Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi penganiayaan (IDN Times/Esti Suryani)

Balikpapan, IDN Times - Publik dikagetkan peristiwa mengejutkan adanya penyerbuan Markas Polresta Tarakan di Kalimantan Utara (Kaltara) oleh 20 personel TNI pada Senin 24 Februari 2024 pukul 23.00 Wita. 

SETARA Institute dalam keterangan tertulisnya menyatakan, Insiden ini mencerminkan bentuk kekerasan yang tidak dapat dibenarkan dan harus diproses dalam sistem peradilan umum sesuai dengan hukum yang berlaku.

1. Konflik berulang antara TNI versus Polri

Penyerangan markas Polresta Tarakan oleh puluhan terduga personel TNI, Senin (24/2/2025). Foto istimewa

SETARA Institute menyebutkan, bentrok antara anggota TNI dan Polri bukanlah peristiwa pertama. Data SETARA Institute mencatat setidaknya 37 konflik dan ketegangan antara kedua institusi terjadi sepanjang 2014-2024. Angka ini diduga hanya merupakan puncak gunung es, mengingat masih banyak insiden yang tidak terungkap ke publik.

Sebagian besar bentrokan di lapangan dipicu oleh persoalan non-prinsipil, seperti permasalahan pribadi, kesalahpahaman, provokasi informasi yang tidak akurat, serta penolakan terhadap penindakan hukum sipil.

Ironisnya, meskipun tidak berkaitan langsung dengan tugas kemiliteran, pelaku dari unsur TNI kerap tidak diproses dalam ranah peradilan umum sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang TNI. Ketidaktegasan dalam menegakkan supremasi hukum ini menjadi faktor utama keberulangan insiden serupa.

Selain konflik di lapangan, ketegangan di tingkat elite juga menjadi faktor pemicu. Perebutan kewenangan operasional di daerah tertentu, ketimpangan dalam jabatan non-militer, serta residu politik masa lalu memperkeruh hubungan antara kedua institusi. Polri, yang sebelumnya berada di bawah TNI, kini memiliki peran independen dalam sistem pertahanan dan keamanan negara, tetapi gesekan kewenangan masih sering terjadi.

2. Solusi: Penegakan supremasi hukum dan reformasi institusional

Editorial Team