Mural 404 Not Found di Baru Ceper Tangerang. (Facebook.com/Djono W Oesman)
Fenomena di tanah air ini membuat kecewa penggiat seni mural dan grafiti. Pendiri Serikat Mural Surabaya Xgo mengatakan, penghapusan street art di Indonesia ini tak berdasar.
“Mengapa harus langsung dihapus? Padahal kan kita tidak tahu sebenarnya makna apa yang ingin disampaikan si pembuat street art,” ujarnya.
Street art atau seni jalanan seperti mural, kata dia, merupakan sebuah karya seni yang diciptakan di ruang publik. Ia menyebut ruang publik diciptakan agar bisa diakses oleh masyarakat dan dapat digunakan bersama-sama.
“Menurut saya, street art adalah bentuk ekspresi diri. Dan banyak macamnya, tidak hanya soal kritik pemerintah,” sambung Xgo.
“Saya sebenarnya tidak paham tentang apa arti dari kata merusak. Bukannya mural dan grafiti justru tambah mempercantik ruang publik?" imbuhnya.
Xgo juga mempertanyakan pendapat yang menyatakan bahwa street art adalah sebuah vandalisme. Dua hal tersebut menurutnya sangat berbeda. Baginya vandalisme adalah kegiatan yang mengganggu atau merusak pemandangan. Sedangkan mural sebaliknya.
“Street art kan bentuk ekspresi melalui media yang besar. Kami para pegiat street art tidak merobohkan dinding. Kami hanya membuat karya seni.”
Sebaliknya, ia mempertanyakan banyaknya poster politik yang dipasang di ruang publik dan justru merusak pemandangan, bahkan membahayakan.
“Poster kampanye kan biasanya juga dipasang di tempat yang tidak seharusnya seperti di pohon, tiang listrik, bahkan ada juga umbul-umbul yang diletakkan di pinggir jalan. Kalau kena orang yang ada di bawahnya harus lapor siapa? Siapa yang mau tanggung jawab," ujarnya.
Xgo menegaskan bahwa kritik melalui street art adalah hal yang sah saja asal tahu situasi dan kondisi. Apalagi, Presiden Jokowi dalam pidatonya saat acara Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI 2020 juga meminta untuk masyarakat agar turut aktif mengkritik pemerintah.
Masih soal sama di tempat terpisah, seniman Tangerang Edy Bonetski menambahkan, penghapusan mural dengan dalih aksi vandalisme adalah salah kaprah.
"Kalau bicara itu disebut vandal, buka lagi deh di kamus, Wikipedia atau di Google, vandal itu tindakan yang merusak bangunan-bangunan seni tanpa akal sehat," ketusnya.
Edy mengatakan, ekspresi kesenian melalui mural di Kota Tangerang memang ramai saat mural 'Tuhan Aku Lapar' dan '404 Not Found' dan sebagainya.
Namun baginya, kritikan lewat seni mural sudah lazim dilakukan bangsa ini. Seperti terjadi di masa perang kemerdekaan di mana para pejuang menggelorakan perjuangan lewat karya mural di jalanan.
"Di Tangerang sudah ditemukan mural tahun 46' bulan Juli, tulisannya jangan jual apa pun kepada musuh-musuh republik, itu mural zaman revolusi," kata Edy.
Di era modern, seni mural makin memperoleh tempat lewat pagelaran pameran seni jalanan dari tahun 2000 hingga 2011.
"Jauh hari sudah berlangsung dari 2002, 2005, 2011 kita membuat pameran street art Tangerang pertama di Tanah Gocap tepian Sungai Cisadane tepatnya Rumah Belajar Keluarga anak langit," kata dia.
Sehubungan itu, Edy meminta pemerintah menyediakan ruang para seniman dalam berkarya alih-alih memberangus karyanya. Semuanya sudah tertuang dalam Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan Tahun 2017.
Hal itulah yang harus menjadi dasar bagi pemerintah untuk menyiapkan wadah kesenian.
"Peristiwa ekspresi ini bisa dilihat di lagu Iwan Fals Hey Tuhan. Iwan memprotes Tuhan, bisa aja kok boleh di kesenian mah, Ebiet G Ade ngomong mungkin Tuhan mulai bosan, Iwan bahkan nyanyi manusia setengah dewa, itu bagian dari bentuk ekspresi yang dilindungi oleh UU Pemajuan Kebudayaan," kata dia.
Di Medan Sumatra Utara Komunitas Kampung Sendiri mengingatkan tentang karya mural yang sejatinya merupakan seni dalam melontarkan kritik. Koordinator Kampung Sendiri yang juga pegiat mural Bobi Septian mengatakan, pemerintah sepertinya lupa.
Penghapusan berbagai mural mencermikan betapa tidak demokratisnya negara saat ini. Kritik lewat coretan malah dibalas dengan penghapusan.
“Jadi pemerintah dan penguasa republik ini jangan baperan. Jangan justru kebakaran jenggot. Di kala kaum yang menggerogoti negara justru terkesan dibela, kaum seniman tidak dibela. Introspeksi saja, tidak perlu dihapus, tidak perlu dicari siapa pekaryanya. Mereka bukan kriminal, bukan monster, bukan penjajah. Mereka hanya beraspirasi lewat coretan,” tukasnya.
Sejauh pengamatan Bobi, di Kota Medan memang belum ditemukan mural dengan visual kritik yang pedas dan frontal. Komunitasnya pun saat ini lebih sering membuat mural yang berkampanye soal pelestarian lingkungan.
Menurut Bobi, mural menjadi media yang cukup efektif untuk menanamkan pemahaman alam bawah sadar masyarakat.
“Kita sering berkampanye pelestarian lingkungan. Baru-baru ini di Pamah Semelir, kita mengaktualisasikan kampanye soal satwa langka orangutan. Kampanye ini juga bagian dari kritik. Seperti di Pamah Semelir kita itu sebenarnya kritik. Jangankan manusia, orangutan harusnya pemerintah hadir dan mencari solusi. Jadi pemerintah jangan baperan,” ulangnya lagi.