri), dan Ketua KPU Provinsi Bali I Dewa Agung Gede Lidartawan (kedua kiri) di sela Peluncuran Tahapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bali Tahun 2024 di Taman Werdhi Budaya Art Centre, Denpasar, Bali, Minggu (5/5/2024). ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/nym.

Komisioner KPU RI, Idham Holik, mengungkapkan bahwa potensi bakal calon peserta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 melalui jalur independen menunjukkan penurunan dibandingkan dengan pemilihan sebelumnya.

“Melihat dinamika dan mengkaji berbagai informasi yang kami terima, tampaknya penyerahan dukungan pasangan calon independen tidak sebanyak pilkada sebelumnya. Dari sisi jumlah, potensinya mengalami penurunan,” ujar Idham dilaporkan Antara di Denpasar, Bali, pada Minggu (5/5/2024). 

Usai peluncuran tahapan Pilkada Serentak 2024 di Denpasar, Bali, Idham menjelaskan bahwa penurunan ini bukan disebabkan oleh kurangnya sosialisasi KPU di daerah. Sejak jauh hari, KPU telah menginstruksikan agar sosialisasi pendaftaran bakal calon Pilkada independen digencarkan.

Namun, KPU RI mencatat perbedaan situasi dibandingkan pilkada sebelumnya, di mana biasanya calon pendaftar sudah memberikan konfirmasi sejak awal. Tahun ini, belum ada konfirmasi dari calon independen.

“Informasi dari rekan-rekan KPU di daerah tidak seperti pilkada sebelumnya. Termasuk KPU Bali, hingga saat ini belum ada yang konfirmasi,” jelasnya.

Meski masih ada waktu, Koordinator Divisi Teknis KPU RI, Idham Holik, menilai bahwa koordinasi semestinya dilakukan lebih awal bagi bakal calon kepala daerah independen. Ini penting untuk pengunggahan data pada aplikasi Silon. 

“Kami berkomunikasi dengan semua pihak yang berpotensi menyerahkan persyaratan agar segera konfirmasi. Di daerah, kami menyediakan layanan Helpdesk dan pelatihan khusus agar petugas bakal calon dapat mengoperasikan Silon,” jelas Idham.

Saat ini, KPU masih menunggu sembari meminta jajaran di provinsi maupun kabupaten/kota untuk memberi informasi ke KPU RI apabila terdapat bakal calon yang mengajukan pendaftaran lewat jalur non-partai.

Lebih lanjut, jika terdapat daerah dengan pendaftar independen, prosesnya akan panjang. Nantinya, mereka akan ditetapkan dan maju bersama pasangan bakal calon usungan partai politik pada akhir Agustus mendatang untuk melanjutkan kontestasi.

9. Perludem menilai persyaratan dukungan calon independen terlalu berat

Ilustrasi pemungutan suara Pemilu 2024. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai rendahnya partisipasi calon perseorangan dalam Pilkada disebabkan oleh beratnya syarat dukungan minimal yang harus dipenuhi. Program Officer Perludem, Heroik M. Pratama, menyebutkan bahwa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mensyaratkan dukungan calon independen berkisar 6,5 persen hingga 10 persen dari Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Menurutnya, calon independen yang tidak memiliki struktur pengorganisasian yang kuat seperti partai politik, yang memiliki kepengurusan dari tingkat nasional hingga kecamatan, menghadapi tantangan besar dalam mengumpulkan dukungan dari penduduk.

Dukungan ini harus dibuktikan dengan KTP dan diverifikasi oleh KPU untuk memastikan bahwa yang bersangkutan benar-benar menyatakan dukungannya kepada calon tersebut. Jika ditemukan dukungan yang tidak valid, calon harus menggantinya, dan dukungan tersebut akan diverifikasi ulang. Proses ini tentu memakan waktu dan tenaga yang signifikan, membuat calon perseorangan sulit untuk maju dalam Pilkada.

Sehubungan dengan itu, Perludem mendorong revisi UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang dianggap memberatkan calon independen. Salah satu usulannya adalah menurunkan batas minimal persentase dukungan publik dari sebelumnya 6,5 persen hingga 10 persen menjadi 2,5 persen hingga 5 persen.

"Syarat ini diatur dalam Undang-Undang Pilkada, dan KPU hanya menjalankan undang-undang tersebut dengan menerima pendaftaran dan melakukan verifikasi terhadap syarat dukungan yang telah diserahkan," jelas Heroik.

Penurunan persentase dukungan ini, kata Heroik, akan mendorong peningkatan antusiasme masyarakat untuk berpartisipasi melalui jalur independen, sehingga akan muncul kandidat-kandidat pemimpin daerah berkualitas yang bersaing melawan calon dari partai politik. Keberadaan calon independen tentunya akan berdampak positif terhadap sistem demokrasi di Indonesia.

Di sisi lain, Heroik menilai bahwa sistem pencalonan independen sudah cukup berjalan baik melalui proses verifikasi administrasi, verifikasi faktual, hingga kandidat diberikan kesempatan perbaikan. Proses persengketaan pun bisa diselesaikan melalui Bawaslu dan DKPP.

"Jika dalam prosesnya ditemukan ketidaksesuaian atau ketidaktransparanan, calon bisa melaporkan ke Bawaslu atau DKPP sebagai saluran sistem keadilan pemilu kita," tambahnya.

10. Tiga faktor minimnya minat pada calon independen di Pilkada 2024

Proses pembukaan kotak suara oleh Bawaslu Banyumas.(IDN Times/Dok. Bawaslu Banyumas)

Pakar Politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Arya Budi, mengidentifikasi tiga faktor utama yang menyebabkan minimnya minat terhadap calon independen dalam Pilkada 2024.

Menurut Arya, faktor pertama adalah dampak dari skema koalisi dalam Pilpres dan Pileg sebelumnya yang masih dirasakan. "Pilkada ini terjadi hanya beberapa bulan setelah Pemilu di Februari," ujar Arya pada Jumat (24/5/2024).

Arya menjelaskan bahwa beberapa partai masih mempertahankan fatsun politik dan sentimen politik dari koalisi nasional, terutama antara partai pemenang Pilpres dan partai di Koalisi Indonesia Maju. Sentimen ini terutama berkaitan dengan PDIP dan partai-partai pendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Hal ini menyebabkan para kandidat lebih memilih untuk berafiliasi dengan partai karena mereka merasa memiliki jaringan dan investasi politik di dalamnya.

Selain itu, calon independen dihadapkan pada tantangan beratnya syarat dukungan, yaitu 6,5 hingga 10 persen dari DPT. Proses mengumpulkan ribuan KTP membutuhkan usaha besar, terutama bagi pendatang baru atau mereka yang sebelumnya berkarier di luar negeri. Di sisi lain, calon yang maju melalui partai hanya perlu memperoleh 20 persen kursi DPRD, yang secara praktis hanya memerlukan komunikasi dengan segelintir orang dalam partai untuk mendapatkan rekomendasi.

Namun, Arya menekankan bahwa kedua jenis calon ini tidak terlalu berbeda dalam dampaknya terhadap demokrasi. Calon independen juga tidak bebas dari politik partai di DPRD dan sering terlibat dalam komunikasi dengan pemerintah pusat, seperti Kementerian Dalam Negeri.

Arya juga mencatat bahwa meskipun calon independen tidak memiliki tanggung jawab langsung kepada partai politik, mereka tetap memiliki kewajiban kepada pihak lain, seperti pendonor logistik. Dalam praktiknya, tanggung jawab ini tidak jauh berbeda dengan tanggung jawab yang dimiliki oleh calon yang diusung oleh partai politik.

Oleh karena itu, meskipun ada perbedaan dalam proses pencalonan, dampak dari kemenangan calon independen atau calon dari partai tidak begitu mencolok dalam hal pelaksanaan tanggung jawab kepemimpinan setelah terpilih.

 

Artikel kolaborasi hyperlokal PIC Kaltim kontribusi: Hamdani (Banjarmasin), Tri Purnawati (Pontianak), Inin Nastain (Majalengka), Riyanto (Magetan), Khusnul Hasana (Surabaya), Ashrawi Muin (Makassar), Tama Wiguna (Lampung), Debbie Sutrisno (Bandung), Khaerul Anwar (Serang), M Iqbal (Tangsel), Maya Aulia (Tangerang), dan Rangga Erfizal (Palembang).

Editorial Team